Asal Usul Toa, Pengeras Suara yang Populer di Indonesia
https://www.naviri.org/2018/11/asal-usul-toa-pengeras-suara.html
Naviri Magazine - Kita pasti mengenal Toa, pengeras suara berbentuk kerucut yang biasa ada di mushala atau masjid, juga sering digunakan saat ada acara hajatan. Toa juga sering terlihat dalam acara-acara keramaian, seperti pasar malam, demonstrasi, dan lain-lain.
Sebenarnya, Toa bukan nama benda, namun nama merek. Tapi karena sangat terkenal, kita pun lebih terbiasa menyebut pengeras suara itu dengan nama Toa.
Toa merupakan perusahaan yang didirikan oleh Tsunetaro Nakatani, seorang warga negara Jepang kelahiran 10 Agustus 1890. Ia sebenarnya bercita-cita menjadi fotografer, selepas memenuhi wajib militer. Ia terjun ke dunia usaha setelah mewarisi bisnis dari kakak iparnya, yang sebelumnya mengoperasikan bisnis di Senba, Osaka.
Dia memulai bisnisnya dengan bendera Toa Electric Manufacturing Company di Kobe—pada 1 September 1934. Sejak muda, dia tertarik pada mikrofon. Tak heran jika mikrofon termasuk produk yang awal-awal dibuat Toa—bersama juga Horn Speakers dan Amplifiers.
Keterlibatan Jepang dalam Perang Dunia II sempat mengganggu bisnis, hingga akhirnya perusahaan mengungsi keluar dari Kobe. Menurut laman Toa, setelah kembali pada 1947, perusahaan mulai mengembangkan The Reflex Trumpet Horn Speakers—pengeras suara berbentuk corong/trompet.
Toa membuat gebrakan penting lagi di tahun 1954, dengan merilis megafon listrik EM-202, yang diklaim sebagai megafon listrik pertama di dunia. Produk ini bahkan diekspor ke Amerika Serikat. Toa terus menyempurnakan produk megafon mereka. Seperti pengeras suara Toa, megafon juga sering dipakai dalam demonstrasi juga.
Toa masuk ke Indonesia melalui seorang pengusaha keturunan Tionghoa asal Bangka, Uripto Widjaja. Uripto adalah pemilik PT Galva, yang merakit radio merek Galindra. Radio tersebut sezaman dengan kejayaan radio Tjawang yang diproduksi PT Transistor Radio Manufacturing Co—yang dirintis Gobel pendiri Panasonic Indonesia.
“Mulai tahun 60an itu juga Galva mulai melirik usaha pemasaran produk perangkat pengeras suara merek Toa. Dari sekadar agen distribusi, tahun 1975 Galva kemudian beralih membangun pabrik sound system dengan menggandeng Toa dan Sumitomo dengan total investasi sekitar satu juta dolar AS,” tulis buku "Usaha Yang Cocok Untuk Anda" (Jacky Ambadar, Miranti Abidin, Yanty Isa: 2008).
Pada tahun 1975, Toa memulai perkongsian dengan PT Toa Galva Industries. Sebelumnya, pada 1973, Toa sudah menata kantor perwakilan di Indonesia. Sebelum perusahaan itu dibangun, Toa menguasai 90 persen pasar Indonesia.
Pabrik di Indonesia adalah permulaan Toa merambah mancanegara. Dua tahun setelah masuk ke Indonesia, Toa mencatatkan sahamnya di Bursa Saham Osaka.
Galva, yang lahir sejak 1946 di Jakarta, menurut situsweb Galva, belakangan tak hanya memasarkan merek Toa, tapi juga Sony, BenQ, Acer, juga Samsung. Sebelum orang-orang Indonesia punya barang-barang elektronik yang dipasarkan Galva, pengeras suara Toa lebih dulu mereka dengar.
Toa sendiri kini bukan hanya sekadar berbisnis sound system. Ia juga merambah bisnis security system business, dan juga teknologi jaringan. Toa menyebut mereka sebagai perusahaan yang bisnisnya terfokus pada sound system dan security.
Bisnis Toa pada tahun 2017 sedikit mengalami perlambatan. Hingga kuartal III 2017, Toa meraup pendapatan hingga 42,504 juta yen, turun dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, sebesar 45,840 juta yen.
Baca juga: Teknologi-teknologi Canggih yang Semula Ada di Film Kartun