Kisah Suku Xhosa dan Sejarah Kelam di Afrika (Bagian 2)
https://www.naviri.org/2019/01/suku-xhosa-part-2.html
Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kisah Suku Xhosa dan Sejarah Kelam di Afrika - Bagian 2). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.
Mhlakaza meyakini penampakan dan pesan yang disampaikan leluhur mereka melalui Nongqause. Dengan tergesa-gesa, ia menemui kepala suku Xhosa, Sarhili. Sang kepala suku, Sarhili, kemudian mengeluarkan perintah agar seluruh rakyat Xhosa mematuhi petuah dan petunjuk roh-roh leluhur tersebut. Untuk pertama kalinya, kaum Xhosa pun menyembelih ternak-ternak yang paling gemuk secara massal.
Setelah pemotongan hewan itu terlaksana, Nongqause kembali ke tepi sungai tempat pertama kali ia melihat penampakan roh-roh leluhur. Di sana, ia mendengar suara keras yang aneh dan menakutkan dari dalam kolam. Seperti suara lenguhan tak teratur dari hewan yang disembelih. Ia kembali melapor pada Mhlakaza tentang hal tersebut.
Mhlakaza menganggap itu tanda bahwa hewan ternak harus disembelih lebih banyak lagi. Artinya, seluruh hewan ternak yang dimiliki suku Xhosa diperintahkan roh leluhur agar tak ada yang dibiarkan hidup, begitu juga dengan setiap hasil panen jagung mereka harus dimusnahkan.
Jika semua hal itu sudah terlaksana, maka pada 11 Agustus 1856 (sesuai tanggal penetapan dalam penampakan Nongqause), roh leluhur akan memenuhi janjinya.
Sementara para panglima perang suku Xhosa nyaris kehilangan semangat tempur, akhirnya kembali bersemangat setelah mendengar soal ramalan itu, apalagi mereka mendapat kabar kematian Letnan Jenderal Cathcart, pemimpin pasukan orang-orang kulit putih. Kematian itu mereka anggap akibat adanya intervensi roh-roh leluhur.
Sebagian besar suku Xhosa kemudian mematuhi perintah kepala sukunya. Seluruh ternak dibunuh, dan seluruh ladang dan hasil panen dibakar. Keputusan ini ternyata mengakibatkan petaka.
Kelaparan segera merambat ke seluruh daerah Xhosa. Walau sudah begitu menderita, rakyat Xhosa tetap menanti tanggal digenapinya ramalan itu.
Tepat pada 10 Agustus 1856, seluruh tetua suku, pejuang, dan sejumlah besar rakyat, berkumpul di suatu lapangan terbuka. Seluruh suku Xhosa mengenakan pakaian kebesaran mereka. Kalung-kalung manik dari tulang dan coret-moret khas di sekujur tubuh.
Sejak matahari terbenam sampai matahari menjelang terbit, mereka menari-nari dengan tenaga yang tersisa. Di tengah bencana kelaparan berbulan-bulan, mereka yakin harapan sudah di depan mata.
Matahari pun terbit pada pagi 11 Agustus 1856. Menurut ramalan, matahari yang terbit akan berwarna merah darah, dan terpaku sekian lama di puncak tengah hari. Kala itulah para dewa dan leluhur akan menampakkan diri dan memenuhi semua janji. Seluruh suku terpana memandang langit, mereka menanti-nanti keajaiban muncul.
Namun, hingga matahari kembali terbenam, tak ada keajaiban apapun yang muncul. Kecuali korban tewas akibat kelaparan semakin bertambah. Mereka kemudian tersadar bahwa yang mereka lakukan ternyata sia-sia. Namun semuanya sudah terlambat.
Yang selamat kemudian berupaya mencari makanan dari wilayah sekitar, atau yang sudah frustasi akhirnya menjadi kanibal. Mereka saling membunuh dan memakan daging sesamanya. Sungguh tragedi kemanusiaan!
