Hati-hati, Stres Bisa Menyebabkan Gejala Seperti Serangan Jantung
https://www.naviri.org/2018/11/stres-bisa-menyebabkan-gejala-serangan-jantung.html
Naviri Magazine - Orang bisa mengalami gejala serangan jantung, padahal jantungnya baik-baik saja tanpa masalah. Dada tiba-tiba terasa sakit, keringat bercucuran, napas terasa sesak, bahkan bisa jadi tubuh terasa limbung tanpa tenaga. Benar-benar mirip gejala serangan jantung. Tetapi, gejala itu juga bisa disebabkan oleh stres.
Beberapa penyakit akibat stres memang dapat menimbulkan gejala serupa serangan jantung. Salah satunya adalah Takotsubo Cardiomyopathy, atau lazim disebut broken heart syndrome. Kondisi saat stres ekstrem dapat menyebabkan kegagalan otot jantung.
Tak seperti namanya yang sering diasosiasikan sebagai sakit akibat putus cinta, broken heart syndrome bisa disebabkan oleh beragam faktor yang memicu hormon stres mendadak melonjak tinggi.
Ada dua jenis penyebab stres yang mempengaruhinya. Pertama, stresor emosional seperti rasa sedih, takut, marah yang terlampau ekstrim layaknya kematian, penolakan, perpisahan, perceraian, berbicara di depan umum, atau bahkan kejutan, seperti menang undian. Yang kedua adalah stresor fisik, seperti serangan asma, diagnosis penyakit kronis, atau aktivitas fisik yang melelahkan.
Gejala paling umum dari broken heart syndrome meliputi nyeri dada tiba-tiba, seperti tertusuk, dan sesak napas. Lazimnya, gejala ini muncul dalam hitungan menit atau jam, pasca stres.
Lantaran sindrom tersebut berkaitan dengan melemahnya otot jantung, beberapa orang juga mengalami gejala tambahan seperti pingsan, aritmia (gangguan detak jantung), syok kardiogenik (kondisi jantung tidak cukup memompa darah untuk memenuhi kebutuhan tubuh), tekanan darah rendah, dan gagal jantung.
Terapi psikis atau kardiovaskular?
Asal mula broken heart syndrome dilaporkan terjadi pada populasi Asia pada tahun 1990. Saat itu, gejalanya disebut Takotsubo Cardiomyopathy. Takotsubo dalam bahasa Jepang memiliki arti “pot/panci gurita”. Kondisi ini menyebabkan ventrikel kiri jantung membengkak di bagian bawah, tapi tetap sempit di bagian atas, sehingga terlihat mirip perangkap/pot gurita.
Setelahnya, kasus-kasus serupa mulai dilaporkan dari seluruh dunia, termasuk di Amerika Serikat, pada 1998. Meski memiliki gejala serupa serangan jantung, keduanya punya perbedaan.
Serangan jantung diakibatkan oleh penyumbatan arteri koroner, sehingga memotong suplai darah ke jantung. Individu dengan broken heart syndrome, arteri koronernya cukup normal, tanpa penyumbatan atau gumpalan parah.
Peneliti beranggapan, pelepasan hormon stres yang signifikan membuat sengatan ke jantung, mempengaruhi kemampuannya memompa darah ke tubuh. Hal itu menghasilkan gejala yang mirip dengan serangan jantung.
Kondisi ini memicu perubahan pada sel otot jantung, pembuluh darah koroner, atau keduanya. Jantung menjadi sangat lemah, sehingga ventrikel kiri (ruang yang memompa darah dari jantung ke tubuh) mengembang. Sementara itu, bagian jantung yang lain bekerja secara normal, atau malah berkontraksi lebih kuat. Akibatnya, jantung tidak bisa memompa dengan benar.
Untuk membedakan broken heart syndrome dengan serangan jantung, dokter akan melakukan beberapa pemeriksaan seperti EKG, tes darah, dan sinar-X. Hasil tes pada individu dengan broken heart syndrome tidak akan menunjukkan tanda-tanda kerusakan seperti pada serangan jantung.
Untuk mencegah terjadinya sindrom ini, ada beberapa cara pencegahan yang dapat ditempuh: belajar cara mengelola stres dengan bersantai, meningkatkan kesehatan emosional dan fisik, berbagi teman curhat, dan terapi relaksasi. Selain memberikan terapi medis gangguan jantung, individu dengan sindrom ini juga dianjurkan berkonsultasi kepada psikiater.
Baca juga: Bagaimana Serangan Jantung Bisa Terjadi, dan Apa Tandanya?