William Sidis, Kisah Tragis Manusia Paling Jenius di Dunia
https://www.naviri.org/2018/10/william-sidis.html
Naviri Magazine - Setiap kali menyebut manusia jenius, ingatan kita biasanya tertuju ke sosok-sosok terkenal semacam Albert Einstein, Stephen Hawking, Leonardo DaVinci, dan lain-lain. Mereka memang dikenal sebagai orang-orang jenius, dan kecerdasan serta karya-karyanya memang luar biasa.
Namun, di antara nama-nama tokoh tersebut, ada tokoh lain yang mungkin namanya tidak populer di zaman sekarang, tapi layak disebut sebagai manusia paling jenius di dunia.
Namanya William James Sidis. Dia memiliki IQ yang diperkirakan mencapai 250-300, tetapi namanya tenggelam dan tidak dikenal generasi zaman sekarang.
Keajaiban Sidis diawali ketika dia bisa makan sendiri menggunakan sendok, pada usia 8 bulan. Pada usia belum genap 2 tahun, Sidis sudah menjadikan New York Times sebagai bacaan saat sarapan pagi. Semenjak itu, namanya menjadi langganan headline surat kabar.
Sidis telah menulis beberapa buku sebelum berusia 8 tahun, di antaranya tentang anatomi dan astronomi. Pada usia 11 tahun, Sidis diterima di Universitas Harvard sebagai mahasiswa termuda. Harvard pun terpesona dengan kejeniusan Sidis, ketika dia memberikan ceramah di depan para profesor matematika.
Lebih dasyat lagi, Sidis mengerti 200 jenis bahasa di dunia dan bisa menerjamahkannya dengan amat cepat dan mudah. Ia bisa mempelajari sebuah bahasa secara keseluruhan dalam sehari!
Kehebatan William Sidis adalah keberhasilan sang ayah, Boris Sidis, seorang psikolog berdarah Yahudi. Boris juga lulusan Harvard, murid psikolog ternama William James (yang namanya ia gunakan untuk memberi nama anaknya).
Boris menjadikan anaknya sebagai contoh untuk sebuah model pendidikan baru, sekaligus menyerang sistem pendidikan konvensional yang dituduhnya telah menjadi biang keladi kejahatan, kriminalitas, dan penyakit.
Siapa sangka William Sidis kemudian meninggal pada usia yang tergolong muda, 46 tahun, saat mestinya seorang ilmuwan berada dalam masa produktifnya. Sidis meninggal dalam keadaan menganggur, terasing, dan amat miskin. Ironis.
Orang kemudian menilai bahwa kehidupan Sidis tidak bahagia. Popularitas dan kehebatannya pada bidang matematika membuatnya tersiksa. Beberapa tahun sebelum meninggal, Sidis memang sempat mengatakan kepada pers bahwa ia membenci matematika, sesuatu yang selama ini telah melambungkan namanya. Dalam kehidupan sosial, Sidis hanya sedikit memiliki teman. Bahkan ia juga sering diasingkan oleh rekan sekampus. Tidak juga pernah memiliki pacar ataupun istri.
Gelar sarjananya tidak pernah selesai, ditinggal begitu saja. Ia kemudian memutuskan hubungan dengan keluarganya, mengembara dalam kerahasiaan, bekerja dengan gaji seadanya, dan mengasingkan diri.
Ia berlari jauh dari kejayaan masa kecilnya yang ia anggap sebagai proyeksi sang ayah. Ia menyadari bahwa hidupnya adalah hasil pemolaan orang lain. Namun, kesadaran memang sering datang terlambat.
Mengharukan memang, usaha Sidis. Ada keinginan kuat untuk lari dari pengaruh sang ayah, untuk menjadi diri sendiri. Walau untuk itu Sidis tidak kuasa. Pers dan publik telanjur menjadikan Sidis sebagai berita.
Kemana pun Sidis bersembunyi, pers pasti menemukan. Sidis tidak bisa melepaskan pengaruh sang ayah begitu saja. Sudah telanjur tertanam semacam bom waktu, yang kemudian meledak.