Mengejutkan, Bulan di Langit Ternyata Dibuat Manusia (Bagian 1)
https://www.naviri.org/2019/02/bulan-part-1.html
Naviri Magazine - Sejak Apollo mendarat di Bulan pada tahun 1969, rasa penasaran orang-orang terhadap Bulan seakan menurun. Dulu, orang-orang berkumpul bersama di rumah saat hari raya pertengahan musim gugur, dan saat makan kue bulan, mereka menengadahkan kepala melihat rembulan di langit, dan dalam hati penasaran serta bingung.
Penasarannya adalah, dari mana sebenarnya Bulan berasal? Dan bingung, apa yang sebenarnya ada di atas Bulan? Sastrawan pada masa Dinasti Song, yaitu Su Dong Po dalam Sui Tiao Ge Tou, pernah menyuarakan rasa penasaran dan kerinduan bangsa China terhadap rembulan: Kapan adanya terang bulan?
Setelah antariksawan mendarat di Bulan, orang-orang tahu bahwa permukaan Bulan adalah sebidang padang pasir tandus, diselimuti debu angkasa tak terhingga banyaknya, dan kosong melompong. Tetapi, tahukah Anda, setelah mendarat di Bulan, beberapa temuan baru yang didapatkan malah membuat ilmuwan semakin bingung terhadap asal-usul Bulan.
Saat ini, pemahaman ilmuwan terhadap Bulan telah melampaui imajinasi sebelum pendaratan di Bulan pada waktu itu. Bukti-bukti temuan ini bisa membuat pemikiran orang-orang terbuka, mengenal dan merenungkan kembali asal mula diri sendiri, dan kehidupan, serta alam semesta.
Studi awal
Zaman dahulu, astronom setiap bangsa di dunia mengadakan pengamatan yang panjang terhadap Bulan. Penampakan Bulan yang mengembang bulat dan menyusut berbentuk sabit, selain menjadi obyek inspirasi penyair, lebih menjadi pedoman kerja penanaman sawah petani. Penanggalan tradisional Tionghoa merupakan penanggalan yang berdasarkan peredaran Bulan, berperiode 28 hari sebagai patokan.
Pada masa lampau, orang-orang menemukan fakta yang sangat menarik, Bulan selalu mengarah pada kita dengan satu permukaan yang sama.
Kenapa? Melalui pengamatan yang panjang, orang-orang mendapati Bulan bisa berputar sendiri, dan periode perputarannya persis sama dengan periode perputaran mengelilingi Bumi. Maka, biar di mana pun posisi Bulan berada, Bulan yang kita lihat dari atas Bumi pasti merupakan satu permukaan yang sama, bayang-bayang di atas bulan selalu sejenis dan serupa.
Orang-orang bahkan memperhatikan, ukuran Bulan kelihatannya sama besar dengan Matahari. Matahari dan Bulan diraanggap sama besar, namun pada kenyataannya apakah sama besarnya?
Orang zaman dulu kadang berhasil mengamati suatu fenomena alam yang aneh. Mereka menyebutnya dengan istilah “dewa anjing menelan matahari”. Di saat itu, ada benda langit berwarna hitam menutup total matahari, langit siang hari yang terang benderang tiba-tiba gelap gulita, dipenuhi kelap-kelip bintang, yaitu “gerhana matahari total” yang dikenal ilmuwan sekarang ini.
Pada saat gerhana matahari total, benda langit hitam yang kita lihat adalah Bulan, ukuran Bulan persis bisa menutupi Matahari. Artinya, jika dilihat dari Bumi, Bulan dan Matahari sama besarnya.
Belakangan, astronom mendapati bahwa jarak Matahari ke Bumi persis 395 kali lipat jarak Bulan ke Bumi. Sedangkan diameter Matahari juga persis 395 kali diameter Bulan. Maka, dilihat dari Bumi, Bulan persis sama besar dengan matahari. Diameter Bumi adalah 12.756 km, diameter Bulan 3.467 km, dan diameter Bulan adalah 27%-nya diameter Bumi.
