Menurut Studi, Rasa Malas Punya Efek Baik untuk Kehidupan
https://www.naviri.org/2018/11/rasa-malas-punya-efek-baik.html
Naviri Magazine - Apa yang terlintas dalam benak kita, ketika mendengar kata “malas”? Kemungkinan besar kita akan membayangkan hal-hal negatif, seperti orang yang malas belajar, malas bekerja, sampai malas beraktivitas. Intinya, malas adalah hal yang tidak baik.
Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa kemalasan justru bisa membawa keuntungan, setidaknya bagi moluska. Jika dulu manusia purba punah karena malas, namun tidak dengan moluska yang justru mengandalkan kemalasannya agar tetap bertahan hidup dari kepunahan.
Moluska adalah triploblastik selomata, atau hewan bertubuh lunak. Beberapa dari mereka memiliki pelindung berupa cangkang yang keras (eksoskeleton).
Sebagian besar moluska hidup di laut, namun ada juga yang hidup di air tawar dan daratan, seperti berbagai jenis siput, kiton, kerang-kerangan, serta cumi-cumi, dan kerabatnya
"Kami bertanya-tanya, bisakah kami melihat kepunahan spesies berdasarkan serapan energi oleh organisme," kata Luke Strotz, peneliti di University of Kansas, pada Science Alert. Dan jawabannya adalah ya, setidaknya untuk moluska.
Strotz dan peneliti lainnya kemudian mengamati 300 juta spesies moluska yang hidup di Atlantik Barat selama periode sekitar lima juta tahun, dan menemukan bahwa mereka yang memiliki metabolisme tinggi lebih mungkin akan mengikuti nasib dinosaurus dan menghilang dari planet ini.
Sebaliknya, bagi mereka dengan kebutuhan pemeliharaan energi yang lebih rendah—menggunakan lebih sedikit energi—justru bisa bertahan hidup lebih lama, bahkan hingga saat ini.
Kenyataan ini memang bukan sesuatu yang mengejutkan. Energi membuat hewan tetap hidup, dan sangat masuk akal memang jika hewan yang membutuhkan lebih banyak energi lebih rentan kekurangan sumber energi, terutama selama periode yang berlangsung hingga jutaan tahun.
Strotz menyatakan, ia menggunakan moluska seperti siput laut (gastropoda) dan kerang (bivalvia) untuk mempelajari fenomena metabolisme terhadap tingkat kepunahan, karena banyaknya dataset yang tersedia tentang spesies hidup dan punah.
"Anda perlu dataset yang sangat besar," katanya. "Banyak dari spesies bivalvia dan gastropoda masih hidup, sehingga banyak data yang kami butuhkan untuk melakukan penelitian ini.
"Alasan kami memilih Atlantik Barat sebagai wilayah studi, karena kami memiliki dataset rekaman besar yang sangat baik untuk distribusi fosil dan mahluk hidup dari wilayah ini. Saya menggunakan banyak bahan fosil dari koleksi di sekitar AS," lanjutnya.
Mungkin dalam jangka panjang, strategi evolusi terbaik untuk hewan adalah menjadi lamban dan semakin lamban. Hal serupa juga diungkapkan oleh Bruce Lieberman dari University of Kansas, bahwa semakin rendah tingkat metabolisme, semakin tinggi kemungkinan spesies tersebut untuk bertahan hidup.
Selain tingkat metabolisme, Strotz percaya tantangan yang disebabkan perubahan iklim juga menjadi salah satu faktor penyebab kepunahan spesies.
"Setiap perubahan suhu global terkait dengan perubahan iklim, dengan demikian akan mempengaruhi organisme pada tingkat fisiologis," ujarnya.
"Oleh karena itu, tingkat metabolik dapat mewakili metrik penting untuk memprediksi pola kepunahan pada masa depan, dengan perubahan dalam iklim global yang berpotensi mempengaruhi masa hidup individu, yang pada akhirnya mengarah pada kepunahan spesies yang dikandung oleh individu tersebut," tambahnya.
Untuk sementara, penelitian ini hanya berlaku di alam laut saja, namun tidak menutup kemungkinan hal tersebut juga berdampak pada organisme lain, termasuk manusia.
"Mengingat skala dataset kami dan lamanya waktu, kami percaya hasil kami harus berlaku untuk organisme lain selain moluska, tetapi ini tentu memerlukan pengujian lebih lanjut," kata Strotz.
Sebelumnya juga telah didemontrasikan, dengan menggunakan mamalia dan lalat buah, adanya korelasi antara tingkat metabolisme dan tingkat kematian yang lebih tinggi untuk individu.
Jika hasil ini bisa disandingkan dengan tingkat spesies untuk organisme ini, menurutnya, ada beberapa kemungkinan bahwa penelitian tersebut bisa meluas ke kelompok biologi lainnya.
Strotz memperingatkan, bagaimana pun tingkat metabolisme yang digunakan dalam penelitian ini hanya mewakili metabolisme rata-rata untuk spesies.
Artinya, jika satu spesies secara keseluruhan sudah lama berevolusi untuk bergerak lamban guna menghemat energi, ada kemungkinan mereka bisa bertahan lama. Namun, Strutz mengingatkan, hal itu tak berlaku untuk perubahan yang dilakukan mendadak.
Manusia, misalnya, tidak lantas bakal hidup lebih lama karena mendadak mengurangi aktivitas untuk menghemat tenaga.
"Anda tidak bisa memutuskan untuk menjadi malas sebagai individu dan berharap bisa hidup lebih lama," tegas Strotz.
Baca juga: Anjing Hutan Salju, Hewan yang Paling Rakus di Arktik