Berdasarkan Studi, Orang yang Sopan Belum Tentu Baik Hati
https://www.naviri.org/2019/01/orang-sopan.html
Naviri Magazine - Sopan dan baik mungkin terdengar sama atau mirip, dan bisa jadi kita mengasumsikannya demikian. Kita cenderung menilai orang yang sopan pasti baik, sementara orang yang terlihat tidak sopan memiliki sifat sebaliknya. Tetapi apakah benar begitu? Berdasarkan studi, ternyata sopan dan baik bisa jadi dua hal yang berbeda.
Perbedaan dua sifat ini paling kentara dalam proses pengambilan keputusan sosial. Kesopanan terkait dengan rasa keadilan, dan welas asih ada hubungannya dengan keinginan menolong orang lain.
Riset yang dilakukan selama beberapa dekade telah menemukan tabiat-tabiat kepribadian yang menunjukkan seberapa baik kita memperlakukan orang lain kerap muncul berbarengan. Tabiat-tabiat ini dirangkum dalam terminologi agreeableness, salah satu dari lima dimensi luas yang mencakup sebagian besar kepribadian manusia.
Beberapa tabiat yang kita junjung tinggi—kebaikan, integritas, empati, kerendahatian, kesabaran, dan kemampuan untuk dipercaya—masuk dalam dimensi ini. Kita menyerap tabiat-tabiat ini sejak dini, dan merefleksikan standar penting yang kita acu untuk menilai orang lain dan diri sendiri.
Tapi ada satu pertanyaan menggelitik tentang kumpulan tabiat "baik" ini. Jika semua tabiat baik terkumpul dalam satu dimensi, lalu kenapa kita punya teman berhati emas namun mulutnya kurang bisa dipercaya, atau seorang kenalan tapi baiknya keterlaluan?
Ternyata, agreeableness bisa dibagi dalam dua kelompok kepribadian. Kesopanan mencakup semua kecenderungan kita untuk menghormati orang lain, alih-alih bersikap nyolot pada mereka.
Kesopanan adalah segala sikap baik dan kecenderungan untuk mematuhi aturan dan norma yang berlaku—intinya kita melihat sifat-sifat ini pada orang-orang yang kita anggap sebagai sosok-sosok yang tulus, baik, atau gampangnya "warga negara yang baik-baik."
Sebaliknya, welas asih mengacu pada tendensi kita merasa prihatin dengan orang lain, alih-alih bersikap dingin—di luar sana, sifat-sifat ini sering dilekatkan dengan "orang-orang samaria yang murah hati."
Memang, dua kelompok sifat ini seringkali tumpang tindih. Namun, nyatanya keduanya juga senantiasa bertolak belakang. Misalnya, penelitian psikologis tentang ideologi politik membuktikan bahwa kesopanan diasosiasikan dengan pandangan dan konservatif dan nilai-nilai tradisional, sementara welas asih punya asosiasi yang kuat dengan nilai-nilai liberalisme dan pemikiran progresif.
Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa kesopanan dan welas asih terhubung dengan sistem yang berbada dalam otak kita—kesopanan dengan bagian otak yang mengatur agresi, sementara welas asih dengan bagian otak yang mengatur ikatan dan afiliasi sosial. Dalam riset neuroimaging, welas asih—bukannya kesopanan—terbukti memiliki kaitan dengan bagian otak yang aktif saat memberikan respons empatik.
Riset telah menguji bagaimana kesopanan dan welas asih mewujud dalam tingkah laku yang berbeda. Para peneliti melakukannya dengan menggunakan tantangan pengambilan keputusan yang melibatkan kejujuran dan hukuman.
Permainan ekonomis punya hikayat panjang dalam cabang ilmu yang mengkaji perilaku ekonomi dan biologi evolusioner. Kedua cabang ilmu ini berhasil membongkar asumsi kesombongan manusia, dengan menunjukkan sifat-sifat altruis kita.
Masalahnya, apakah permainan-permainan ini bisa menunjukkan bahwa altruisme adalah perwujudan dari kesopanan, welas asih, atau keduanya?
Para peneliti mengawalinya dengan dictator game. Dalam permainan ini, setiap orang diminta membagi sejumlah uang dengan seorang asing. Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa prediksi ekonomi keliru dalam dua hal. Pertama, manusia tak seegois yang kita duga. Kedua, tingkah laku mereka berubah-ubah tergantung kepribadian mereka.
Yang jelas, peserta penelitian yang sopan cenderung membagi uang dengan adil, dibandingkan para peserta yang berangasan. Uniknya, studi itu tak mendapatkan hasil temuan yang sama dalam kategori welas asih. Artinya, berbagi uang tak harus selalu memicu sikap prihatin yang emosional.
Tapi bagaimana kalau orang-orang asing ini benar-benar butuh uang? Para peneliti mempelajari skenario ini dengan menggunakan third-party recompensation game. Dalam game ini, seseorang diminta mengamati pembagian uang yang kurang adil antara dua orang, dan diberi kesempatan untuk mendonasikan uang mereka pada pihak yang dirugikan dalam pembagian itu.
Dalam skenario ini, seorang yang welas asih tak berpikir lama untuk menyumbangkan uangnya, dibandingkan mereka yang jauh lebih dingin dalam bersikap.
Penelitian-penelitian ini mengungkap perbedaan mendasar antara warga negara yang baik dan orang samaria yang murah hati. Orang yang sopan tak harus selalu menolong mereka yang berada dalam kesusahan. Tapi mereka adalah orang yang adil. Sebaliknya, orang yang welas asih tak harus seorang yang adil dan patuh peraturan, tapi mereka sangat sensitif sekaligus responsif terhadap kesusahan orang.
Lalu, lantaran ada bukti bahwa tabiat kita bisa diubah, kita dihadapkan pada pilihan: sifat mana yang harusnya kita pelihara? Itu pilihan yang berat. Sifat welas asih dan kemampuan berempati kerap dianggap sebagai kunci untuk melenyapkan kesenjangan sosial.
Di sini lain, meski kesopanan yang terlalu berlebihan dicap jelek, sebuah kelompok masyarakat tak akan berdiri tanpa kesopanan. Alih-alih membentuk sebuah kelompok, mereka akan bertingkah agresif dan eksploitatif, dan melanggar aturan sosial dasar.
Pendek kata, kesopanan dan welas asih masing-masing punya peran krusial jika kita hendak hidup berdampingan dengan manusia lain. Mungkin peran kesopanan dan welas asih dengan gamblang bisa dijelaskan dalam prinsip di bawah ini:
Kalau memang mampu, tolonglah orang lain; jika tidak, usahakan untuk tidak menyakiti mereka.
Riset kepribadian manusia menunjukkan bahwa meski dua kepribadian ini berasal dari dua kelompok kepribadian yang berbeda, masing-masing dari kita bisa menumbuhkan dua tabiat ini dalam diri kita.
Baca juga: Ini yang Dirasakan Pria Saat Sendirian Tanpa Memiliki Pasangan