Hak-hak Penumpang Pesawat Terbang yang Sering Terabaikan
https://www.naviri.org/2018/11/hak-hak-penumpang-pesawat-terbang.html
Naviri Magazine - Penumpang pesawat terbang adalah konsumen yang memiliki hak-hak tertentu, yang artinya menjadi kewajiban pihak maskapai untuk memberikannya. Dalam contoh mudah, penumpang berhak mendapat jadwal terbang yang on time alias tidak terlambat, apalagi sampai molor hingga berjam-jam. Karenanya, pihak maskapai penerbangan juga wajib mengupayakan pesawat mereka terbang sesuai jadwal.
Sayangnya, hal-hal semacam itu kadang, bahkan sering, terabaikan. Penumpang pesawat akibatnya hanya bisa stres dan jengkel saat hak-haknya terabaikan, semisal jadwal molor, atau mengalami masalah lainnya.
Sebagai konsumen, hak penumpang pesawat terbang sebenarnya diatur melalui Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Ada tiga lembaga yang diamanatkan undang-undang tersebut untuk memberikan perlindungan kepada konsumen, yakni Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
BPSK bertugas menyelesaikan sengketa hukum yang dihadapi konsumen secara gratis. Sedangkan BPKN berperan memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah tentang kebijakan dan peraturan perlindungan konsumen.
Kondisi perlindungan hak penumpang pesawat di Indonesia berbeda dengan Amerika Serikat. Di negeri Paman Sam, ada sebuah organisasi bernama National Association of Airline Passengers (NAAP). Organisasi yang dibentuk pada 2010 tersebut bertujuan mengadvokasi aspirasi anggotanya, yaitu para penumpang pesawat terbang, agar dapat memengaruhi atau mengubah kebijakan pemerintah dan industri penerbangan.
Laman resmi NAAP menyebutkan lima tujuan yang dikejar organisasi tersebut, mulai dari melindungi penumpang pesawat dari tindak kekerasan akibat kebijakan dan petugas Kantor Keamanan Transportasi AS hingga menuntut adanya kursi dan ruang kaki yang lebih luas bagi penumpang. Organisasi itu juga ingin mereformasi kebijakan biaya penerbangan, improvisasi kebijakan barang rusak dan hilang, dan toilet yang dapat diakses kursi roda di pesawat terbang.
NAAP juga sempat mengajukan petisi kepada Federal Aviation Administration (FAA). Ia menuntut FAA mengatur maskapai penerbangan di AS supaya menyediakan kursi yang nyaman dan tidak terlalu sempit bagi penumpang.
Asosiasi tersebut juga menempuh upaya hukum untuk menggugat penggunaan alat pindai tubuh yang disebut Advanced Imaging Technology (AIT) yang diterapkan Transportation Security Administration di AS.
Direktur NAAP, Douglas Kidd, juga mengomentari industri penerbangan di AS yang semakin mementingkan profit dan pengamanan berlebihan, ketimbang keselamatan dan kenyamanan penumpang.
Penulis blog perjalanan, Gary Leff, mengatakan kepada New York Times bahwa industri penerbangan komersial di AS semakin tidak bersahabat sejak peristiwa 9/11. Setelah peristiwa itu, ada aturan yang mengharuskan penumpang mengikuti instruksi awak maskapai. Penumpang yang tidak menghiraukannya bakal dicap sebagai ancaman.
"Petugas maskapai memegang posisi kekuasaan dan kewenangan yang begitu ekstrem," ujar Leff.
Resesi global dan kenaikan harga bahan bakar pada 2008 juga menyebabkan merosotnya jumlah maskapai penerbangan dan harga tiket pesawat terbang melambung tinggi.
Setelah 2008, maskapai penerbangan menghitung tas bagasi dan makanan sebagai fasilitas berbayar. Maskapai juga mengurangi jumlah pesawat yang beroperasi, tetapi mengangkut penumpang lebih banyak. Maskapai sekarang terjebak dalam praktik seperti itu, meskipun ekonomi sudah pulih.
Padahal, sebelumnya, dengan diberlakukannya Undang-undang Deregulasi Maskapai Penerbangan pada 1978, pemerintah mengendalikan harga tiket dan rute, sementara para maskapai berlomba-lomba menyediakan fasilitas makanan dan ruang kaki senyaman mungkin.
"Kebijakan mereka [maskapai penerbangan di AS]: pendisiplinan kapasitas adalah kunci mempertahankan profit maskapai. Dulu, banyak maskapai yang berlomba-lomba merebut pangsa pasar. Sekarang, dengan adanya konsolidasi, tersisa empat hingga lima maskapai besar, mereka tidak perlu khawatir tentang pangsa pasar,” ujar Kidd.
Kini, Badan SAR Nasional tengah melakukan upaya evakuasi penumpang dan awak pesawat Lion Air JT-610. Tentu, kecelakaan dan kerugian semacam itu tidak perlu berulang kali lagi terjadi di kemudian hari. Sehingga pendirian LSM perlindungan konsumen maskapai penerbangan menjadi suatu gagasan yang patut dipertimbangkan.