Tuntunan Membina Rumah Tangga Sakinah Sesuai Syariat Islam
https://www.naviri.org/2018/12/tuntunan-membina-rumah-tangga-sakinah.html
Naviri Magazine - Islam mensyariatkan hubungan pernikahan agar menjadi hubungan yang langgeng, abadi, dan tidak runtuh. Di dalamya tumbuh kesepahaman dan mengikis perbedaan.
Pedoman-pedoman umum rumah tangga juga ditetapkan, supaya ketenangan dan stabilitas menaungi keberadaan sebuah keluarga. Dan pernikahan merupakan jalinan ikatan yang kuat lagi sakral dalam Islam. Allah menamakannya sebagai mitsâq ghalîzh (perjanjian yang kuat).
Karenanya, masalah-masalah yang berkembang seputar pernikahan mendapatkan perhatian yang besar, tidak dibiarkan tanpa tuntunan. Dengan demikian, pengaruh hawa nafsu dapat dihalau dari pasangan suami istri. Dan mereka pun mengemudikan biduk rumah tangga dengan tuntunan yang jelas.
Pembagian tugas
Pembagian tugas antara suami istri sudah digariskan. Yaitu dengan mempertimbangkan tabiat dan keadaan masing-masing. Yakni dengan mengedepankan asas keadilan dan petunjuk yang lurus.
Allah berfirman, yang artinya: "Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". [al-Baqarah/2:228].
Sebagaimana juga Islam telah berpesan agar kasih sayang dan rasa cinta selalu menghiasi kehidupan rumah tangga, kebaikan dan kebersamaan mengiringi suami istri.
Allah berfirman, yang artinya: "Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak". [an-Nisâ`/4:19].
Perbedaan-perbedaan yang masih bisa ditolelir agama, tidak akan melahirkan persoalan, selama masing-masing menjaga muamalah dengan pasangannya secara ma'ruf (baik). Bergaul dengan penuh kelembutan dan sabar. Suami memuliakan istri, dan begitu sebaliknya.
Bisikan hawa nafsu dan ego pribadi harus dijauhkan sedemikian rupa. Karena salah satu faktor yang sering menghancurkan keutuhan rumah tangga ialah senang mencari-cari kesalahan, kekeliruan, kelemahan pasangannya, dan mengungkit-ungkitnya, bahkan kemudian suka memperbesar persoalan yang sebenarnya sederhana.
Hingga terkadang, karena emosi yang memuncak, masing-masing tidak bisa mengontrol jiwa dan mental, serta dengan intervensi orang-orang yang tidak berkepentingan.
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untuk kalian dari anfus (jiwa-jiwa) kalian sendiri, azwaaj (pasangan hidup), supaya kalian ber-sakinah kepadanya, dan dijadikanNya di antara kalian mawaddah dan rahmah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir." (Ar-Ruum 21).
Inilah yang kita punya. Inilah manhaj yang seharusnya kita jadikan alur. Sedihnya, kebanyakan mereka yang mencantumkannya dengan tinta emas di atas undangan mewah tak menghayati maknanya
Ada beberapa kata kunci pada Surat Ar Ruum ayat 21:
1. Min anfusikum. Dari jiwa-jiwa kalian, artinya hal pertama yang dibicarakan Al Quran tentang pernikahan dua manusia adalah kesejiwaan. Ruh itu, kata Nabi, seperti tentara. Jika kode sama, sandinya nyambung, meskipun belum saling melihat mereka pasti bersepakat. Apa kode dan sandi untuk ruh? Komitmen kepada Allah dan agama. Itu saja. Itulah kesejiwaan.
2. Azwaajan. Pasangan hidup, sesudah kesesuaian jiwa. Al Quran mengatakan bahwa mereka menjadi suami istri. Orang selalu berfikir, "bahwa kita harus mencari pasangan yang tepat, maka hubungan akan berhasil." Mari kita katakan, "Berhentilah mencari orang yang tepat, dan jadikan orang di sampingmu yang memang hebat itu menjadi orang yang tepat."
3. Wa ja'ala bainakum mawaddatan. Kemudian ada yang harus diproses, diupayakan, yakni mawaddah. Cinta yang erotis-romantis. Bentuknya bisa ekspresi yang paling batin sampai paling zahir, dari yang sifatnya emosional hingga seksual. Inilah mawaddah.
4. Wa (ja'ala bainakum) rahmatan. Yang harus diusahakan bukan cuma mawaddah tapi juga rahmah. Inilah cinta yang memberi bukan meminta, berkorban bukan menuntut, berinisiatif bukan menunggu, dan bersedia bukan berharap-harap.
Termasuk bergaul dengan ma’ruf adalah seorang suami tidak bepergian meninggalkan istrinya dalam waktu lama. Adalah hak istri untuk menikmati pergaulan suaminya, sebagaimana seorang suami menikmati pergaulan dengan istrinya.
Namun, terkadang sepasang suami istri terpaksa “berpisah” dalam waktu lama, dengan alasan suami harus mencari pekerjaan di kota lain, atau bahkan di luar negeri, untuk menghidupi keluarganya. Atau suami harus bepergian lama dengan alasan tugas/dinas, atau suami merantau ke negeri orang dalam rangka mencari ilmu.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata, “Bila seorang istri ridha dengan kepergian suami walaupun dalam masa yang lama, maka itu merupakan hak istri. Si suami tidak berdosa. Namun, dengan syarat si suami meninggalkan istrinya di tempat aman, yang tidak dikhawatirkan akan terjadi apa-apa pada istrinya.
“Apabila seorang suami pergi jauh untuk mencari rezeki dalam keadaan istrinya ridha, maka suami tersebut tidak berdosa walaupun ia tidak pulang hingga dua tahun atau lebih. Adapun bila si istri menuntut haknya agar suami kembali/pulang, maka perkaranya dalam hal ini dikembalikan kepada mahkamah syar’iyah. Apa yang ditetapkan mahkamah syar’iyah, maka itulah yang dilaksanakan.” (Fatawa Nurun ‘Alad Darb, hal. 17).
“Dengan demikian, bila istri ridha untuk sementara berjauhan dengan suaminya, baik dalam waktu singkat ataupun lama, dan masing-masing dapat menjaga kehormatan diri, maka tidak ada dosa bagi keduanya. Namun, bila si istri khawatir dirinya atau suaminya akan terjatuh ke dalam fitnah, meski ada kebutuhan untuk mencari penghidupan, ia bisa menuntut untuk berkumpul kembali, dalam rangka menjaga kehormatan diri dan menjaga kemaluan.
“Akan tetapi, bila si suami enggan untuk segera kembali, istri dapat mengangkat perkaranya kepada hakim agama (mahkamah syar’iyah) agar memutuskan perkara antara dia dan suaminya, sesuai dengan apa yang Allah syariatkan. (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, fatwa no. 1545, 19/339, 340)
Baca juga: Batas Usia Perkawinan untuk Perempuan di Indonesia Akan Diubah