Persoalan Pajak untuk Selebgram dan YouTuber di Indonesia
https://www.naviri.org/2019/01/pajak-untuk-selebgram.html
Naviri Magazine - Selebgram dan YouTuber kini telah menjadi profesi, meski keberadaannya belum dianggap sebagai profesi umum atau resmi. Yang jelas, banyak orang yang telah menjalani profesi sebagai Selebgram dan YouTuber, dan mereka menghasilkan pendapatan dari profesi tersebut. Karena itulah kemudian muncul cetusan untuk menarik pajak dari mereka, sebagaimana pada profesi lainnya.
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Rudiantara, menyarankan agar para pesohor media sosial turut dikenai pajak pendapatan, seperti halnya selebritas lain dalam industri hiburan. Namun, saran Rudiantara memicu polemik.
"Kalau misalkan sekarang selebritas dikenakan aturan pajak, itu kan di dunia nyata. Kalau perform di TV, misalkan kena pajak, di dunia maya harus dikenakan dong. Harus fair, dong," kata Rudiantara.
Mencari duit dengan berkarya di media sosial, belakangan digadang-gadang jadi salah satu bisnis yang cukup menjanjikan. Para pesohor bisa menawarkan jasa agar produsen dapat beriklan melalui akun media sosialnya.
Untuk tarifnya terserah masing-masing pesohor, tak ada standar pasti. Itu juga jadi sebab mengapa kini jumlahnya kian menjamur.
Sedangkan saran Rudiantara diutarakan untuk mendukung Kementerian Keuangan yang ingin menarik pajak dari pesohor media sosial.
"Kami dukung Kementerian Keuangan agar pajaknya bisa dibayar. Misalkan PPN bisa di-collect oleh platform atas nama individu tadi, artinya mereka menjadi wapu (wajib pungut)," papar Rudiantara.
Persoalannya, menurut Kepala Peneliti Fiskal Danny Darussalam Tax Center (DDTC), Bawono Kristiaji, saat ini masih sulit untuk memetakan pajak bagi selebgram dan naravlog yang lazim disebut YouTuber.
Bahkan kesulitan ini bukan cuma dialami Indonesia. Negara-negara besar di dunia, terutama negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), atau Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi, pun mengalami kesulitan yang sama.
OECD digital economy pun menyebut fenomena ini the new shadow economy, karena sulit untuk dipetakan dan mengenali aliran sumber penghasilannya.
Sementara itu, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) DJP, Hestu Yoga Saksama, mengatakan, selama ini peraturan khusus soal pajak selebgram memang belum ada. Namun, bukan berarti mereka tak dikenakan wajib pajak.
"Atas penghasilan selebgram tentu saja merupakan obyek PPh, dan wajib dilaporkan dalam SPT Tahunan serta dibayar PPhnya," kata Hestu.
Menurutnya pula, sejak tahun lalu Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah melakukan pembinaan kepada para pesohor media sosial (medsos). Caranya adalah dengan memantau aktivitas mereka di medsos, dan melakukan penyuluhan agar mereka mau melaksanakan kewajiban perpajakan.
Upaya ini berbuah manis. Kini mulai banyak pesohor yang memiliki inisiatif untuk datang ke kantor pajak, guna membuat NPWP, melapor SPT Tahunan, atau berkonsultasi.
"Kami melihat mulai tumbuh kesadaran pajak dari para selebgram, dan kami sangat menghargai hal tersebut," ucap Hestu.
Sementara itu, Direktur Transformasi Teknologi Komunikasi dan Informasi DJP Kemenkeu, Iwan Djuniardi, mengatakan bahwa sebenarnya otoritas pajak sudah memiliki teknologi yang bisa merekam data media sosial Wajib Pajak.
Teknologi itu bernama Social Network Analytics (Soneta). Selain itu, teknologi ini juga bisa menyandingkan kepemilikan saham dan data perpajakan, seperti Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Namun demikian, DJP belum melakukan penilaian atas harta yang dimiliki dan diunggah oleh WP di media sosial.
Tak hanya selebgram, menurut Hestu pula, pihak pengguna jasanya pun harus turut dikenakan pajak. Mereka wajib memotong PPh Pasal 21 atas pembayaran kepada selebgram, membuat dan memberikan bukti potong PPh tersebut kepada mereka untuk diperhitungkan dalam SPT Tahunan sang pesohor.
Baca juga: Rizal Ramli Mengkritik Klaim Sri Mulyani Terkait Ekonomi RI