Benda langit yang berputar mengelilingi planet, oleh ilmuwan disebut sebagai satelit. Sembilan planet besar pada sistem tata surya semuanya memiliki satelit sendiri. Di antara 9 planet besar tersebut ada beberapa planet yang sangat besar, misalnya planet Jupiter, planet Saturnus, dan lainnya.
Mereka juga memiliki satelit yang mengedarinya, diameter satelit mereka sangat kecil dibanding planet itu sendiri. Maka, satelit yang besarnya seperti Bulan sangat unik di dalam sistem tata surya kita. Data-data yang kebetulan ini menyebabkan beberapa astronom mulai memikirkan sesuatu, yaitu apakah Bulan terbentuk secara alami?
Bebatuan Bulan yang lebih tua
Setelah pesawat antariksa Apollo mendarat di Bulan pada 1969 dan mengambil contoh batuan dari permukaan Bulan, melakukan berbagai pengujian, dan didapatkan data yang bisa dijadikan bahan analisa lebih mendalam terhadap struktur Bulan.
Pertama-tama dibuat analisa usia terhadap bebatuan yang terkumpul. Didapati bahwa usia bebatuan Bulan sangat kuno. Ada sejumlah besar bebatuan itu melampaui usia bebatuan yang paling kuno di Bumi. Menurut statistik, 99% usia bebatuan Bulan melampaui 90% bebatuan kuno di Bumi, usia yang berhasil dihitung adalah sebelum 4,3-4,6 miliar tahun.
Ketika membuat analisa terhadap tanah permukaan Bulan, didapati masa mereka lebih kuno lagi. Ada beberapa yang bahkan lebih awal 1 miliar tahun dibanding usia bebatuan Bulan, melampaui lebih dari 5 miliar tahun.
Saat ini, waktu yang diprediksi ilmuwan atas terbentuknya sistem tata surya kurang lebih 5 miliar tahun lebih. Jadi, mengapa bebatuan dan tanah di permukaan Bulan sejarahnya bisa begitu panjang? Para ahli juga berpendapat bahwa itu sulit dijelaskan.
Rongga pada Bulan
Pembuktian kabut Bulan mungkin bisa menjelaskan struktur Bulan. Astronot yang mendarat di Bulan, ketika akan kembali ke Bumi meninggalkan permukaan Bulan dengan mengendarai pesawat pendarat kembali ke kabin antariksa. Setelah menyatu dengan pesawat antariksa, pesawat pendarat itu dibuang kembali ke permukaan Bulan.
Alat pengamat gempa, yang dipasang pada jarak 72 km, mencatat getaran pada permukaan Bulan. Getaran ini terus berlangsung lebih dari 15 menit, sama seperti martil memukul lonceng besar dengan sepenuh tenaga. Getaran berlangsung dalam waktu yang lama, dan baru hilang secara perlahan-lahan.
Ambil sebuah contoh, misalnya ketika kita memukul sebuah besi berongga dengan sekuat tenaga, akan mengeluarkan getaran ung… ung… yang terus bergema. Sedangkan ketika memukul besi padat, getaran hanya akan bertahan singkat, akan berhenti pada waktu yang tidak lama. Gejala getaran yang terus berlangsung ini membuat ilmuwan mulai membayangkan apakah Bulan berongga?
Ketika sebuah benda yang padat mendapat benturan, ia bisa mengeluarkan dua macam gelombang. Satu adalah gelombang bujur (longitudinal), sedangkan satunya lagi adalah gelombang permukaan.
“Gelombang bujur” adalah gelombang tembusan, bisa menembus suatu benda, dari satu sisi permukaan melalui pusat benda, dan disalurkan ke sisi lainnya. Sementara “gelombang permukaan”, sama seperti namanya, hanya bisa menyampaikan pada permukaan yang sangat dangkal.
Namun, instrumen kabut Bulan yang dipasang di atas Bulan, melalui catatan waktu yang panjang, sama sekali tidak berhasil mencatat atau merekam gelombang bujur, semuanya berupa gelombang permukaan. Dari gejala yang menakjubkan ini, ilmuwan membuktikan bahwa Bulan memiliki rongga.
Baca lanjutannya: Mengejutkan, Bulan di Langit Ternyata Dibuat Manusia (Bagian 2)