Penemuan Tembok Misterius Berusia 3,5 Abad di Bawah Tanah Jakarta
https://www.naviri.org/2019/01/penemuan-tembok-misterius.html
Naviri Magazine - Masyarakat Jakarta, atau bahkan masyarakat Indonesia secara umum, mungkin sudah biasa dengan pemandangan yang ada di atas tanah Jakarta. Yaitu gedung-gedung tinggi pencakar langit, kemacetan di mana-mana, dan berbagai hal yang lekat dengan kesibukan ibu kota. Tapi bagaimana dengan bawah tanah Jakarta?
Pekerja yang sedang membuat jalur MRT di bawah tanah Jakarta dibuat heboh. Sebuah artefak kuno dan misterius berupa tembok besar, yang diperkirakan berusia 3,5 abad, ditemukan menghadang pembangunan Mass Rapid Transit atau MRT fase II antara Bundaran Hotel Indonesia-Kampung Bandan.
Tembok itu berada di bawah Stasiun Jakarta Kota, lokasi yang hendak dijadikan stasiun bawah tanah proyek MRT fase II tersebut.
Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Pemprov DKI Jakarta, Candrian Attahiyyat, mulanya menduga tembok besar itu bagian dari Benteng Kota yang juga menjadi bagian dari tembok Kota Batavia pada masa lampau.
Namun, setelah diteliti lebih lanjut, dugaan itu diragukan. Sebab, selain struktur bawah tanah berupa tembok yang masih misterius itu, ada banyak temuan lain, di antaranya batu kubus besar dan cerucuk kayu dari abad 19.
“Sampai sekarang belum diketahui dengan pasti tembok besar itu sebagai apa. Tapi itu bagian artefak,” kata Candrian.
Candrian menuturkan, tembok itu pertama kali ditemukan saat pembangunan halte Stasiun Kota untuk Transjakarta, dan jembatan penyeberangan orang bawah tanah pada tahun 2006 lalu.
Ia memperkirakan, usia tembok tersebut lebih dari 3,5 abad, sehingga termasuk bagian dari cagar budaya.
Pembangunan MRT tetap dilanjutkan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 menyebutkan bahwa cagar budaya adalah warisan budaya yang perlu dilestarikan keberadaannya, karena memiliki nilai penting bagi sejarah.
Candrian mengklaim, dia tak bermaksud menghalangi pembangunan MRT. “Arkeologi dan cagar budaya bukan berarti menghambat pembangunan, tapi bagaimana pembangunan tetap berwawasan pelestarian,” kata Candrian.
Menurutnya, pembangunan halte dan jembatan penyeberangan orang di Stasius Beos sudah cukup merusak tembok besar di kawasan Kota pada saat itu. Pembangunan yang tidak berwawasan pelestarian, katanya, menghalangi visual sejarah.
Candrian mengatakan bahwa sebagian struktur tembok besar itu masih tertanam tepat di bawah Stasiun Beos, atau Jakarta Kota di bagian sisi selatan. Lokasi itu pula yang menjadi salah satu opsi dibangunnya stasiun ke-7 MRT fase II di bawah tanah.
Candrian memberi beberapa masukan kepada PT MRT Jakarta agar tidak mengulangi kesalahan pembangunan sebelumnya, contohnya seperti artefak berupa bangunan tembok kuno di bawah tanah Jakarta.
“Karena sudah telanjur. Jadi jangan sampai terulang. Takutnya membuat stasiun MRT malah tambah merusak, karena tak belajar dari pengalaman,” ujarnya.
Untuk lokasi stasiun MRT di Kota, Candrian lebih setuju dengan opsi kedua, yaitu menempatkannya di Jalan Pintu Besar Selatan, dekat Bank DKI. Lokasi di sana lebih aman, karena berada di luar area tembok yang berbatasan dengan Stasiun Kota.
Kekhawatiran itu sebenarnya telah lebih dulu menghinggapi Direktur Konstruksi PT MRT Jakarta, Silvia Halim. Sebelum berkonsultasi dengan tim ahli cagar budaya, Silvia sudah memperkirakan ada artefak di bawah tanah, karena kawasan yang dilalui proyek MRT fase II merupakan wilayah yang penuh bangunan bersejarah dan cagar budaya.
Terkait rekomendasi lokasi stasiun MRT di wilayah Kota, Silvia Halim mengaku ada keputusan karena bergantung pada hasil Basic Engineering Design (BED).
