Walah! Menurut Penelitian Ilmiah, Malas Adalah Hal Baik
https://www.naviri.org/2018/11/penelitian-ilmiah-soal-malas.html
Naviri Magazine - Kita tentu menganggap malas adalah hal buruk. Karenanya, kita pun jengkel atau tidak suka kalau disebut si pemalas. Namun, ternyata, berdasarkan penelitian ilmiah, malas adalah hal baik, karena memungkinkan spesies untuk bertahan hidup.
Penelitian itu terkait dengan hewan-hewan yang kini sudah punah, dan hewan-hewan yang kini masih bertahan hidup. Berdasarkan penelitian, hewan-hewan yang sampai sekarang bertahan hidup karena mereka punya sifat khas; malas!
Banyak orang awam salah paham dengan terma survival of the fittest. Pertama, istilah itu selalu dilekatkan kepada Charles Darwin, bapak teori evolusi. Padahal, pencetus sebenarnya adalah filsuf Herbert Spencer. Istilah itu adalah caranya memampatkan konsep-konsep evolusi yang ia baca dalam karya Darwin.
Kedua, istilah itu memunculkan imaji yang tak sepenuhnya benar tentang bertahan hidup. Istilah survival of the fittest itu bisa menerbitkan imaji tentang singa yang memangsa wildebeest melalui drama perburuan yang epik. Atau pertarungan antara dua singa jantan mempertahankan dominasi dalam kelompoknya. Singkatnya, siapa yang terkuat, dialah yang bertahan hidup.
Kenyataanya fittest tak selalu berkait dengan individu atau spesies terkuat. Itu bisa berarti segala asosiasi dari spesies terbaik: paling mahir kamuflase, paling cerdik berburu, paling lincah bergerak, atau paling kooperatif dalam kelompok. Bahkan, spesies paling malas dan lamban bisa jadi adalah penyintas yang paling sukses. Mengapa?
Kelambanan berhubungan dengan tingkat metabolisme yang rendah. Studi teranyar menunjukkan bahwa semakin rendah tingkat metabolisme, semakin besar peluang spesies bertahan hidup. Itu terlihat dalam kasus evolusi hewan dari filum mollusca.
Selama jutaan tahun, mollusca menjadikan kelambanan sebagai strategi bertahan hidup. Mollusca adalah hewan invertebrata yang mencakup spesies seperti siput, kerang, dan gurita. Mereka memiliki tubuh yang lunak, sebagian besar memiliki cangkang, dan hidup di lingkungan akuatik atau lembap.
"Alih-alih survival of the fittest, mungkin metafora yang lebih baik untuk sejarah alam adalah survival of the laziest, atau setidaknya survival of the lambly," kata Bruce Lieberman, profesor ekologi dan biologi evolusi Universitas Kansas, sebagaimana dikutip The Washington Post.
Bruce Lieberman baru-baru ini terlibat dalam riset yang dipimpin Luke Strotz, peneliti pascadoktoral di Institut Biodiversitas Universitas Kansas. Ikut pula dalam tim itu Julien Kimmig, manajer koleksi Institut Biodiversitas, dan Erin Saupe dari Universitas Oxford. Tim ini melakukan studi terhadap data-data fosil mollusca di Samudra Atlantik, untuk mempelajari kontribusi metabolisme terhadap tingkat kepunahan spesies.
Studi yang mencakup periode sekitar 5 juta tahun ini—dari masa Pleiosen hingga kini—dipublikasikan di bawah judul “Metabolic Rates, Climate and Macroevolution: A Case Study Using Neogene Molluscs” dalam jurnal Proceedings of the Royal Society B: Biological Sciences pada Agustus lalu.
Studi Strotz dan kawan-kawan itu berangkat dari pertanyaan: bisakah melihat peluang kepunahan spesies berdasarkan serapan energi oleh organisme?
Untuk itu, Strotz dan timnya mengulik data 46.000 spesimen, dari sekira 300 spesies mollusca yang hidup di Amerika. Dari pindaian data, mereka akhirnya menemukan perbedaan tingkat metabolisme spesies yang telah punah selama 5 juta tahun terakhir, dan yang masih lestari sekarang.
“Mereka yang telah punah cenderung memiliki tingkat metabolisme yang lebih tinggi daripada mereka yang masih sintas. Spesies-spesies dengan tingkat metabolisme rendah cenderung memiliki tingkat kelestarian lebih tinggi, daripada yang tingkat metabolismenya lebih tinggi,” kata Strotz sebagaimana dikutip laman Science Daily.
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa tingkat metabolisme bisa dijadikan sebagai indikator probabilitas kepunahan. Ini terutama berlaku pada spesies yang habitatnya terbatas. Sebaliknya, indikator ini tak begitu valid pada spesies yang tersebar di wilayah geografis yang luas di lautan.
Luas habitat adalah komponen penting menentukan probabilitas kepunahan, karena spesies yang terdistribusi di habitat sempit jauh lebih mungkin untuk punah dengan cepat.
Penyebabnya tentu saja terbatasnya sumber makanan. Karenanya, spesies dengan tingkat metabolisme tinggi akan lebih kesulitan beradaptasi, jika habitatnya rusak dan sumber makanannya berkurang. Artinya, probabilitas kepunahannya pun menjadi lebih besar.
Akan tetapi, yang masih jadi misteri adalah adanya spesies yang tetap bermetabolisme tinggi di habitat sempit. Alasannya masih misterius. Jawaban sementara yang mungkin adalah karena mereka memiliki tingkat kematian yang tinggi. Hawan ini perlu jadi dewasa dengan cepat, dan segera bereproduksi sebelum jenisnya dihabisi predator. Strotz menyebutnya teori "hidup cepat, mati muda".
Kesimpulan umum dari temuan-temuan itu adalah: agar spesies bertahan hidup di habitat sempit dengan sumber makanan terbatas, mereka memperlambat metabolisme untuk menghemat energi. Apalagi di lingkungan yang terus berubah.
Strotz dan timnya berharap riset ini dapat mengurai kerumitan dalam studi tentang kepunahan spesies. Manfaat lainnya adalah membantu konservasionis memprediksi hewan mana yang paling mungkin untuk punah dalam waktu dekat, karena perubahan iklim.
"Saya pikir sisi yang paling menarik dari studi ini adalah apa saja yang potensial digunakan untuk memprediksi kepunahan. Atau menambah pemahaman kita tentang serbaneka spesies yang eksis kini. Organisme-organisme itu eksis, karena mereka selamat dari kepunahan," kata Strotz, seperti dikutip laman Lawrence Journal-World.
Menurut Strotz, penelitian ini bisa diperluas dan diterapkan pada jenis hewan lainnya. Pertanyaan besarnya: apakah hubungan antara tingkat metabolisme dan kepunahan itu konsisten untuk kelompok makhluk hidup lain. Setidaknya, untuk sekarang ini, hasil studi ini dapat digeneralisasikan pada kelompok hewan lain yang hidup dilautan.
Dapatkah ini berlaku juga untuk spesies kita, para homo sapiens? Sayangnya, Strotz mengatakan bahwa penelitian ini tidak berlaku untuk spesies manusia. Jadi, jika Anda berniat menjadikan simpulan studi ini sebagai alasan tak bangun pagi di hari Senin, sebaiknya urungkan saja.
Baca juga: Kamu Bisa Menjadi Manusia Super Kalau Punya Organ Ini