Kisah Puyi: Menjadi Raja di Usia 2 Tahun, tapi Berakhir Tragis
https://www.naviri.org/2019/01/kisah-puyi-menjadi-raja-di-usia-2-tahun.html
Naviri Magazine - Hidup indah berujung musibah. Separuh usianya, pewaris terakhir Dinasti Qing, Kaisar Pu Yi, hidup di dalam sangkar emas. Baginya, peribahasa itu bukan istilah dari langit.
Di usia teramat belia, dua tahun, ia sudah dinobatkan menjadi Kaisar, menggantikan pendahulunya yang baru saja mangkat (Kaisar Kuang Hsu). Singgasana berada dalam genggaman, hidup berjalan begitu agung, di berbagai istana di dalam area Kota Terlarang.
Berbagai kemewahan duniawi dan hak-hak istimewa melekat otomatis. Tetapi, sesungguhnya semua itu sebuah paradoks. Ia memang berkuasa menentukan segala hal, termasuk memukuli para kasim atau budak pelayan tanpa alasan apa pun. Tetapi, bahkan untuk ke luar istana saja, ia harus mendapat izin dan pengawalan.
Sebagai Kaisar, ucapannya adalah titah, dan semua orang harus menurut. Namun, di saat bersamaan, ia pun terbelenggu oleh para pengkhianat, penjilat, serta orang-orang yang mengincar kejatuhannya. Mereka bisa memelintir informasi menyesatkan, melakukan korupsi besar-besaran, dan melancarkan pemberontakan diam-diam, guna melucuti takhta agung di Kekaisaran Manchuoko (Manchuria).
Drama berawal pada 13 November 1908. Aisin Gioro Pu Yi atau Henry Pu Yi, yang saat itu masih “bayi merah”, naik ke singgasana kekuasaan. Upacara megah dilangsungkan di Aula Kedamaian Abadi di Kota Terlarang (kini Beijing, di belakang Lapangan Tiananmen).
Di saat yang sama, negeri China bergemuruh. Perubahan besar sedang terjadi, dari zaman ortodoks-tradisional menuju era moderen. Berbagai kekuatan politik, terutama yang dihela oleh kalangan nasionalis pimpinan Sun Yat Sen, dan dilanjutkan Chiang Kai Sek, melakukan upaya pemberontakan. Tarik menarik pengaruh berlangsung ketat.
Tak lama setelah Pu Yi menduduki kursi kekaisaran, ia harus turun segera. Tentara Kuomintang berhasil mendesakkan perubahan pemerintahan, dari Monarki menjadi Republik.
Persis hanya tiga tahun, Pu Yi berkuasa sebagai Kaisar absolut. Selanjutnya, ia menjadi kaisar boneka, berkuasa tetapi tanpa takhta. Nasibnya diselamatkan oleh “Perjanjian Perlakuan Baik” terhadap Kaisar.
Pemerintah Republik sepakat untuk memberikan konsesi dan subsidi terhadap Istana Kaisar. Meski demikian, tetap saja Pu Yi menikmati kehidupan serba luar biasa. Sang Kaisar muda itu benar-benar hidup dalam dunia nirwana, di Istana Kota Terlarang.
Sehari-hari, hanya keberlimpahan yang tersaji. Untuk makan, ia punya istilah sendiri: memilih makanan. Maksudnya, semua kasim di bagian rumah tangga harus mampu menghadirkan 35 menu rutin di meja makan. Padahal, hanya satu dua menu saja yang sanggup ia santap, bahkan ada menu makanan yang sepanjang hidupnya tak pernah ia sentuh.
Semua orang harus takzim, melakukan kowtow (membungkuk di hadapannya). Ke manapun ia pergi, iring-iringan prajurit selalu siap membuntuti. Demi menggambarkan suasana ini, Sang Kaisar mengaku tertawa ketika orang barat menganggap cerita dalam buku The Dream of The Red Chamber sebagai dongeng, karena menyebut seorang nenek yang selalu dikuntit serombongan pengawal.
Pasalnya, ia sendiri memiliki tak kurang dari 300 orang kasim yang siap menemaninya ke mana pun pergi. Setidaknya, sepuluh mobil disiapkan untuk menemani Kaisar beserta rombongannya, jika ingin ke luar dari istana.
Berapa biayanya? Sang kaisar pernah menghitung, pengeluaran untuk menopang kehidupan sangkar emasnya itu, untuk jangka waktu tiga tahun, menyedot dana melebihi 2.790.000 ons emas.
Tak ada yang tak masuk akal. Tak ada juga pihak yang protes. Bagi masyarakat China waktu itu, Kaisar adalah dewa langit. Lagi pula, warisan kekayaan dari leluhur sungguh-sungguh tak terhitung.
