Menakar Keuntungan Serta Kerugian Uang Tunai dan Nontunai
https://www.naviri.org/2018/12/keuntungan-serta-kerugian-uang-tunai.html
Naviri Magazine - Apakah masih ada uang tunai di dompet kita? Kemungkinan besar masih ada, karena uang tunai memang masih digunakan di Indonesia. Meski sebagian orang mulai membiasakan diri dengan uang digital atau nontunai.
Sistem keuangan yang bertransformasi menjadi elektronik dan digital memang menjadikan penggunaan uang tunai sebagai alat pembayaran menjadi terpinggirkan. Bank sentral berbagai negara di dunia pun mendorong penggunaan non tunai dalam transaksi pembayaran sehari-hari.
Sejak tahun 2014, Bank Indonesia juga mencanangkan Gerakan Nasional Non Tunai untuk mendorong peningkatan transaksi pembayaran berbasis elektronik.
Kenneth S. Rogoff, dalam buku berjudul The Curse of Cash, menyebutkan, terdapat ‘sisi gelap’ dari uang tunai. Ekonom Harvard ini merinci, nominal $100 saat ini banyak digunakan untuk penghindaran pajak, pencucian uang, alasan keamanan, dan juga penyuapan. Pemerintah dan bank sentral di beberapa negara di dunia mendorong warganya untuk memindahkan transaksi dari tunai ke non tunai.
Klaimnya, transaksi elektronik maupun digital lebih aman, murah, dan juga nyaman. Pemerintah Italia misalnya, memberikan batasan transaksi tunai maksimal setara $1.300. Pemerintah Spanyol dan Perancis pun memberlakukan batas transaksi tunai sebesar 1.000 Euro atas nama memerangi terorisme.
Namun hal itu dibantah oleh International Currency Association (ICA). Menurut lembaga nirlaba itu, pembayaran digital lebih berpeluang besar digunakan untuk tujuan terlarang, termasuk terorisme.
“Bukti menunjukkan bahwa para teroris menggunakan kartu prabayar anonim untuk memindahkan uang. Jadi menurut kami, itu adalah argumen yang salah. Kami tidak begitu senang dengan pembatasan uang tunai itu,” kata Guillaume Lepecq, Direktur Jenderal ICA.
Alasan keamanan lain, cybersecurity atau keamanan siber juga menjadi pertimbangan para bankir dan regulator dalam praktik cashless society. Terlalu mengandalkan sistem pembayaran digital, membuat perbankan dapat menghadapi kegagalan besar jika terjadi kejahatan siber.
Kegagalan IT, risiko peretasan data sistemik, dan fakta bahwa masyarakat lebih rentan jika mengandalkan non tunai, menjadikan transaksi tunai tetap harus dipertahankan.
“Kami tidak meramalkan masyarakat akan benar-benar tanpa uang tunai. Jika ada pemadaman listrik, uang tunai adalah satu-satunya cara pembayaran yang bertahan,” kata Ewald Nowotny, Gubernur Bank Sentral Austria pada konferensi di Brussels, baru-baru ini.
Kejahatan siber bahkan menyerang Bank Sentral Belanda setiap harinya. Di luar kekhawatiran keamanan dunia maya, kebutuhan uang tunai datang dari kalangan rentan seperti lansia dan kaum disabilitas, membuat uang tunai masih diandalkan.
“Uang tunai memberikan kepercayaan. Kami melihat masih banyak yang membutuhkannya,” jelas Direktur Pembayaran Bank Sentral Belanda, Petra Hielkema melansir Politico.
Kegagalan sistem yang menimpa perusahaan teknologi pembayaran global, Visa, pada Juni lalu, menyebabkan gagalnya transaksi pembayaran konsumen. “Sejumlah kecil pemegang kartu mungkin mengalami penundaan transaksi yang dapat membatasi nominal belanja konsumen. Kami bekerja sama dengan perbankan untuk menyelesaikan masalah ini,” tulis Al Kelly, Chief Executive Officer Visa Inc, di laman resminya.
Hal itu, menurut Kevin Curran, meningkatkan risiko bagi pengguna. Sebab, pembayaran kartu menyumbang 77 persen dari total penjualan ritel Inggris pada Oktober 2017. Badan industri UK Finance juga menyebut, lebih dari 95 persen kartu debit di Inggris merupakan jaringan Visa.
Menurut Curran, ketika konsumen di Uni Eropa tidak mampu membayar barang dan jasa menggunakan transaksi elektronik, maka “satu-satunya orang yang bisa berbelanja adalah mereka yang memiliki uang tunai,” jelas Profesor Cybersecurity di Universitas Ulster di Londonderry, Irlandia Utara.
Health of Cash Study 2017, berjudul In A Digital World, Cash Is Resilient, menyebut uang tunai merupakan bentuk pembayaran paling penting dan banyak manfaat di kehidupan sehari-hari.
Alasan di antaranya adalah kenyamanan, karena 68 persen konsumen lebih suka menggunakan uang tunai untuk pembelian barang lebih kecil di bawah $10. Uang tunai juga digunakan saat membayar layanan pengasuhan anak (67 persen), layanan pemotongan rumput (46 persen), dan membeli kopi serta makanan ringan (54 persen).
Dari segi keamanan, 85 persen dari 1.000 konsumen AS yang disurvei mengaku, kepemilikan uang tunai membuat mereka merasa aman secara finansial. Tiga perempat dari konsumen mengatakan uang tunai membantu mengontrol dari ancaman pengeluaran berlebih.
“Memiliki sejumlah uang tunai untuk kebutuhan mendesak sangat diperlukan,” ucap Tom Pierce, Chief Marketing Officer CardTronics, melansir Business Insider.
Baca juga: Tak Lama Lagi, Tidak Ada Uang Tunai Bagi Orang Amerika