Ternyata, Anak-anak Bos Teknologi Justru Tidak Main Komputer (Bagian 2)
https://www.naviri.org/2019/02/anak-bos-teknologi-page-2.html
Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Ternyata, Anak-anak Bos Teknologi Justru Tidak Main Komputer - Bagian 2). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.
Apakah belajar hitungan pecahan dengan memotong apel atau merajut jauh lebih baik? Bagi Waldorf, pertanyaan ini sulit dibuktikan.
Sebagai sekolah swasta, Waldorf tak berpedoman pada tes-tes dasar yang serupa dengan sekolah-sekolah lain. Mereka memang mengakui murid-muridnya tak akan dapat nilai setinggi anak-anak sekolah negeri, jika diminta mengerjakan soal-soal tes umum. Bukan karena bodoh, namun karena murid-murid Waldorf memang tak dijejali teori-teori matematika dasar sesuai kurikulum.
Namun, ketika diminta membuktikan efektivitas pendidikan di Waldorf, Association of Waldorf School di Amerika Utara menayangkan hasil penelitian yang tak main-main: “94% siswa lulusan SMA Waldorf di Amerika Serikat antara tahun 1994-2004 berhasil masuk di berbagai jurusan di kampus-kampus bergengsi seperti Oberlin, Berkeley, dan Vassar.”
Selain faktor minimnya teknologi, kualitas pengajar yang baik di Waldorf juga dinilai berpengaruh pada keberhasilan sekolah tersebut mengirim anak-anaknya ke universitas-universitas bergengsi di Amerika.
Waldorf memang tak sembarangan dalam memilih guru. Selain berpendidikan tinggi, mereka harus memiliki jam terbang yang mumpuni. Wajar saja jika Waldorf kemudian berhasil mengembangkan anak didik mereka menjadi hebat dan berprestasi.
Kualitas inilah yang kemudian membuat para orang tua percaya pada metode pengajaran Waldorf. Salah satu orang tua tersebut adalah Pierre Laurent, pendiri startup yang sebelumnya bekerja di Intel dan Microsoft. Bahkan saking terkesannya dengan metode Waldorf, Monica Laurent, istri Pierre, bergabung menjadi guru di sekolah ini sejak tahun 2006.
Waldorf memegang filosofi bahwa belajar-mengajar bukan perkara sederhana. Ini tentang bagaimana seharusnya menjadi manusia.
Sebenarnya, menurut Waldorf, memilih menggunakan teknologi komputer atau tidak, bisa jadi sifatnya subyektif atau perkara pilihan. Terserah saja, menurut kebijakan sekolah masing-masing. Namun, yang harus dicatat: ketika anak sudah dibiarkan lekat dengan komputer sejak dini, bisa saja ia akan ketergantungan, dan sulit melepaskan gawai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Ann Flynn—petinggi National School Boards Association yang membawahi sekolah-sekolah negeri di Amerika—tetap bersikeras bahwa pelajaran komputer itu penting.
Sementara Paul Thomas, mantan guru dan profesor pendidikan yang sudah menulis lebih dari 12 buku tentang metode pendidikan publik, lebih setuju pada Waldorf. Baginya, pendekatan yang minim teknologi di dalam kelas justru sangat bermanfaat.
“Mengajar adalah pengalaman manusia. Teknologi justru bisa jadi gangguan ketika mengenal huruf dan angka, belajar hitungan, dan berpikir kritis, “ ungkap Thomas.
Keahlian di bidang IT adalah modal untuk bersaing di dunia kerja. Tapi, haruskah itu menjadi alasan untuk mengenalkan komputer pada anak sejak dini?
“Komputer itu sangat mudah. Kami di Google sengaja membuat perangkat yang ibaratnya bisa digunakan tanpa harus berpikir. Anak-anak tetap bisa mempelajari komputer sendiri jika usia mereka sudah dewasa,” ujar Alan Eagle.
Singkatnya, Eagle menjelaskan bahwa komputer itu mudah, dan bisa dipelajari lewat kursus kilat sekalipun. Jadi buat apa “membunuh” kreativitas alami anak dengan memaksa mereka mempelajari komputer sejak dini?
Bukan berarti anak-anak di Waldorf dan Silicon Valley sama sekali tak melek teknologi. Siswa-siswa kelas V di Waldorf mengaku sering menghabiskan waktu mereka dengan menonton film di rumah.
Seorang siswa, yang ayahnya bekerja sebagai teknisi di Apple, mengaku sering diminta mencoba game baru ciptaan sang ayah. Sementara seorang murid biasa berkutat dengan flight control system di akhir pekan bersama orang tuanya.
Justru anak-anak ini sudah mendapat pengetahuan teknologi dalam porsi yang pas, mengingat kebanyakan orang tua mereka penggiat industri teknologi. Berkat didikan di Waldorf, anak-anak Silicon Valley mengaku tak nyaman saat melihat orang-orang di sekitarnya sibuk dengan gadget mereka.
“Aku lebih suka menulis dengan kertas dan pulpen. Ini membuatku bisa membandingkan tulisanku saat kelas I dengan yang sekarang. Kalau aku menulis di komputer, gaya tulisannya sama semua. Dan kalau komputermu tiba-tiba rusak atau mendadak mati listrik, pekerjaanmu tak selesai, kan?” ungkap Finn Heilig, yang ayahnya bekerja di Google.
Sekali lagi, metode pendidikan tanpa komputer bukan bermaksud menutup akses anak untuk mengenal teknologi. Kelak, di usia tertentu, mereka tetap punya kesempatan untuk mempelajarinya. Sementara di masa kanak-kanak, mereka berhak mendapat kesempatan menjadi sebenar-benarnya anak-anak.
Bagaimana nasib adik-adik atau anak-anak kita kelak? Apakah lebih baik mereka dikenalkan dengan gadget dan perangkat teknologi sejak dini, atau lebih baik menunggu sampai saat yang benar-benar tepat?
Baca juga: Komentar Tokoh Penemu Internet Tentang Internet Zaman Sekarang