Hati-hati, Membayar Uang Tunai di Atas Rp100 Juta Bisa Kena Sanksi
https://www.naviri.org/2018/11/membayar-tunai-di-atas-100-juta.html
Naviri Magazine - Umpamakan kita membeli rumah secara cash atau tunai, seharga Rp120 juta. Kebetulan, kita punya uang tunai sebesar itu, hasil menabung di rumah. Setelah dikumpulkan, nilainya mencapai Rp120 juta, dan akan kita gunakan untuk membayar rumah tadi. Di sisi lain, si penjual rumah juga mau menerima pembayaran uang tunai dari kita.
Sampai di sini, tentu saja tidak ada masalah, kan? Kita membayar sesuatu dengan uang milik kita sendiri, dan pihak yang bertransaksi dengan kita (si penjual rumah) juga bersedia dibayar secara tunai.
Tetapi, ternyata, kini ada aturan baru yang melarang hal semacam itu. Jika kita membeli sesuatu yang nilainya lebih dari Rp100 juta, kita tidak boleh membayarnya secara tunai, tapi harus lewat bank.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) akan memberlakukan sanksi bagi pihak yang melakukan transaksi menggunakan uang kartal atau tunai lebih dari Rp100 juta di dalam negeri.
Rencananya, sanksi ini akan dimasukkan dalam Rancangan Undang-undang tentang Pembatasan Transaksi Uang Kartal yang masih digodok pemerintah.
Ketua Tim Penyusunan RUU Pembatasan Uang Kartal, Yunus Hussein, mengatakan sanksi tersebut akan berbeda untuk setiap jenis transaksinya. Jika serah terima uang tunai terjadi kala transaksi biasa, maka pihak penerima dan pemberi akan terkena sanksi administratif.
Sanksi administratif akan dikenakan oleh masing-masing lembaga yang terkait misalnya, PPATK, Bank Indonesia, atau Otoritas Jasa Keuangan, kepada pihak yang tertangkap melakukan transaksi uang tunai di atas Rp100 juta.
Namun, bentuk sanksi administratif ini masih belum ditentukan. Berdasarkan pengalaman, beberapa negara menggunakan denda sebagai sanksi administratif. Di Bulgaria, misalnya, denda dikenakan sebesar 25 hingga 50 persen dari nilai transaksi yang dilanggar.
Lain halnya dengan Belgia, denda bisa dikenakan sebesar 250 Euro hingga 225 Euro, asal dendanya tak lebih dari 10 persen transaksi keuangan yang dilanggar.
Sejauh ini, lanjut Yunus, sanksi dalam membawa uang tunai di Indonesia baru dilaksanakan jika uang itu dibawa lintas batas. Adapun, aturan ini masuk ke dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
"Ini tentu ada sanksi administratif, nanti akan diumumkan oleh masing-masing lembaga," ujar Yunus.
Jika serah terima uang dilakukan dalam rangka perjanjian, maka nanti pemerintah akan berikan sanksi perdata, yakni perjanjian tersebut batal demi hukum. Dengan kata lain, perjanjian ini menjadi objek dari pasal 1320 dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Ia mencontohkan, jika transaksi pembelian tanah tertangkap tangan menggunakan uang tunai di atas Rp100 juta, maka otomatis perjanjian itu dianggap tidak sah. Dengan demikian, ia tidak bisa mendapatkan sertifikat dari Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Menurut Yunus, hukum perdata ini jauh lebih ringan dibanding sanksi pembatasan uang tunai di negara lain yang langsung menuju hukum pidana.
Di negara seperti Italia, contohnya, sanksi administrasi bisa berupa denda tidak lebih dari 40 persen dari jumlah transaksi yang dilanggar. Namun mereka tetap memberlakukan hukum pidana.
"Itu karena transaksi uang kartal di Italia juga kan disinyalir digunakan pencucian uang untuk geng kejahatan di sana, dan aturan pidana itu ampuh menekan tindakan mafia di sana. Setelah belajar dari negara lain, Indonesia sepertinya hukum perdata dulu. Jadi ada dua sanksi, yakni administrasi dan perdata," jelas dia.
Kendati telah menetapkan sanksi, ia mengaku PPATK masih kelimpungan dalam melakukan pengawasan. Sejauh ini, Yunus mengatakan bahwa celah transaksi uang tunai lebih dari Rp100 juta masih terjadi pasca UU diberlakukan, karena lembaga tak bisa mengawasi kegiatan transaksi tunai masyarakat satu per satu.
Tak hanya itu, PPATK juga mencari cara untuk mengawasi transaksi tunai di daerah. Selain itu, ia masih menimbang apakah transaksi tunai di atas Rp100 juta di daerah bisa dikenakan sanksi, mengingat jaringan perbankan banyak yang belum menjangkau daerah.
"Sejauh ini pengawasan seperti itu yang masih kami pikirkan," pungkas dia.
Baca juga: Fakta Mengerikan, Setiap Orang di Dunia Punya Utang