Perjalanan Hidup Chairil Anwar, Penyair Terbesar Indonesia (Bagian 2)
https://www.naviri.org/2019/01/chairil-anwar-page-2.html
Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Perjalanan Hidup Chairil Anwar, Penyair Terbesar Indonesia - Bagian 2). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.
Kita hidup, menurut Chairil, untuk sesuatu yang tidak kita ketahui maknanya. Dan barangkali satu-satunya alasan untuk terus hidup adalah karena kita sedang mencari maknanya.
Namun misteri tetaplah misteri, ia tidak pernah bisa terpecahkan. Karenanya, mencari makna kehidupan adalah sesuatu yang sia-sia, meski harus terus dilakukan. Maka bagi Chairil, "hidup hanya menunda kekalahan/ada yang tetap tidak diucapkan/sebelum pada akhirnya kita menyerah".
Penyair terbesar
Chairil memiliki simpati yang sangat besar terhadap upaya meraih kemerdekaan manusia, termasuk perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari penjajahan. Pada 1948, sebagai bukti perhatiannya pada situasi sosial-politik waktu itu, ia menulis sajak "Krawang-Bekasi", yang disadurnya dari sajak "The Young Dead Soldiers", karya Archibald MacLeish.
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Syahrir.
Pada tahun yang sama, ia menulis sajak "Persetujuan dengan Bung Karno", yang merefleksikan dukungannya pada Bung Karno untuk terus mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945.
Belakangan, sajak Chairil yang berjudul "Aku" dan "Diponegoro" juga banyak dipahami orang sebagai sajak perjuangan. Padahal, sajak-sajak ini adalah jenis sajak individu, yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan perjuangan kemerdekaan karena ditulis pada 1943. Namun dalam sajak "Aku", misalnya, di mana Chairil mengintroduksi dirinya sebagai "Aku binatang jalang", ia bisa menjelmakan kata hati rakyat Indonesia yang ingin bebas.
Dalam analisis Agus R. Sardjono, penyair terkemuka Bandung, sajak-sajak seperti "Krawang-Bekasi", "Persetujuan dengan Bung Karno", "Aku", dan "Diponegoro" inilah yang justru di kemudian hari membuat Chairil Anwar menjadi legenda dalam dunia kepenyairan Indonesia.
Hal itu dimungkinkan karena sajak-sajak ini bersifat sastra mimbar, untuk menyebut jenis sajak-sajak yang bersifat sosiologis (yang berpretensi untuk menjawab atau menanggapi fakta-fakta sosial), dan biasanya dibaca dengan suara keras atau menyeru-nyeru, serta dengan tangan terkepal.
Masih menurut Agus, nama Chairil mungkin tidak akan begitu populer seperti sekarang, bila dia hanya menciptakan sajak yang berjenis sastra kamar, sajak-sajak yang kontemplatif dan personal. Betapa pun tingginya mutu sajak "Derai-Derai Cemara", "Senja di Pelabuhan Kecil", atau "Yang terempas dan yang Putus" secara kesusastraan, namun sajak-sajak demikian sama sekali tidak memiliki peluang untuk diapresiasi secara massal.
Namun, dengan segala ketidaksempurnaannya, keberhasilan terbesar Chairil bagi dunia persajakan Indonesia khususnya, dan bahasa Indonesia pada umumnya, adalah kepeloporannya untuk membebaskan bahasa Indonesia dari aturan-aturan lama (ejaan van Ophusyen) yang waktu itu cukup mengekang, menjadi bahasa yang membuka kemungkinan-kemungkinan sebagai alat pernyataan yang sempurna.
Kebebasan bahasa itu teramat penting. Terbukti Malasyia, negara yang menggunakan bahasa Melayu, yang serumpun dengan bahasa Indonesia (tapi tidak pernah memiliki penyair sekaliber Chairil) dalam hal bahasa jauh tertinggal dari bangsa kita. Kebebasan bahasa itu adalah prestasi besar bangsa Indonesia.
Dengan itu kita dapat mengutarakan apa saja langsung dari lubuk hati kita. Dan, seperti diamini banyak sastrawan kita, berkah itu adalah warisan Chairil Anwar, penyair terbesar yang pernah kita miliki.
Mengembara di negeri asing
Chairil Anwar tampaknya memang ditakdirkan untuk menjadi penyair yang disalahpahami. Tapi ia terbilang beruntung karena ia disalahpahami ke arah yang positif. Begitu pun dalam hal religiusitas. Tidak sedikit orang yang menjulukinya penyair religius. Ini, antara lain, gara-gara sajak "Doa", yang memang amat religius.
Tak jarang, dalam peringatan hari-hari besar agama Islam (juga Kristen), sajak tersebut dibaca dan memperoleh apresiasi yang luas.
