Yue Fei, Pemimpin Perang Legendaris di Zaman Cina Kuno (Bagian 2)
https://www.naviri.org/2019/01/yue-fei-part-2.html
Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Yue Fei, Pemimpin Perang Legendaris di Zaman Cina Kuno - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.
Jenderal Zhang Suo lalu mempercayakan jabatan komandan pasukan. Yue Fei tidak mengecewakan, berkali-kali dia menghancurkan pasukan Jin. Pasukan Jin ketakutan melihatnya, bahkan memanggilnya dengan julukan kehormatan “Kakek Yue”. Setiap kali melihat panji perang Yue Fei melambai-lambai, mereka akan lari terbirit-birit ketakutan.
Karena Yue Fei berselisih dengan komandan lain Wang Yan, dia kemudian membawa pasukannya kembali berada di bawah komando Zong Ze. Dia kembali banyak mencatatkan jasa dan memenangkan peperangan, sehingga diberi jabatan sebagai Pengendali Pusat Pasukan Penjaga. Setelah Zong Ze meninggal, Du Chong diangkat sebagai penggantinya.
Pada tahun ketiga tahta Jianyan, Yue Fei mengikuti Du Chong mengawal Istana Jiankang. Pada akhir tahun yang sama, tentara Jin menyerang ke selatan. Tentara Du Chong berhasil dikalahkan tentara Jin. Yue Fei sendirian memimpin pasukannya untuk mengumpulkan prajurit yang terpencar dan mendirikan pasukannya sendiri.
Kebetulan, tentara Jin menyerang Hangzhou. Yue Fei kemudian memimpin pasukan untuk melakukan penyerangan. Dalam enam kali pertempuran, ia memenangkan keenam pertempuran itu. Jenderal besar Jin, Wu Zhu yang dikalahkan Yue Fei, mengumpulkan sisa tentaranya untuk mundur dan berjaga di Jianbei.
Sepanjang pelariannya, ia selalu diserang kembali oleh Yue Fei. Tentara Jin akhirnya ditumpas habis oleh Yue Fei. Jin Wu Zhu melarikan diri untuk menyelamatkan nyawanya, tapi Yue Fei terus mengejar hingga Wu Zhu hampir saja jatuh dari kudanya. Keesokan harinya, Yue Fei akhirnya berhasil merebut Jiankang.
Lapar pun tak boleh merampok rakyat
Tak ada yang meragukan kesetiaan prajurit-prajurit yang berada di bawah pimpinan Yue Fei kepada sang komandan. Orang mengenal Yue Fei sebagai sosok yang sudi berbagi suka dan duka dengan pasukannya, namun juga sangat disiplin pada pasukannya.
Begitu disiplin dan tegasnya Yue Fei, sampai ia meminta prajuritnya berjanji, dalam keadaan dingin sekali pun tak boleh merampas rumah orang, dalam keadaan lapar sekali pun tak boleh merampok penduduk. Berkat kerja kerasnya, Yue Fei akhirnya berhasil membina pasukan yang disiplin tanpa pernah ada yang berkhianat.
Pada tahun 1134, Yue Fei untuk pertama kalinya memimpin ekspedisi tentara Song ke Utara yang pertama, dan berhasil mendapatkan kembali enam kabupaten di Xiangyang. Hal ini membangkitkan semangat juang para prajurit dan rakyat di Song Selatan. Istana kemudian menerimanya sebagai pejabat.
Pada saat itu, Yue Fei yang berumur 32 tahun merupakan jenderal termuda yang turut berjasa mendirikan Dinasti Song Selatan. Namun Yue Fei tidak pernah puas dengan sumbangsihnya, dia ingin menaklukkan kembali Cina pusat dan membersihkan aib Jing Kang. Oleh karena itulah ia menuliskan puisi berjudul Man Jiang Hong (Sungai Berwarna Merah) untuk mengutarakan keteguhan semangatnya untuk membela negara.
Tradisi meludah di makam Yue Fei
Meski berkeinginan menumpas pasukan Jin, dan mengembalikan wilayah Cina yang dijajah, Yue Fei justru menghadapi tantangan dari dalam istana. Qin Hui, menteri yang iri, menudingnya ingin menghamburkan uang negara, karena peperangan memerlukan banyak uang.
Hasutan Qin Hui berhasil. Semakin banyak menteri menentang Yue Fei. Tahun 1141, Yue Fei dipanggil menghadap Kaisar Song Gaozong ke istana. Di sini ia difitnah telah bersekongkol dengan musuh. Yue Fei dijatuhi hukuman penjara, dan seperti dijelaskan di atas, sang pahlawan rakyat ini dijatuhi hukuman mati bersama anaknya, Yue Yun.
Pada tahun 1163, Kaisar Gaozong memerintahkan penggalian atas makam Yue Fei, dan dipulihkan nama baiknya. Ia lalu dimakamkan di lokasi makamnya sekarang. Baru pada tahun 1221, sebuah kuil memorial dibangun untuk Yue Fei, lengkap dengan arca raksasa Yue Fei yang dipasang di dalamnya.
Dalam perjalanan waktu, kuil memorial itu telah dihancurkan dan dibangun kembali selama beberapa kali. Kuil yang masih berdiri sampai sekarang merupakan hasil restorasi tahun 1923. Di dalamnya terdapat sebuah arca setinggi 4.54 meter, lengkap dengan pedang di tangan, siap untuk berperang kapan saja.
Di belakangnya terdapat kaligrafi karya Yue Fei yang berbunyi “Kembalikan gunung dan sungai kami.” Ini menunjukkan rasa patriotisme dan perlawanan Yue Fei pada Negeri Jin (Kim). Di kedua sisi kuil terdapat 120 prasasti, yang di atasnya digrafir puisi-puisi ciptaan Yue Fei.
Di sebelah kanan Kuil memorial terdapat Musoleum Yue Fei. Di sini terdapat 4 patung besi, masing-masing Qin Hui dan istrinya, Zhang Jun dan Mo Qixie yang sedang berlutut di depan makam.
Di masa silam, terdapat tradisi memaki dan meludahi keempat patung ini, yang dilakukan oleh pengunjung yang berziarah ke makam Yue Fei. Pengunjung bahkan boleh melepas sepatu dan melemparkannya ke dua patung tersebut. Kini terdapat tanda “jangan meludah” di sisi setiap patung. Sebagai gantinya, para pengunjung melakukan tradisi lain untuk mengungkapkan kekesalan pada empat penghianat, yakni dengan cara menampar bagian belakang kepala patung tersebebut.
Di kedua sisi makam Yue Fei juga terdapat enam patung batu, dua kuda, dua harimau, dan dua kambing, yang menyimbolkan para pengawal Yue Fei. Setiap tahun tak terhitung peziarah yang datang ke tempat ini untuk mengenang kepatriotan Yue Fei.
Ada satu hal lagi yang di masa silam diidentikkan dengan Qin Hui, yakni makanan yang kita kenal dengan nama cakwe. Dahulu, cakwe yang dalam bahasa Mandarin dikenal dengan Youtiao, sering diibaratkan sebagai Qin Hui yang suka berkhianat. Untuk melampiaskan kegemasan pada Qin Hui, rakyat Cina menggoreng cakwe dalam minyak yang panas!
Baca juga: Legenda dan Petualangan Bajak Laut Paling Terkenal di Dunia