Dinasti Qing telah berkuasa 700-an tahun, belum lagi dari Dinasti sebelumnya, yaitu Dinasti Ming. Di saat berusia 16 tahun, sang kaisar muda pernah membuka peti kekayaan di dalam kompleks Istana di Kota Terlarang. Lalu ditemukanlah ratusan peti harta karun. Berisi ribuan kaligrafi, lukisan, perkamen, dan barang antik lainnya.
Di gudang lain, bertumpuk peti harta karun berisi emas, permata, barang dari permata jade, porselin, dan gading ukiran. Harta berlimpah itu hanyalah sisa yang terlihat. Belum lagi yang lain. Misalnya yang terungkap ketika terjadi kebakaran hebat di Istana Kebahagiaan, yang “menghilangkan” setidaknya 2.665 patung Budha emas, 1.157 perkamen, 453 cenderamata, dan ribuan buku kuno.
Namanya istana, pasti tak sepi intrik, persekongkolan, dan ancaman pembunuhan. Sang Kaisar memang memiliki pelindung, tetapi mereka berebut pengaruh dan kesempatan, terutama dengan memanfaatkan berbagai kedekatan dengan keluarga Kaisar.
Orang-orang terdekat Kaisar, seperti Ibu Suri dan para Selir Agung, para tutor (guru pengajar), serta para pejabat penting di istana, semua memasang perangkap. Nuansa hidup seperti inilah yang membentuk jati diri Sang Kaisar. Ia menjadi individu pemberang, pencuriga, senang menyiksa bawahan, dan terperangkap oleh “api dendam”.
Kobar kebencian meledak-ledak. Dari luar, ia terancam oleh penjatuhan dan kekuatan militer oleh Jepang, Rusia, maupun rezim Republik Kuomintang (dan termasuk juga Tentara Merah Komunis, yang dipimpin Mao Tse Tung). Dari dalam, terintimidasi oleh perilaku korup dan persekongkolan para bawahan. Di suatu waktu, Sang Kaisar pernah menulis bahwa satu-satunya yang ia sesali adalah dirinya harus menjadi kaisar.
Riwayat berikut bergerak pasang surut. Kekuasaannya sebagai Kaisar kembali dilucuti oleh kaum Republik, dan ia terusir dari Istana di Kota Terlarang, sehingga harus pergi ke Manchuria (sebelumnya singgah di Tienstien).
Tekadnya kembali menggelegak, untuk melakukan restorasi (menghidupkan kembali monarki, alias rezim kekaisaran). Termasuk dengan cara-cara culas dan penuh risiko, yaitu bekerjasama dengan bala tentara Jepang.
Di titik inilah, malapetaka bermunculan. Termasuk praktik perbudakan, perampasan harta pribumi, dan “wajib militer” yang diterapkan Jepang terhadap penduduk Manchuria. Di kemudian hari, fakta-fakta inilah yang dijadikan alat untuk menyebut Sang Kaisar sebagai penjahat perang.
Oleh Jepang, Sang Kaisar memang dilayani dengan kualitas luar biasa, karena Jepang juga memiliki tradisi dalam menghormati Kaisar mereka. Ketika berkunjung ke Jepang, Kaisar Pu Yi disambut meriah, dijemput langsung oleh Kaisar Hirohito, dan menjadi tamu kesayangan Ibu Agung.
Namun, sejatinya semua itu perangkap. Ia tak memiliki kekuasan penuh, melainkan hanya simbol. Setiap gerak-geriknya diawasi. Nyawanya bahkan berada dalam genggaman tentara Jepang. Lantas keadaan semakin terpuruk, persis ketika Jepang kalah perang, digempur habis oleh sekutu.
Bila sebelumnya pasang surut, menjadi Kaisar, didongkel, lalu menjadi Kaisar lagi, maka setelah Jepang pergi, Kaisar Pu Yi benar-benar menjadi pesakitan. Statusnya dilucuti sebagai orang biasa, dan menjadi “tawanan” serta diasingkan di Rusia, selama tujuh tahun.
Kisah kemudian menjadi titik balik. Oleh Rusia, ia diserahkan ke rezim Komunis pimpinan Mao. Masuk dalam penjara, dan wajib mengikuti belajar “menjadi komunis”.
Komunis memberlakukan metode cuci otak, untuk mereformasi pikiran orang-orang feodal menjadi komunis sejati. Di sinilah ia kehilangan segalanya. Anak buah, keluarga, dan para pelayannya, berbalik menjadi musuh. Di dalam penjara, ia menjadi objek hinaan dan pelecehan.
Betapa miris. Seorang Kaisar yang terbiasa dilayani, tiba-tiba harus mencuci baju sendiri. Mengambil makanan sendiri. Dan untuk semua itu, ia hanya menjadi objek tertawaan dan olok-olok. Semuanya bersumber dari satu hal: ia memang tak bisa mencuci.
Baca juga: Mansa Musa, Lelaki Muslim Paling Kaya-Raya Sepanjang Masa