Sejarah Gelap Perbudakan Kulit Hitam di Amerika Serikat
https://www.naviri.org/2018/12/perbudakan-kulit-hitam-di-amerika.html
Naviri Magazine - Amerika Serikat punya sejarah yang panjang. Bukan hanya sejarah yang penuh gelora dan kebanggaan, tapi juga sejarah gelap. Salah satu sejarah gelap di negara adidaya itu adalah adanya perbudakan di masa lalu, yang berlangsung sampai 400 tahun. Karenanya, hingga kini topik perbudakan masih menjadi isu sensitif di Amerika, khususnya terkait dengan warga kulit hitam.
Menurut UNESCO, perbudakan dapat dikenali dari cara-caranya mengendalikan kehidupan orang lain sebagai hak milik, melalui paksaan dan pembatasan gerak. Seseorang yang diperbudak tidak bebas dan dilarang meninggalkan majikannya.
Perbudakan di Amerika Serikat punya sejarah yang panjang. Praktik perbudakan pertama di AS terjadi pada tahun 1619 di Virginia, yang ketika itu masih berstatus sebagai daerah koloni Britania Raya, cikal bakal Amerika Serikat. Kapal Belanda mengangkut orang-orang Afrika yang diperbudak dan diperdagangkan.
Menurut sebuah brosur berjudul Slavery: Cause and Catalyst of the Civil War, yang dikeluarkan oleh U.S. Department of the Interior National Park Service, kebutuhan tenaga kerja murah membuat para penduduk kulit putih Amerika melirik para budak yang diimpor dari Afrika. Mereka dipekerjakan di perkebunan untuk menghasilkan ekspor besar seperti tembakau, beras, hasil hutan, dan lainnya.
Sejak itu, hingga dua abad kemudian, orang Afrika di tanah Paman Sam mendapat perlakukan tak berperikemanusiaan. Para majikan tak segan mencambuk budak yang dianggap tak mematuhi tuannya. Jim Crow Museum of Racist Memorabilia yang dikelola oleh Ferris State University menyebut, para pemuka agama dan ilmuwan bahkan melegitimasi praktik-praktik biadab itu.
Khotbah-khotbah pemuka agama menyatakan bahwa perbudakan adalah kehendak Tuhan. Sementara ilmuwan berusaha membuktikan bahwa orang kulit hitam adalah subspesies ras manusia, karena dianggap kurang sempurna dalam berevolusi.
Dalam catatan The Gilder Lehrman Institute of American History, dari sekitar 12,5 juta budak yang didatangkan dari Afrika pada tahun 1526 sampai 1867, sebanyak 10,7 juta di antaranya masuk ke benua Amerika. Dari jutaan orang Afrika yang ada di benua Amerika, seperempatnya terkonsentrasi di wilayah Amerika Serikat pada 1825.
Wilayah Massachusetts menjadi daerah koloni Britania Raya pertama di Amerika yang mengesahkan perbudakan secara hukum pada 1641. Ketika itu, Amerika Serikat sebagai sebuah negara masih belum dideklarasikan. Namun, lama setelah negara Amerika Serikat berdiri, praktik perbudakan terus berlangsung.
Penemuan mesin pemisah kapas pada 1793 makin menguatkan posisi kulit hitam sebagai budak, yang harus dipekerjakan secara paksa sebagai pelumas perekonomian negara.
Para budak kulit hitam di AS hidup dan diperlakukan dengan cara yang berbeda dari para kulit hitam lainnya di benua Amerika. Tingkat kematian bayi dan anak dua kali lebih tinggi. Setengah dari seluruh bayi meninggal dunia pada tahun pertama. Penyebab utamanya adalah kekurangan gizi kronis dan pembatasan periode menyusui dari para ibu.
Sedangkan para budak dewasa kondisinya tidak jauh lebih baik, lantaran dipaksa bekerja melebihi kemampuan. Kebutaan, busung lapar, kaki pincang, penyakit kulit, dan penyakit kekurangan gizi, lazim ditemui di kalangan budak waktu itu. Agar margin profit bertambah lebar, para majikan sengaja memberikan pangan dan papan ala kadarnya untuk budak-budak mereka.
Daina Ramey Berry, sejarawan University of Texas yang menekuni masalah perbudakan, menulis di The Conversation bahwa para budak kulit hitam benar-benar diperlakukan layaknya komoditas perdagangan, diperjualbelikan seperti mobil dan ternak hari ini. Karena dipandang sebagai aset berharga yang dapat diwariskan, mereka juga diasuransikan.
Meski impor budak Afrika telah dilarang sejak 1808, akan tetapi perdagangan budak domestik masih terus berlangsung. Barulah pada 6 Desember 1865, pasca-kemenangan kubu Union dalam Perang Sipil, konstitusi Amerika Serikat diamandemen dan melarang praktik perbudakan secara penuh.
Selama praktik perbudakan berlangsung, tak sedikit orang kulit hitam yang melawan dan memberontak. Di Virginia pada tahun 1676, misalnya, terjadi pemberontakan terhadap penguasa setempat. Aksi ini digalang oleh aliansi kaum miskin kulit putih dan budak-budak kulit hitam.
Masih di Virginia, pada 1800, sejumlah orang kulit hitam merencanakan pemberontakan besar yang melibatkan 1.000 budak. Namun aksi tersebut gagal lantaran badai dan pengkhianatan orang dalam. Pada 1831, 75 budak melancarkan pemberontakan berdarah yang menewaskan 60 orang kulit putih.
Pada pertengahan abad ke-19, gerakan anti-perbudakan (abolisionisme) mulai menguat. Pada 1861, ketika Lincoln dilantik dan melarang perbudakan di seantero AS, Perang Sipil Amerika terjadi dan dimenangkan kubu Union yang anti-perbudakan pada 1865.
Meskipun kini kondisi warga kulit hitam jauh lebih baik, akan tetapi rasisme dari orang kulit putih masih sering ditemui. Jajak pendapat Gallup pada Agustus 2017 lalu menunjukkan enam dari 10 orang Amerika (61%) menyatakan bahwa rasisme terhadap orang kulit hitam masih dipraktikkan dalam berbagai bentuk di Amerika Serikat. Persentase tersebut naik dari 51 persen pada tahun 2009.
Baca juga: Kontroversi Kanye West dan Ben Affleck Soal Perbudakan di AS