Misteri Kitab Negara Kertagama Karya Mpu Prapanca (Bagian 2)
https://www.naviri.org/2018/12/negara-kertagama-part-2.html
Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Misteri Kitab Negara Kertagama Karya Mpu Prapanca - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.
Serat Pararaton, atau yang disebut juga dengan Serat Katuturanira Ken Angrok, memaparkan kisah raja-raja Tumapel dan Majapahit, dengan segala kewibawaan dan kemegahannya. Dr. Brandes menerbitkan naskah ini pada tahun 1896.
Setelah dilakukan penelitian dan pengkajian ulang terhadap naskah tersebut, pada tahun 1920 terbit edisi keduanya, yang dilakukan oleh Dr. N.J. Krom, dengan bantuan dari beberapa ilmuan, seperti: Prof. J.C. Jonker, H. Kraemer, dan Poerbatjaraka. Dr. Brandes belum sempat mempublikasikan hasil kajiannya tersebut, ia meninggal dunia dalam usia yang cukup muda, karena kegagalan liver.
Penerbitan edisi itu dianggap perlu, karena sesudah penerbitan edisi pertama tahun 1896 ditemukan tambahan bahan-bahan baru yang dirasa penting, khususnya berupa prasasti-prasasti, tetapi yang lebih utama adalah naskah Negara Kertagama.
Perlu dicatat, bahwa penambahan dan perubahan dalam edisi kedua itu tidak terutama berkenaan mengenai teks dan terjemahannya. Yang lebih penting, edisi kedua ini digunakan untuk tujuan Dr. Brandes sebagai bukti pengukuhan kesarjanaannya.
Dr. Brandes, dalam karya-karyanya yang merupakan hasil upayanya menimba bahan-bahan dari Pararaton, bukan hanya menambah pengetahuan kita mengenai sejarah Jawa, tapi juga merupakan peletak dasar baru bagi penulisan sejarah Jawa Kuno.
Pada November 1894, Dr. Brandes menemukan naskah Negara Kertagama di bawah puing-puing Istana Cakranegara, Lombok. Dialah yang disebut-sebut telah “menyelamatkan” naskah Negara Kertagama.
Ia berada di Lombok sebagai seorang pejabat bahasa yang sedang berusaha mendapatkan naskah-naskah lama yang penting di lingkungan kerajaan-kerajaan Bali. Menurut perkiraannya, naskah-naskah lama Jawa kemungkinan besar masih terdapat di Bali, sekurang-kurangnya dalam bentuk salinan.
Perkiraan Dr. Brandes didasarkan pada data yang diperolehnya dari berbagai sumber yang dianggap relevan pada waktu itu, terutama dari hasil pengkajiannya terhadap naskah Pararaton. Dari hasil pengakajiannya, ia mendapatkan keterangan bahwa Bali ditaklukkan oleh Majapahit pada tahun 1343, dan sejak saat itu pula tata pemerintahan Jawa pun diberlakukan di Bali. Hubungan khusus kedua wilayah tersebut yang menjamin kelangsungan budaya klasik Jawa dalam perkembangan sejarah selanjutnya, khususnya setelah masuknya Islam.
Di dalam naskah Negara Kertagama, dikisahkan tentang perjalanan Raja Majapahit, Hayam Wuruk, menjelajah wilayah kekuasaannya. Inilah yang menjadikan sebab bagi Mpu Prapanca untuk menyebut karyanya itu dengan nama Desawarnana. Dalam kamus P.J. Zoetmulder, Old Javanese-English Dictionary, desawarnana diberi arti description of the country.
Jadi, naskah itu sesungguhnya bernama Desawarnana, sebagaimana terdapat dalam naskah karya Mpu Prapanca, bukan Negara Kertagama. Dr. Brandes yang bertanggung jawab dalam mengintrodusir penamaan Negara Kertagama. Dr. Brandes mengutip nama itu dari kolofon kata-penutup, yang diciptakan oleh si penyalin naskah aslinya.
Arti kata “kertagama”, menurut kamus yang sama, adalah “based upon” atau ”establised in the holy traditions.” Jadi, kalau hendak menggunakan kedua arti tersebut, maka “negara kertagama” dapat diartikan: pertama, “negara yang berdasarkan atau didasarkan tradisi suci”; dan kedua, “sejarah pertumbuhan dan perkembangan negara”.
Dari uraian di atas, timbul pertanyaan; kenapa tidak tetap menggunakan judul aslinya? Apakah hal tersebut justru tidak menimbulkan kekaburan, baik isi maupun tujuan penggubahan naskah tersebut oleh pengarang aslinya? Atau ada maksud-maksud lain di balik proyek penerjemahan tersebut, yang notabene disponsori oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda?
Berbagai kekhawatiran di dalam pengintrodusiran penamaan, membawa sebuah pengharapan untuk mengembalikannya ke judul aslinya. Alasan mempertahankan untuk menggunakan istilah desawarnana adalah; pertama, untuk kembali kepada judul dalam naskah yang asli, seperti yang diberikan oleh Mpu Prapanca sendiri.
Kedua, untuk menegaskan kebermulaan babak baru dalam studi mengenai naskah karya Mpu Prapanca tersebut. Dalam hal ini, tidak menutup kemungkinan untuk memberlakukannya terhadap naskah-naskah klasik lain yang ditemukan.
Penggarapan terjemahan terhadap naskah Negara Kertagama yang dilakukan oleh sarjana-sarjana Barat tersebut, akhirnya memberikan banyak celah terhadap aneka kritik, meski tidak banyak pihak yang berkepentingan, atau belum adanya sebuah kesadaran yang timbul berkenaan permasalahan ini.
Salah seorang pengkritik terhadap hasil terjemahan tersebut antara lain Prof Dr. Pigeaud. Menurutnya, susunan kalimat Negara Kertagama tidak biasa bagi orang Jawa pada abad XIV. Karena itu, ia pun beranggapan dapat membebaskan diri dari tuntutan sintaksis Bahasa Inggris, agar dapat mengikuti naskah Jawanya, kata demi kata. Semua kata yang terdapat dalam naskah asli dapat diberi kata Inggris sebagai padanannya.
Para penerjemah Negara Kertagama pun—semisal Stuart Robson, yang mulai menggarap naskah Negara Krtagama pada tahun 1979—mengakui, memang tidak selalu mudah memahami arti kata dan kalimat Jawa Kuno Mpu Prapanca. Ada bagian-bagian yang sederhana dan jelas, sehingga tidak menimbulkan masalah dalam penerjemahannya.
Tetapi ada juga bagian-bagian yang maksud penulisnya masih dirasakan gelap, terasa masih kabur. Oleh karena itu, terjemahan naskah tersebut, oleh Robson, masih memerlukan penggarapan lebih lanjut.
Ia sangat mengharapkan, agar kalangan putra-putra Indonesia ada yang terilhami untuk menerjemahkan Desawarnana ke dalam bahasa Indonesia, terutama para sarjana pribumi yang memahami Bahasa Jawa Kuno beserta penulisannya.
Mereka hendaknya menggarap langsung dari naskah aslinya. Menerjemahkannya dari terjemahan Bahasa Inggris atau bahasa lainnya—yang telah mengalami pengintrodusiran serta penafsiran subjektif penerjemahnya—akan semakin menjauhkannya dari karya Mpu Prapanca.
Baca juga: Pengungkapan Arsip-arsip Rahasia dan Terlarang dari Zaman Kuno