Tingkat Pengangguran di Indonesia Dibanding Negara-negara Lain
https://www.naviri.org/2018/10/tingkat-pengangguran-di-indonesia.html
Naviri Magazine - Apakah pengangguran hanya ada di Indonesia? Jawabannya tentu saja tidak. Masing-masing negara memiliki masalah pengangguran yang sama, ketimpangan antara jumlah pencari kerja dan lapangan kerja yang tersedia.
Tulang punggung dari angkatan kerja di Indonesia adalah golongan usia “pekerja utama”. Situasi itu tentu akan menarik jika dibuat dalam skala perbandingan antarnegara. Ini penting untuk melihat daya saing Indonesia. Seberapa besar angkatan kerja di Indonesia mendapatkan skor pada tataran regional.
Data World Economic Forum, dalam Global Human Capital Report 2017, memperlihatkan Indonesia berada di posisi ketujuh dari 10 negara ASEAN yang dicuplik untuk soal “Human Capital Index” (HCI).
Dengan skor indeks sebesar 62,19, Indonesia berada di atas Laos (58,36), namun di bawah posisi Brunei Darussalam (62,82). Bahkan, apabila dibandingkan dengan Malaysia (68,29) dan Singapura (73,28), Indonesia terlihat tertinggal.
Apa yang menyebabkan skor HCI Indonesia “tidak memuaskan”? Dalam pengukurannya, HCI menggunakan empat variabel utama; capacity, deployment, development, dan know-how.
Capacity berkaitan dengan skor tingkat literasi, dan segala urusan dengan pendidikan. Deployment berkaitan dengan partisipasi tenaga kerja, pengangguran, gender gap, dan lainnya. Development melihat beberapa indikator yang terkait dengan kualitas sistem pendidikan, training, sekolah vokasi. Sedangkan know-how terkait dengan penempatan tenaga kerja yang high-skilled atau medium-skilled.
Dalam tulisan ini akan ditunjukkan variabel know-how; karena terkait langsung dengan angkatan kerja, termasuk potensi daya saingnya. Setidaknya dengan melihat aspek ini, dapat diketahui gambaran kecil atas karakteristik daya saing yang mendominasi angkatan kerja di Indonesia.
Untuk high-skilled employment share, Indonesia berada di peringkat ketiga terbawah, dengan skor 9,9. Nilai Indonesia sangat jauh dibandingkan Singapura, di tempat pertama, dengan skor 56,2; ataupun Brunei Darussalam, dengan skor 40,8. Ironisnya, Indonesia berada di bawah Myanmar dan Vietnam.
Untuk medium-skilled employment share, Indonesia masih berada di peringkat ketiga terbawah. Namun, skor yang dipegang Indonesia (81,9) cenderung tidak jauh berbeda dengan negara ASEAN lainnya. Laos, yang menjadi peringkat pertama untuk soal ini, memiliki skor 98,9.
Singapura bernilai 92,3. Artinya, untuk medium-skilled employment share, ASEAN dipegang oleh Laos dan Thailand. Berbeda dengan high-skilled employment share, negara utama tercatat sebagai “negara maju” di ASEAN, Singapura dan Malaysia.
Untuk Indonesia, sekalipun potensi struktur angkatan kerja yang mendukung untuk menjadi negara produktif, ternyata ukuran itu belum mampu bertanding dalam soal daya saing HCI di ASEAN, khususnya terkait “skilled employment share” sebagai contoh langsung.
Apa yang dapat dibaca? Indonesia mungkin saja memiliki struktur angkatan kerja potensial yang besar, atau bahkan mampu untuk diakselerasi sebagai kelompok produktif, pendorong daya saing. Namun, belum tentu struktur ekonomi dan lapangan kerja yang ada sejalan dengan skema ekonomi industri yang membutuhkan skilled labour.
Skema itu mungkin digunakan oleh Singapura ataupun Malaysia, dengan menjadikan negara mereka sebagai negara industri yang menerapkan pola rujukan dari negara-negara maju di belahan dunia lain.
Ekonomi informal
Di Indonesia, struktur ekonomi dan lapangan pekerjaan mungkin saja memang tidak terlalu membutuhkan skilled labour sebagai hal utama. Alexander D. Rothenberg, et.al (2016) dalam artikel ilmiah berjudul “Rethinking Indonesia’s Informal Sector”, memberikan penjelasannya.
Artikel itu juga mengungkap bahwa sebagian besar perusahaan di Indonesia memang bertahan sebagai usaha mikro, kecil, dan menengah. Sebanyak 93 persen adalah perusahaan yang bersifat informal.
Sementara, perusahaan informal umumnya berskala mikro, dengan sedikit karyawan, tingkat pendidikan yang rendah, dan berjejaring dalam mata rantai pasokan secara lokal. Artinya, penempatan tenaga kerja yang high-skilled atau medium-skilled labour sebagai tolak ukur dalam mengukur daya saing Indonesia di konteks ASEAN, tentu menjadi tidak terlalu berarti.
Apalagi jika sektor ekonomi informal memang menjadi penopang pasar tenaga kerja Indonesia. Intinya, ukuran perbandingan regional, semisal HCI, dapat saja jadi tidak sepadan untuk membaca kondisi langsung di Indonesia.
Baca juga: 5 Pekerjaan yang Paling Banyak Dicari di Tahun 2030