Benarkah ia penyair religius? Menurut penuturan Ida Rosihan Anwar (istri wartawan kawakan Rosihan Anwar, yang sangat dekat dengan Chairil) dalam kesehariannya Chairil tidak pernah memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan urusan agama. Ia tidak pernah tampak salat, berpuasa di bulan Ramadan, atau bahkan ikut bergembira pada Idul Fitri. Jadi, ia bukan muslim yang baik.
Namun, kalau kita mengacu pada kriteria filsuf Paul Tillich tentang siapa yang disebut religius, (yaitu mereka yang secara serius mencoba mengerti hidup secara lebih jauh dari batas-batas yang lahiriah), Chairil termasuk kelompok ini.
Konklusi ini semata-mata bersandar pada penyerahan total Chairil untuk menjawab pertanyaan "apa tujuan hidup saya", dalam sepanjang masa hidupnya.
Dan karena agama bagi banyak orang di dunia ini dianggap sebagai jawaban pertanyaan "apa tujuan hidup saya?", Chairil tidak luput membicarakan agama dalam beberapa sajaknya. Sajak "Di Masjid", yang ditulisnya pada 29 Mei 1943, adalah sajak pertama mengenai hal ini.
Dalam sajaknya itu, ia menegaskan sikapnya yang tidak mau terikat apa pun, serta bersedia menerima segala bentuk penderitaan sebagai akibat pilihannya. Dia menolak untuk menyerah kepada agama, meskipun dia mengakui agama mempunyai daya tarik yang sangat kuat sehingga sulit untuk melawannya:
"Kuseru saja Dia/sehingga datang juga/Kamipun bermuka-muka/seterusnya ia bernyala-nyala dalam dada/Segala daya memadamkannya/Ini ruang/gelanggang kami berperang/Binasa membinasa/satu menista lain gila.”
Sajaknya yang kedua tentang agama ditulis lima bulan kemudian, berjudul "Isa". Dalam sajak ini, selain terpesona, Chairil juga tersindir dengan pengorbanan dan penderitaan yang dialami Nabi Isa untuk menyelamatkan umat manusia.
Ia merasa "minder" lantaran sikap hidupnya yang hanya memikirkan kemerdekaan diri sendiri, dan tidak peduli pada orang lain. Ia seperti dihadapkan pada pertanyaan, "Apakah sebuah pengorbanan ada artinya?"
Pertanyaan itu terus mengganggu hingga keesokan harinya dia menyerah dan menulis sajak "Doa" sebagai ekspresi penyerahdiriannya kepada Tuhan. Ia berseru:
:Tuhanku/Dalam termangu/Aku masih menyebut nama-Mu/Biar susah sungguh/mengingat Kau penuh seluruh/caya-Mu panas suci/tinggal kerdip lilin di malam sunyi/Tuhanku/aku hilang bentuk/remuk/ Tuhanku/aku mengembara di negeri asing/Tuhanku/di pintu-Mu mengetuk/aku tidak bisa berpaling.”
Dalam sajak ini Chairil memang tidak menjelaskan apa alasan ia "menyerah", namun yang pasti ia merasa hilang bentuk dan remuk ketika dia berjalan tanpa Tuhan.
Apakah dengan sajak ini Chairil telah "menemukan kembali" Tuhan? Jawaban sementara: "ya". Agaknya bila Chairil tiba pada suatu titik kehidupan di mana dia mengambil suatu sikap secara lebih utuh, maka perasaan tenang datang meneduhinya.
Pada Februari 1947, dalam suasana yang sudah berbeda, Chairil kembali menulis sajak tentang agama, yang berjudul "Sorga". Di sini, dengan semangat eksistensialismenya yang kental, ia menggugat surga beserta gambarannya yang dijanjikan agama.
Selanjutnya, Chairil lebih memilih menolak agama, karena agama memintanya untuk mengorbankan apa yang nyata sekarang, untuk digantikan sesuatu pada masa datang yang baginya belum pasti.
Maka bisa dipastikan, sesudah sikapnya ini Chairil kembali menemukan dirinya kesepian. Namun, perasaan itu tampaknya sudah dia harapkan dan dia hadapi dengan tenang. Ia kembali memilih menjadi pengembara selama hidupnya.
Meskipun, konon menurut kesaksian H.B. Jassin, menjelang mengembuskan napasnya yang terakhir, Chairil ternyata tetap tidak lupa menyebut nama Tuhan. Di sela-sela panas badannya yang tinggi sebelum kematiannya, ia mengucap, “Tuhanku, Tuhanku...”
Baca juga: Perjalanan Hidup Chairil Anwar, Penyair Terbesar Indonesia