“Sekarang kami kumpulkan masukan-masukan dan data teknis lapangan selengkap mungkin, agar dapat membuat keputusan lokasi yang sesuai,” kata Silvia.
Silvia optimistis, persoalan adanya cagar budaya bisa teratasi. Pasalnya, ada beberapa kota di negara lain yang memiliki cagar budaya di bawah tanah, namun tetap bisa membangun jalur dan stasiun kereta.
Ia menyebutkan contohnya seperti Istanbul di Turki, dan Kyoto di Jepang. Dari situ, Silvia akan memilih salah satu negara yang menjadi acuan dalam membangun proyek MRT fase II.
“Kyoto itu kota tua. Mereka punya MRT, dan istana-istananya tetap selamat. Istanbul juga kota tua. Ini yang mau kami pelajari dari mereka,” kata Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Pemprov DKI Jakarta, Candrian Attahiyyat.
Ide MRT Jakarta, dari Habibie dieksekusi oleh Jokowi
Sebenarnya, ide awal transportasi massal MRT sudah dicetuskan sejak 1986 oleh Bacharuddin Jusuf Habibie. Menjabat Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Habibie mengatakan tengah mendalami berbagai studi dan penelitian demi menghadirkan transportasi massal berupa proyek MRT.
Ada empat studi yang dimaksud Habibie: Jakarta Urban Transport Program (1986-1987), Integrated Transport System Improvement by Railway and Feeder Service (1988-1989), Transport Network Planning and Regulation (1989-1992), dan Jakarta Mass Transit System Study (1989-1992). Studi-studi ini kemudian dibawa oleh Sutiyoso (Bang Yos), saat menjabat gubernur DKI Jakarta.
Selama 10 tahun pemerintahan Bang Yos, setidaknya ada dua studi dan penelitian yang dijadikan landasan pembangunan MRT. Pada 2004, Bang Yos lantas mengeluarkan keputusan gubernur tentang pola transportasi makro untuk mendukung skenario penyediaan transportasi massal, salah satunya angkutan cepat terpadu yang akan digarap pada 2010. Namun, semua janji sejak kampanye tak pernah terealisasi.
Berikutnya, MRT juga menjadi janji politik gubernur DKI Jakarta yang terpilih selanjunya, Fauzi Bowo (Foke), saat kampanye dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2007. Namun, janji Foke tak kunjung terealisasi selama lima tahun kepemimpinannya.
Pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2012, Foke kembali berkata bakal mengembangkan dan mengerjakan mass rapid transit (MRT) jika kembali terpilih, dan bakal mengintegrasikannya dengan jalur kereta rel listrik atau komuter. Mimpi itu diwujudkan Foke hanya berupa pencanangan megaproyek tersebut, pada April 2012. Namun, lagi-lagi janji Foke tak kunjung terealisasi selama 10 tahun kepemimpinannya.
Kalah bertarung dengan pasangan Joko Widodo dan Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama, Foke lantas mengumumkan pembangunan MRT sudah dalam tahap tender “berskala internasional”.
Kemudian, Foke juga berkata bahwa model pendanaan sudah diperoleh lewat pinjaman lunak dari Japan International Corporation Agency (JICA).
Padahal seluruh tiang sudah mangkrak puluhan tahun, termakan panas dan hujan hingga besi-besi betonnya berkarat.
Kemudian, di era gubernur DKI Jakarta berikutnya, Joko Widodo (Jokowi), proyek ini resmi terealisasi. Butuh waktu setahun bagi Jokowi memutuskan pembangunan proyek MRT tetap dikerjakan. Bahkan tarik-menarik pembangunan proyek ini agak alot ketika rapat dengan warga Fatmawati yang terkena imbas proyek.
Pada 28 November 2012, Jokowi sempat keluar ruangan, lantaran ada kericuhan dan protes warga yang menolak proyek MRT. Pada 10 Oktober 2013, pengerjaan resmi proyek ini mulai digarap dengan peletakan batu pertama di atas lahan yang rencananya berdiri Stasiun MRT Dukuh Atas, salah satu kawasan paling sibuk di Jakarta Pusat, yang jadi konsentrasi pertemuan berbagai moda transportasi umum.
Hingga Jokowi menjadi presiden dan Ahok bukan lagi gubernur, proyek MRT terus berjalan.
Baca juga: Misteri Stonehange yang Dibangun Raksasa di Timur Tengah