Asal Usul dan Misteri Si Pitung, Jagoan Legendaris Asal Betawi
https://www.naviri.org/2019/01/misteri-si-pitung.html
Naviri Magazine - Bagi masyarakat Betawi, Pitung adalah pahlawan. Ia hidup di abad 19, dan merupakan warga Rawabelong. Ayahnya bernama Piun, asal Cirebon, dan ibunya bernama Pinah, dari Betawi.
Si Pitung menjadi terkenal bukan hanya karena keberaniannya melawan Belanda, tapi juga kepeduliannya terhadap nasib rakyat yang tertindas oleh kekuasaan Belanda dan tuan tanah.
“Saat itu, kehidupan sosial masyarakat sangat tidak manusiawi. Para tuan tanah tak segan meminta pajak yang tinggi kepada para petani. Bila para petani tidak bisa segera membayar pajak sesuai jatuh tempo, para begundal tuan tanah akan memaksa para petani dengan cara-cara kasar. Nah dalam situasi seperti itu, munculah Si Pitung,” kata Alwi Shahab, penulis novel Pitung, Robin Hood Betawi.
Dalam perjalanannya, Si Pitung tidak hanya melindungi rakyat dari para begundal (pendekar bayaran) para tuan tanah, tapi juga merampok harta kekayaan mereka, kemudian membagikannya kepada rakyat kecil.
Terhadap sepak terjang Si Pitung ini, tidak hanya tuan tanah yang tidak tenang, tapi juga Belanda. “Jakarta tidak aman. Akhirnya Belanda menurunkan Schout van Hinne, kepala kepolisian untuk menangkap Si Pitung,” lanjut Alwi.
Sebagai seorang buron, Pitung tidak memiliki tempat menetap yang pasti. Konon, ia pernah tinggal di Kota Depok, tepatnya di salah satu gedung milik bangsawan asal Belanda, Cornelis Chastelein. Warga Depok lebih sering menyebut gedung tersebut sebagai rumah tua Pondok Cina, karena letaknya yang berada di Kelurahan Pondok Cina, Kecamatan Beji.
Sayangnya, bangunan tua yang berada di Jalan Margonda Raya tersebut sudah tidak ada. Gedung yang menjadi saksi sejarah Kota Depok tersebut sudah terkepung oleh mal supermegah bernama Margonda City. Memang, proyek pembangunan Margonda City tidak sampai menggusur gedung tersebut. Meski begitu, fungsi bangunan sudah berubah menjadi sebuah kafe.
Cerita lainnya, Pitung juga pernah tinggal di Kampung Marunda, baik di Masjid Al Alam atau di rumah joglo kampung Marundo Pulo.
Banyak versi tentang hubungan Pitung dengan masjid Al Alam. Ada yang mengatakan bahwa Masjid Al Alam merupakan tempat bermain Pitung, belajar agama, belajar beladiri, sampai sembunyi dari opas dan kompeni. Tapi ada juga yang mengatakan bila Pitung hanya singgah sebentar di Masjid Al Alam untuk melakukan shalat.
Dua pendapat ini sama-sama tidak kuat, karena tidak ada bukti fisik yang bisa menjelaskan keberadaan Pitung di Masjid tersebut, kecuali pemahaman masyarakat sekitar bahwa Pitung pernah berada di Masjid itu.
Selain Masjid Al Alam, pitung juga pernah menjejakkan kakinya di kampung Marunda Pulo, tepatnya di rumah berbentuk joglo yang terletak sekira 250 meter di sebelah selatan masjid Al Alam. Seperti halnya Masjid Al Alam, beragam pendapat menjelaskan hubungan Pitung dengan rumah joglo ini.
Ada yang mengatakan bahwa rumah itu milik Pitung, tapi juga ada pendapat yang menjelaskan bahwa rumah itu milik orang kaya yang pernah disatroni Pitung dan para pengikutnya.
“Pihak museum mengklaim itu milik si Pitung. Padahal sesungguhnya itu milik orang kaya Marunda, dan pernah digarong sama Pitung,” kata M Sambo bin Ishak, wakil ketua Pengurus Masjid Al Alam.
Bukan asli
Rumah panggung itu awalnya dibangun tiga kamar, tetapi kemudian dua di antaranya dibongkar sehingga tinggal satu kamar, tanpa perabot. Panjangnya 15 meter dan lebar 5 meter. Di bagian tengahnya ada tambahan sayap di kiri-kanan, masing-masing 1,5 meter. Semuanya terbuat dari papan kayu jati, dan beberapa bagian ada besi, seperti jeruji jendela dan penyangga atap.
Tiang penopang bangunan ada 40 buah, tingginya dua meter, tinggi bangunan juga dua meter. Karena bentuknya seperti itu, ruangannya pun tampak pendek, apalagi kalau melewati pintu, pengunjung harus merunduk.
Lantai dari papan kayu jati, sebagian masih baru. Ada sepuluh jendela yang berdaun pintu dan berjeruji, sedang dua lainnya tanpa jeruji dan daun. Siang hari, jendela itu selalu dibuka. Di rumah itulah si jawara Betawi tinggal selama beberapa tahun setelah dikejar-kejar Belanda, hingga akhirnya ditangkap, hingga mati, dan konon dikuburkan di Pejagalan.
Kalau air laut pasang, pekarangan dan bagian kolong rumah tergenang air laut hingga 50 cm. Cat bangunan rumah yang merah darah sudah memudar.
H Atit Fauzi, tokoh Marunda Pulo, pernah mengatakan bahwa rumah Pitung itu bukan bangunan aslinya, kecuali lokasi tempat rumah itu dibangun. Rumah aslinya dahulu milik juragan nelayan sero, yakni Haji Syafiuddin.
Sementara mengenai perubahan nama pemilik rumah tersebut, bermula dari usaha Pemprov DKI Jakarta untuk mengabadikan nama Pitung, dan selanjutnya ditetapkan sebagai cagar budaya pada tahun 1992.