Kisah Pertama Kalinya Obat untuk AIDS Ditemukan di Dunia
https://www.naviri.org/2018/12/obat-aids.html
Munculnya HIV/AIDS membikin dunia medis sibuk. Mereka berlomba dengan waktu, berupaya menemukan obat yang tepat untuk meredam penyebaran virus ini. Obat pertama yang dipakai untuk mengelola HIV ialah AZT.
AZT, atau azidothymidine, bukan temuan baru. Ini adalah produk lama yang sudah ditinggalkan, dan kemudian dimunculkan kembali oleh ilmuwan maupun pekerja medis. Mulanya, AZT dikembangkan pada 1960-an sebagai obat penangkal kanker. Namun, ketika diujikan pada tikus, senyawa AZT tidak berfungsi dan akhirnya disisihkan.
Dua dekade kemudian, AZT diangkat lagi ke permukaan oleh perusahaan farmasi bernama Burroughs Wellcome. Tak seperti uji coba yang lalu, kali ini AZT—yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa—berhasil memperlihatkan tanda-tanda positif: menghalangi aktivitas virus dalam sel-sel hewan yang terinfeksi HIV.
Hasil uji coba itu lantas dikirimkan ke FDA dan National Cancer Institute. Kedua lembaga tersebut mengapresiasi penemuan Burroughs. Tapi, masalahnya, dibutuhkan lebih dari satu senyawa dalam obat untuk melawan HIV. Di lain sisi, para peneliti juga harus memastikan bahwa penggunaan obat ini benar-benar aman sebelum didistribusikan kepada jutaan orang yang terinfeksi.
Satu-satunya cara untuk mengetahui aman atau tidaknya obat bersangkutan adalah dengan tes langsung. Namun, sesuai regulasi yang ada, tes butuh waktu delapan sampai sepuluh tahun. Sementara di saat bersamaan, mereka yang terinfeksi tidak bisa menunggu selama itu.
Di bawah tekanan publik yang begitu besar, regulasi pun diterabas. Para ilmuwan tetap melakukan uji coba kepada pasien AIDS untuk mengetahui tingkat keamanan dan efektifitas obat. Kendati menimbulkan efek samping berupa mual, sakit kepala, muntah, dan masalah usus, Burroughs mengklaim bahwa senyawa AZT berfungsi. Indikatornya: obat mampu meredam tingkat kematian mereka yang terinfeksi HIV.
Meski begitu, keraguan tetap saja bermunculan. Publik mempertanyakan berapa lama efek obat bakal bertahan, atau apakah ada dampak lain yang ditimbulkan dari obat. Di tengah suara-suara miring itu, FDA, pada 19 Maret 1987, menyetujui penggunaan AZT. FDA berdalih bahwa tak ada waktu lagi untuk menunda, sementara virus makin ganas menyerang.
Usai disahkan, kritik terhadap AZT malah kian menggema. Mereka mempertanyakan harga obat yang begitu mahal, sekitar 8 ribu dolar per tahun. Mahalnya obat membuat publik berasumsi bahwa Burroughs “mengeksploitasi populasi pasien yang sudah rentan.”
Tak sebatas itu, banyak dari mereka yang memakai AZT mendapatkan efek samping berupa masalah jantung hingga berat badan.