Anak Muda Korea Selatan Malas Nikah, Alasannya Tak Terduga
https://www.naviri.org/2019/01/anak-muda-korea-selatan-malas-nikah.html
Naviri Magazine - Kenyataannya, kehidupan manusia memang terus berubah, dan perubahan itu juga menyentuh manusianya. Di masa lalu, ketika kehidupan masih begitu sederhana, pernikahan dianggap sebagai sesuatu yang penting untuk dilakukan, bahkan kalau bisa sedini mungkin. Karenanya, di masa lalu, banyak orang menikah di usia yang masih belia.
Namun, kini, kehidupan telah banyak berubah. Perkawinan, yang dulu dianggap penting, kini tampak bukan hal penting lagi. Setidaknya, kenyataan itulah yang kini terjadi pada anak-anak muda di Korea Selatan.
Seperti dilaporkan SCMP, salah satu pertanyaan menyeramkan bagi jomblo Korea Selatan ketika bertemu dengan kawan, kolega, dan orang-orang yang tak dikenal, adalah pertanyaan soal pernikahan.
Orang berumur 30-an tahun, yang tinggal di Seoul, merasa tertekan ketika berkunjung ke orang tuanya dan ditanya tentang pernikahan. Awalnya seperti bercanda, kemudian menjadi serius di akhir percakapan.
Perempuan berumur 32 tahun, yang menjalani pekerjaan sebagai pekerja lepas yang berbasis di ibu kota, juga menceritakan kisah yang sama. Generasi muda cenderung menganggap pertanyaan seperti itu kasar dan tidak perlu.
“Ketika saya bertemu dengan orang-orang untuk pertama kali, mereka bertanya pada saya mengapa saya tidak juga menikah. Pertanyaan ini umum untuk para penduduk Korea yang berusia tua,” katanya.
Namun, terlepas dari desakan yang terus menerus untuk menikah, semakin banyak orang Korea Selatan yang tidak menikah sama sekali, bahkan tidak berkencan.
Mengutip Korean Herald, rata-rata umur orang Korea memutuskan untuk menikah terus meningkat. Pada tahun 1996, pria memutuskan menikah pada usia 28,4 tahun dan perempuan berusia 25,5 tahun. Sedangkan pada tahun 2016, rata-rata usia pernikahan untuk pria adalah 32,8 tahun dan untuk perempuan 30,1 tahun.
Sedangkan pada tahun 2015, 90 persen laki-laki dan 77 persen perempuan berumur 25-29 tahun tidak menikah. Di antara jumlah tersebut, yang berusia 30-34 tahun angkanya 56 persen, jumlah itu menyusut menjadi 33 persen untuk usia 40-45 tahun.
Sebagai perbandingan, penelitian yang dilakukan oleh Institut Nasional Kependudukan dan Penelitian Jaminan Sosial di Jepang menemukan bahwa 23 persen pria pada usia 50 tahun belum pernah menikah, dan 14 persen untuk perempuan.
Tingkat kelahiran bayi di Korea Selatan menjadi terendah di dunia, menurun 0.95 persen pada akhir tahun lalu. Ini berarti untuk setiap 100 perempuan hanya 95 anak yang lahir.
Guna mempertahankan populasi yang stabil, angka kelahiran harusnya menjadi 2,1. Pada masa-masa ledakan bayi di awal tahun 70-an, hampir satu juta bayi Korea Selatan lahir setiap tahun, tetapi pada tahun 2017 angkanya hanya mencapai 357.600 bayi.
Hasil ini membuat masyarakat Korea Selatan semakin dipadati oleh orang tua. Menurut sebuah laporan yang diterbitkan oleh ekonom Lee Jong-wha dari Universitas Korea, pada tahun 2030 nanti, hampir sepertiga dari semua warga Korea Selatan akan berusia 65 tahun atau lebih.
Kondisi ini memengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi. Sebab bertambahnya lansia akan membuat pemerintah lebih banyak mengeluarkan biaya kesejahteraan, dan generasi muda akan membayar pajak yang lebih banyak.
Penyebab warga Korea enggan menikah
Pernikahan dan memiliki anak sering kali dianggap seperti pengeluaran yang tidak perlu di Korea Selatan. Ditambah, beban ekonomi tidak berakhir dengan pernikahan. Pasangan Korea Selatan menghabiskan banyak biaya untuk tempat tinggal, hadiah pernikahan untuk mertua, dan keperluan lainnya. Ini tak sebanding dengan gaji yang mereka peroleh.
Menurut data dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), negara tersebut memiliki jumlah pengangguran melonjak sekitar 3,4 persen pada penduduk berusia sekitar 17 tahun. Sedangkan upah tahunan pada tahun 2017 rata-rata hanya 35,5 juta won (31,650 dolar AS). Angka ini hampir setengah dari rata-rata upah orang Amerika yang mencapai 60,558 dolar.
Bahkan seorang perempuan Australia yang baru-baru ini menikah dengan orang Korea, menggambarkan pernikahan sebagai cara bagi keluarga besar untuk mengeruk kekayaan dan melakukan tawar menawar.
Pemerintah di Seoul menyadari masalah ini. Sejak tahun 2005, pemerintah telah mengucurkan 36 triliun won (32,1 miliar dolar AS) untuk mengurangi beban keuangan bagi yang memiliki anak.
Pemerintah menawarkan subsidi pengasuhan anak sebesar 300.000 won (268 dolar AS) per bulan, di samping intensif lain untuk keluarga muda.
Namun, upaya semacam itu belum membuat dampak yang substansial. Para kritikus berpendapat bahwa masih banyak yang harus dilakukan untuk merangsang minat menikah di kalangan muda negara itu.
"Itu tidak berhasil karena dari sudut pandang generasi muda, biaya [sosial dan ekonomi] pernikahan dan melahirkan anak terlalu tinggi. Tingkat dukungan pemerintah saat ini tidak cukup," ucap Kang yang merupakan seorang ekonom.
Shin Gi-wook, seorang profesor sosiologi di Universitas Stanford yang spesialisasinya dalam bidang politik Korea, mengatakan, perempuan juga merasa sulit untuk menyeimbangkan karier dengan harapan masyarakat.
"Sistem pendukung sosial belum ada. Institusi sosial masih dikendalikan oleh laki-laki dan berfokus pada laki-laki," katanya.
Padahal, perempuan memainkan peran ganda sekaligus. Dari menjadi ibu, istri, dan menantu perempuan. Hal ini menyulitkan perempuan untuk memprioritaskan pernikahan dan peran sebagai ibu.
Ini ditambah ada perusahaan yang menetapkan aturan perempuan harus keluar dari pekerjaan karena menikah. Belum lagi masalah seksisme dalam pekerjaan.
Baca juga: Pesta Perkawinan Mahal, di Antara Gengsi dan Kehabisan Uang