Ghosting, Saat Gebetan Tiba-tiba Menghilang Setelah Pedekate
https://www.naviri.org/2018/12/ghosting.html
Naviri Magazine - Kamu mungkin pernah mengalami fenomena ini. Satu waktu, kamu merasa saling tertarik dengan seseorang. Kalian pun berkomunikasi, sebagai bagian dari pedekate. Lalu kalian memutuskan untuk bertemu, sebagai awal kencan. Bisa jadi, kamu berpikir dari situ akan terjalin hubungan yang serius.
Kalian pun lalu berkencan. Tetapi, setelah itu, gebetanmu malah tampak menjauh, dan sejak itu menghilang. Dia tidak pernah lagi mengirim pesan, tidak pernah lagi ngajak chat, dan lain-lain. Apa yang terjadi?
Perilaku menghilang sebelum ada kejelasan hubungan, disebut ghosting.
Ghosting sangat umum terjadi sekarang. Survei yang dilakukan pada 2016 menemukan bahwa 78 persen orang lajang dari usia 18 sampai 33 pernah mengalaminya. Penelitian yang dilakukan oleh Elle menemukan bahwa lebih dari separuh orang yang mengalami ghosting juga pernah melakukannya kepada orang lain.
Menghilang tanpa kabar sebenarnya wajar, tapi hasil pencarian Google menampilkan artikel-artikel yang menyebut pelaku ghosting sebagai sosiopat. Apa benar tindakan ini tidak sopan? Mungkin saja, tapi melakukan ini jauh lebih baik daripada berpura-pura.
“Ghosting ada baiknya juga,” ujar Ben Michaelis, dokter psikolog yang menulis Your Next Big Thing: 10 Small Steps to Get Moving and Get Happy. “Kita tidak boleh menghilang begitu saja kalau hubungannya sudah sangat dekat, tapi tidak masalah kalau ingin melakukannya kalau tidak lagi tertarik setelah berkencan.”
Kita tidak perlu mengulur waktu jika melakukan ghosting. “Orang yang mengalami ghosting cepat atau lambat akan menyadari alasannya. Kedua pihak bisa move on lebih cepat.”
Banyak yang tidak setuju dengan gagasan ini. Sebagian besar berpendapat bahwa ghosting membuat orang yang ditinggalkan tidak yakin harus melakukan apa. Pelaku ghosting dianggap memberikan harapan palsu dan memainkan perasaan orang lain. Mereka dinilai egois, jahat, dan tidak punya hati.
Dalam buku Closure: The Rush to End Grief and What it Costs Us, Nancy Berns menulis soal berakhirnya hubungan karena putus dan kematian. Dalam sebuah esai, ia mengatakan bahwa mereka yang ditinggalkan hidup dalam ketidakpastian. Mereka jadi bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi, kenapa pasangan meninggalkan mereka begitu saja. Sayangnya, jujur soal perasaan kita bisa menyebabkan masalah yang lebih besar.
Dalam penelitian yang diterbitkan pada 2010, sekelompok peneliti di Albert Einstein College of Medicine di New York City menunjukkan kesamaan antara respons otak terhadap penolakan, dan jatuh cinta atau kecanduan. 15 mahasiswa yang pernah putus cinta tapi masih menyayangi mantannya, di-scan otaknya sambil ditunjukkan foto mantannya.
Bagian otak yang aktif saat melihat foto, sama dengan bagian yang terpicu oleh perasaan jatuh cinta, ingin sesuatu dan kecanduan. Ini membuktikan kalau ghosting bukanlah tindakan keji; orang yang mengalami ghosting merasa sakit hati karena otaknya tidak bisa menangani dengan baik.
Penolakan mampu membuat kita melakukan yang tidak-tidak, dan ghosting adalah cara tepat menghindari ini. Menghilang begitu saja memang bisa membuat orang bertanya-tanya, tapi setidaknya mereka bisa lebih cepat mengobati rasa sakit hati. Bisa saja pasangannya menghilang karena sibuk, atau segan mengatakan kalau mereka tidak tertarik.
Baca juga: Orang-orang yang Menjalin Cinta dengan Pacar Bukan Manusia