Mewaspadai Hoax dan Kabar Bohong Berlabel “Dari Grup Sebelah”
https://www.naviri.org/2018/12/mewaspadai-hoax-dan-kabar-bohong.html
Naviri Magazine - Istilah “dari grup sebelah” kemungkinan sudah akrab dengan kita, yang biasa mengakses media sosial. Istilah itu biasanya digunakan seseorang yang menyebarkan berita tertentu, yang ia ambil dari media sosial. Misal, ada orang menemukan berita di suatu grup WhatsApp, lalu berita itu ia sebar ke grupnya sendiri di WhatsApp.
Atau, bisa juga orang menemukan berita di WhatsApp, lalu disebarkan ke Twitter, sambil mengatakan “dari grup sebelah”.
Biasanya, berita yang disebar belum tentu terkonfimasi kebenarannya. Namun, kemalasan orang untuk melakukan verifikasi, atau tabayun, atau berbaik sangka, banyak digunakan oleh para pemburu klik untuk menulis judul bombastis, berita bohong, atau konten yang asal, agar disebarkan di media sosial.
Ini yang kemudian membuat banyak media yang tak kredibel mendapatkan porsi penyebaran atau sharing yang tinggi di media sosial. Banyak dari netizen yang menyebarkan berita dari situs media yang tidak kredibel, tidak patuh etika jurnalistik, atau punya integritas dalam menyebarkan berita. Padahal menurut Cabell, untuk mencegah hoax, hal sederhana yang bisa dilakukan adalah melihat legitimasi dari sumber berita.
Beberapa kabar hoax beredar di media sosial besar seperti Twitter dan Facebook. Bisa berupa postingan mandiri berupa foto dari akun individu, atau tautan dari blog atau media yang tak kredibel. Sejauh ini, banyak orang yang memperlakukan Facebook seperti Google, dan menjadikan segala isinya sebagai kebenaran.
Dr. Pamela Rutledge, director of the Media Psychology Research Center, menyebut bahwa gejala ini terjadi karena orang rentan terhadap paparan informasi. Berita yang banyak bertubi membuat orang malas memverifikasi dan mencari kebenaran. Mereka merasa tak berdaya, dan mereka takut.
Pernahkah Anda menyebarkan foto seorang anak yang dikabarkan dari Irak, atau Pakistan, atau Palestina, atau Suriah, yang ternyata merupakan foto lama dari anak yang merupakan korban ledakan di tempat yang lain?
Foto bencana alam yang kemudian diduga menjadi foto pembantaian umat muslim oleh umat Budha di Rohingya? Sentimen kelompok dan politik identitas yang ditambah kebencian rasial membuat orang dapat menyebarkan kebohongan tanpa peduli akan kebenaran.
Dr. Rutledge juga menjelaskan bahwa ketika ada kabar buruk atau kabar tragedi, seseorang merasa punya tanggung jawab moral untuk berbagi. Tanpa peduli apakah itu hoax atau tidak. Di media sosial, orang merasa punya beban untuk berbagi penderitaan agar bisa merasa lebih baik.
Juga pandangan bahwa jika tak menyebarkan berita duka tersebut, orang yang tak menyebar akan mengalami nasib buruk. Menyebarkan kabar tragedi, seperti penderitaan anak di Suriah, meski belum terkonfirmasi kebenarannya, terasa lebih baik daripada hanya diam saja.
Orang-orang juga sangat rentan dengan bias konfirmasi dari berita yang beredar. Misalnya, Anda mendapatkan sebuah broadcast tentang berita, lalu menyebarkannya dengan tambahan kata-kata “dari grup sebelah” sebagai tindakan preventif, agar jika berita itu bohong, Anda bisa berkilah, “bukan dari aku, kok”.
Perilaku ini merupakan upaya lepas tangan dari tanggung jawab kebenaran. Informasi dari broadcast sangat susah diverifikasi dan dilacak siapa penyebar awalnya.
Baca juga: Mengapa Orang Bisa Terjebak Dalam Berita-berita Hoax