Sejarah mencatat, 25.000 orang Xhosa tewas dalam tragedi tersebut. Dan total sampai suku Xhosa kembali terbebas dari kelaparan, jumlah korban sudah melebihi angka 50.000 orang tewas.
Kehidupan sederhana suku Xhosa di Afrika Selatan yang nyaman dan tenteram tak bertahan selamanya. Ketenangan itu mulai terusik ketika penjelajah Eropa mulai mendarat di pantai Afrika Selatan. Lalu penderitaan dan kesengsaraan mulai menghantui mereka.
Orang Eropa pertama yang membentuk pemukiman di wilayah Afrika Selatan adalah orang-orang Belanda (The Dutch) pada pertengahan 1600-an. Mereka membangun kawasan pemukiman di wilayah dekat Sungai Fish River di Afrika Selatan. Sementara orang-orang Xhosa sudah mendiami wilayah timur sungai itu sampai teritori yang didiami orang-orang kulit hitam berbahasa Zulu (kini Kota Durban).
Suku Xhosa sebenarnya amat terbuka dan suka bergaul dengan kelompok masyarakat suku lain. Mereka berinteraksi dengan suku Koi, orang Bushmen, dan suku nomaden Afrika. Terkadang untuk berdagang atau saling tukar informasi dan pengetahuan.
Namun orang-orang kulit putih mulai mendesak wilayah kaum Xhosa, sehingga menimbulkan konflik. Orang-orang Xhosa tadinya adalah peternak dan petani yang menguasai padang rumput yang luas. Namun orang-orang kulit putih juga beternak dan berladang, sehingga sering muncul konflik tanah.
Pertikaian kedua ras berbeda ini menyulut adu senjata pertama kali di awal tahun 1700-an, di sekitar Somerset East. Lantas, dalam tahun-tahun berikutnya, konflik semakin meluas setelah terjadi perluasan kolonialisasi Eropa di Afrika Selatan.
Lalu, pada 1700-an akhir, saat orang Indo (perkawinan silang Afrika-Eropa) melakukan migrasi dari Cape Town ke wilayah Great Fish River di Eastern Cape, mereka semakin memperuncing konflik dengan suku Xhosa.
Selama 20 tahun lebih, perang dan konflik semakin menajam. Sampai akhirnya pejuang-pejuang suku Xhosa terlibat perang terbuka dengan orang-orang kulit putih. Pada 1811-1812, suku Xhosa terdesak semakin ke timur oleh pasukan kolonial Inggris dalam perang Third Frontier War.
Lantas di tahun berikutnya, suku Xhosa juga terlibat konflik antar suku Afrika, dan terdesak ke barat, dalam ekspansi suku Zulu (yang juga membenci orang-orang kulit putih). Akibatnya, kehidupan suku Xhosa sangat terjepit. Di satu sisi oleh sesama orang kulit hitam, di sisi lain oleh orang-orang kolonial Eropa.
Kekalahan demi kekalahan dalam pertempuran tombak melawan bedil membuat mereka semakin sengsara. Wabah meluas dan ternak semakin kurus, hasil panen tak mencukupi. Kelaparan pun mengancam. Apalagi dengan munculnya gerakan pembataian hewan ternak tahun 1856 (cattle-killing movement) akibat kepercayaan buta pada ramalan Nongqause, seorang gadis belia.
Peristiwa itu nyaris memusnahkan suku dominan kedua terbesar di Afrika Selatan tersebut. Bencana kelaparan dan praktik kanibalisme menjadi catatan paling kelam dalam sejarah Afrika Selatan.
Sejak itu, Xhosa berupaya bangkit dari keterpurukan. Namun masalah perbudakan dan politik kulit putih membuat mereka menjadi bansga yang tertindas. Hingga kini konflik masih terjadi, suku Xhosa masih terlibat konflik politik dengan suku Zulu.
Baca juga: Misteri Batu Tertua Bumi yang Ditemukan Astronot di Bulan