Kisah, Sejarah, dan Asal Usul Candi Borobudur yang Menakjubkan
https://www.naviri.org/2019/02/asal-usul-candi-borobudur.html
Naviri Magazine - Lebih dari tiga ratus tahun lalu, tempat Candi Borobudur masih berupa hutan belukar, yang oleh penduduk sekitar disebut Redi Borobudur. Untuk pertama kalinya, nama Borobudur diketahui dari naskah Negarakertagama karya Mpu Prapanca, pada tahun 1365 Masehi, yang menyebut tentang biara di Budur.
Kemudian, pada Naskah Babad Tanah Jawi (1709-1710), ada berita tentang Mas Dana, seorang pemberontak terhadap Raja Paku Buwono I, yang tertangkap di Redi Borobudur dan dijatuhi hukuman mati.
Kemudian, pada tahun 1758, tercetus berita tentang seorang pangeran dari Yogyakarta, yakni Pangeran Monconagoro, yang berminat melihat arca seorang ksatria yang terkurung dalam sangkar.
Kemudian pada tahun 1814, Thomas Stamford Raffles mendapat berita dari bawahannya tentang adanya bukit yang dipenuhi batu-batu berukir. Berdasarkan berita itu, Raffles mengutus Cornelius, seorang pengagum seni dan sejarah, untuk membersihkan bukit itu. Setelah dibersihkan selama dua bulan dengan bantuan 200 penduduk, bangunan candi semakin jelas, dan pemugaran dilanjutkan pada 1825.
Pada 1834, Residen Kedu membersihkan candi lagi, dan tahun 1842 stupa candi ditinjau untuk penelitian lebih lanjut.
Mengenai nama Borobudur, banyak ahli purbakala yang menafsirkannya. Di antaranya Prof. Dr. Poerbotjoroko, menerangkan bahwa kata Borobudur berasal dari dua kata Bhoro dan Budur. Bhoro berasal dari bahasa Sansekerta, yang berarti bihara atau asrama, sedangkan kata Budur merujuk pada nama tempat.
Pendapat ini dikuatkan oleh Prof. Dr. WF. Stutterheim, yang berpendapat bahwa Borobudur berarti Bihara di atas sebuah bukit. Sedangkan Prof. JG. De Casparis mendasarkan pada Prasasti Karang Tengah yang menyebutkan tahun pendirian bangunan ini, yaitu Tahun Sangkala: rasa sagara kstidhara, atau tahun Caka 746 (824 Masehi), atau pada masa Wangsa Syailendra yang mengagungkan Dewa Indra.
Di dalam prasasti terdapat nama Bhumisambharabhudhara, yang berarti tempat pemujaan para nenek moyang bagi arwah-arwah leluhurnya.
Bagaimana pergeseran kata itu menjadi Borobudur? Hal ini terjadi karena faktor pengucapan masyarakat setempat.
Dalam pelajaran sejarah, disebutkan bahwa candi Borobudur dibuat pada masa Wangsa Syailendra yang Buddhis, di bawah kepemimpinan Raja Samarotthungga. Sedangkan yang menciptakan candi, berdasarkan tuturan masyarakat, bernama Gunadharma.
Pembangunan candi itu selesai pada tahun 847 M. Menurut prasasti Kulrak (784M) pembuatan candi ini dibantu oleh seorang guru dari Ghandadwipa (Bengalore) bernama Kumaragacya yang sangat dihormati, dan seorang pangeran dari Kashmir bernama Visvawarman sebagai penasihat yang ahli dalam ajaran Buddis Tantra Vajrayana.
Pembangunan candi dimulai pada masa Maharaja Dananjaya yang bergelar Sri Sanggramadananjaya, dilanjutkan oleh putranya, Samarotthungga, dan oleh cucu perempuannya, Dyah Ayu Pramodhawardhani.
Sebelum dipugar, Candi Borobudur berupa reruntuhan, seperti halnya artefak-artefak candi yang baru ditemukan. Ketika kita mengunjungi Borobudur dan menikmati keindahan alam sekitarnya dari atas puncak candi, kadang kita tak berpikir tentang siapa yang berjasa membangun kembali Candi Borobudur menjadi bangunan megah dan menjadi kekayaan bangsa ini.
Pemugaran selanjutnya, setelah oleh Cornelius pada masa Raffles maupun Residen Hatmann, dilakukan pada 1907-1911 oleh Theodorus van Erp, yang membangun kembali susunan bentuk candi dari reruntuhan karena dimakan zaman, sampai pada bentuk sekarang.
Van Erp seorang ahli teknik bangunan, yang tertarik untuk meneliti dan mempelajari seluk-beluk Candi Borobudur, mulai falsafahnya sampai ajaran-ajaran yang dikandungnya. Untuk itu, dia melakukan studi banding selama beberapa tahun di India. Ia juga pergi ke Sri Lanka untuk melihat susunan bangunan puncak stupa Sanchi di Kandy, sampai akhirnya menemukan bentuk Candi Borobudur.
Sedangkan mengenai landasan falsafah dan agamanya, ditemukan oleh Stutterheim dan NJ. Krom, yakni tentang ajaran Buddha Dharma dengan aliran Mahayana-Yogacara, dan ada kecenderungan pula bercampur dengan aliran Tantrayana-Vajrayana. Oleh sebab itu, para pemugar harus memiliki sekelumit sejarah ini di Indonesia.
