Ternyata, Anak-anak Bos Teknologi Justru Tidak Main Komputer (Bagian 1)
https://www.naviri.org/2019/02/anak-bos-teknologi-page-1.html
Naviri Magazine - Di Indonesia, mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) adalah salah satu muatan lokal yang umum ditemui. Banyak juga sekolah yang mengizinkan murid-muridnya membawa laptop untuk kepentingan mencatat atau browsing informasi saat di kelas.
Selesai sekolah, anak-anak bukannya pulang ke rumah untuk istirahat; mereka justru kembali akrab dengan iPad atau game konsol mereka, dengan alasan refreshing setelah seharian belajar. Saking umumnya, sebagian kita mungkin menganggap fenomena ini sah-sah saja.
Tapi tunggu! Mari sejenak jalan-jalan ke Silicon Valley, sebuah kawasan di Amerika, tempat perusahaan-perusahaan teknologi top dunia berkantor. Di tempat ini terdapat fakta yang akan membuat kita berpikir ulang, “Apakah keputusan mengenalkan komputer pada anak sejak usia dini itu tepat?”
Para petinggi Google, Apple, Yahoo, HP, hingga eBay, mengirim anak-anaknya ke sekolah yang sama sekali tak punya komputer
Ketika sekolah-sekolah lain memasukkan komputer dalam kurikulum dan berlomba membangun sekolah digital, Waldorf School of the Peninsula justru melakukan hal sebaliknya. Sekolah ini dengan sengaja menjauhkan anak-anak dari perangkat komputer.
Sekolah Waldorf justru fokus pada aktivitas fisik, kreativitas, dan kemampuan keterampilan tangan para murid. Anak-anak tak diajari mengenal perangkat tablet atau laptop. Mereka biasa mencatat dengan kertas dan pulpen, menggunakan jarum rajut dan lem perekat ketika membuat prakarya, hingga bermain-main dengan tanah setelah selesai pelajaran olahraga.
Guru-guru di Waldorf percaya bahwa komputer justru akan menghambat kemampuan bergerak, berpikir kreatif, berinteraksi dengan manusia, hingga kepekaan dan kemampuan anak memperhatikan pelajaran.
Para petinggi di dunia IT membela keputusan sekolah Waldorf untuk tak memperkenalkan komputer ke anak-anak mereka
Banyak yang menganggap bahwa kebijakan yang dibuat Waldorf itu keliru. Meski metode pembelajaran yang mereka gunakan sudah berusia lebih dari satu abad, perdebatan soal penggunaan komputer dalam proses belajar-mengajar masih terus berlanjut.
Menurut para pendidik dan orangtua murid di Sekolah Waldorf, sekolah dasar yang baik justru harus menghindarkan murid-muridnya dari komputer. Ini disetujui oleh Alan Eagle, yang menyekolahkan anaknya, Andie, di Waldorf School of the Peninsula.
“[Anak saya baik-baik saja, meskipun] tak tahu bagaimana cara menggunakan Google. Anak saya yang lain, yang sekarang di kelas dua SMP, juga baru saja dikenalkan pada komputer,” tutur Eagle, yang bekerja untuk Google.
Eagle tak mempermasalahkan ironi antara statusnya sebagai staf ahli di Google, dan kondisi anak-anaknya yang gaptek. “Misalkan saja saya seorang sutradara yang baru menelurkan sebuah film dewasa. Meski film itu didaulat sebagai film terbaik yang pernah ada di dunia sekalipun, saya tak akan membiarkan anak-anak saya menonton film itu kalau umur mereka belum 17 tahun.”
Tanpa perangkat komputer atau kabel, kelas-kelas di Waldorf punya tampilan klasik dengan papan tulis dan kapur warna-warni
Sekolah Waldorf tampil dengan gaya ruangan kelas yang klasik. Tak banyak perangkat elektronik, layar-layar komputer, atau kabel-kabel yang menghiasi ruangan. Berhias dinding-dinding kayu, kita hanya akan menemukan papan tulis penuh coretan kapur warna-warni. Ada rak-rak penuh berbagai ensiklopedia, hingga meja-meja kayu dengan tumpukan buku-buku catatan dan pensil.
Andie, yang duduk di kelas 5, mendapat pelajaran membuat kaos kaki. Keterampilan merajut dipercaya membantu anak-anak belajar memahami pola dan hitungan. Menggunakan jarum dan benang bisa mengasah kemampuan memecahkan masalah dan belajar koordinasi.
Saat pelajaran bahasa di kelas 2, anak-anak diajak berdiri melingkar. Mereka diminta mengulang kalimat yang diucapkan guru secara bergiliran. Gilirannya ditentukan dengan melempar penghapus atau bola. Ternyata, metode belajar ini bisa jadi salah satu cara untuk mensinkronkan tubuh dan otak.
Guru kelas Andie, Cathy Waheed, mengajari anak-anak mengenal pecahan dengan metode yang sangat sederhana. Waheed menggunakan buah apel, kue pai, atau roti yang dipotong-potong, lalu dibagikan pada murid-muridnya.
“Saya yakin, dengan cara ini mereka bisa lebih mudah mengenal hitungan pecahan,” ujar Waheed, yang merupakan lulusan Ilmu Komputer dan sempat bekerja sebagai teknisi
Menurut guru-guru Waldorf, mengajari siswa memakai komputer tak akan membuat mereka bertambah pintar. Sampai saat ini belum ada penelitian yang bisa menjelaskan kaitan keduanya.
Selain dari pengajar dan orang tua murid, para ahli pendidikan pun menegaskan: “Penggunaan komputer di ruang kelas sebenarnya tidak ada alasan ilmiahnya. Sampai saat ini toh belum ada penelitian yang membuktikan bahwa keterampilan menggunakan komputer akan berpengaruh pada nilai tes atau prestasi mereka.”
Baca lanjutannya: Ternyata, Anak-anak Bos Teknologi Justru Tidak Main Komputer (Bagian 2)