Penelitian terhadap susunan bangunan candi dan falsafah yang dibawanya, tentu membutuhkan waktu yang tidak sedikit, apalagi kalau dihubung-hubungkan dengan bangunan-bangunan candi lainnya yang masih satu rumpun. Seperti antara Candi Borobudur dengan Candi Pawon, dan Candi Mendut yang secara geografis berada pada satu jalur.
Materi candi
Candi Borobudur merupakan candi terbesar kedua setelah Candi Ankor Wat di Kamboja. Borobudur mirip bangunan piramida Cheops di Gizeh, Mesir. Luas bangunan Candi Borobudur 15.129 m2, yang tersusun dari 55.000 m3 batu, dari 2 juta potongan batu-batuan. Ukuran batu rata-rata 25 cm X 10 cm X 15 cm.
Panjang potongan batu secara keseluruhan 500 km, dengan berat keseluruhan batu 1,3 juta ton. Dinding-dinding Candi Borobudur dikelilingi gambar-gambar atau relief, yang merupakan satu rangkaian cerita yang tersusun dalam 1.460 panel. Panjang panel masing-masing 2 meter. Jadi, kalau rangkaian relief itu dibentangkan, maka kurang lebih panjang relief seluruhnya 3 km.
Jumlah tingkat ada sepuluh, tingkat 1-6 berbentuk bujur sangkar, sedangkan tingkat 7-10 berbentuk bundar. Arca yang terdapat di seluruh bangunan candi berjumlah 504 buah. Sedangkan tinggi candi dari permukaan tanah sampai ujung stupa induk dulunya 42 meter, namun sekarang tinggal 34,5 meter setelah tersambar petir.
Menurut hasil penyelidikan antropolog-etnolog Austria, Robert von Heine Geldern, nenek moyang bangsa Indonesia sudah mengenal tata budaya pada zaman Neolithic dan Megalithic yang berasal dari Vietnam Selatan dan Kamboja.
Pada zaman Megalithic, nenek moyang bangsa Indonesia membuat makam leluhurnya, sekaligus tempat pemujaan berupa bangunan piramida bersusun, semakin ke atas semakin kecil. Salah satunya yang ditemukan di Lebak Sibedug Leuwiliang, Bogor, Jawa Barat.
Bangunan serupa juga terdapat di Candi Sukuh di dekat Solo, juga Candi Borobudur. Kalau kita lihat dari kejauhan, Borobudur tampak seperti susunan bangunan berundak, atau semacam piramida dan sebuah stupa.
Berbeda dengan piramida raksasa di Mesir dan Piramida Teotihuacan di Meksiko, Candi Borobudur merupakan versi lain bangunan piramida. Piramida Borobudur berupa kepunden berundak yang tidak akan ditemukan di daerah dan negara mana pun, termasuk di India. Dan itulah salah satu kelebihan Candi Borobudur yang merupakan kekhasan arsitektur Budhis di Indonesia.
Melihat kemegahan bangunan Candi Borobudur saat ini, dan candi-candi lainnya di Indonesia, telah memberikan pengetahuan yang besar tentang peradaban bangsa Indonesia. Berbagai ilmu pengetahuan terlibat dalam usaha rekonstruksi Candi Borobudur, yang dilakukan oleh Teodhorus van Erp. Kita patut menghargai usaha-usahanya, mengingat berbagai kendala dan kesulitan yang dihadapi dalam membangun kembali candi ini.
Harta karun
Pemugaran selanjutnya dilakukan pada tahun 1973-1983, selang 70 tahun dari pemugaran yang dilakukan van Erp. Pemugaran ini dimaksudkan sebagai upaya melestarikan budaya yang tak ternilai harganya. Inilah "harta karun" yang sesungguhnya tak bisa dihargai dengan uang. Kesadaran masyarakat untuk ikut mengamankan bangunan candi sangat diharapkan, termasuk juga dari para wisatawan.
Penggalian, penelitian, dan rencana pemugaran terhadap candi-candi atau benda-benda bersejarah lainnya, yang baru-baru ini ditemukan, tentunya membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit.
Pemugaran bangunan budaya dan kepurbakalaan tidak semudah pembangunan gedung modern. Setiap bentuk bangunan budaya memiliki makna yang khusus, dan hal ini tidak dapat diabaikan dalam pemugaran bangunan kuno tersebut. Oleh sebab itu, butuh dukungan dari berbagai pihak, dari dalam maupun luar negeri.
Upaya membangun kembali simbol-simbol peradaban yang pernah hilang berarti semakin membuka mata hati kita tentang sejarah peradaban manusia Indonesia yang kaya ilmu pengetahuan dan budaya. Dengan demikian, kita akan menjadi manusia berbudaya yang mampu menghargai budayanya sendiri, sebagai bentuk jati diri dan identitas bangsa yang mandiri.
Akhirnya, kita harus membangkitkan kembali gairah menghargai benda-benda cagar budaya, yang bukan hanya menjadi kekayaan masyarakat dan bangsa, melainkan juga menjadi kekayaan ilmu pengetahuan yang akan terus mengungkap fakta-fakta sejarahnya.
Menikmati keindahan dan menjaga kelestariannya merupakan salah satu bentuk kepedulian yang sangat berarti. Tentunya peran lembaga yang berkaitan dengan perlindungan benda-benda cagar budaya perlu ditingkatkan, dengan memberikan pemahaman, pengertian, dan sosialisasi, tentang pentingnya menjaga dan melestarikan benda-benda tersebut.
Baca juga: Misteri Duyung, Makhluk Setengah Manusia Setengah Ikan