Mengapa Ada Orang-orang yang Tidak Percaya Temuan Ilmiah?
https://www.naviri.org/2018/10/tidak-percaya-temuan-ilmiah.html
Naviri Magazine - Para ilmuwan bekerja dengan ilmu pengetahuan, yang salah satu hasilnya adalah temuan-temuan ilmiah. Dalam contoh yang terkenal, kita tahu bahwa bumi mengelilingi matahari, karena adanya temuan ilmiah. Kita juga tahu bahwa saat ini sedang terjadi pemanasan global serta perubahan iklim, juga karena adanya temuan ilmiah.
Artinya, temuan-temuan ilmiah memberi kita pengetahuan baru, berdasarkan penelitian para ilmuwan. Namun, tidak semua orang mau menerima temuan-temuan tersebut. Buktinya, sampai sekarang masih banyak yang percaya bahwa bumi itu datar dan bukan bulat, padahal ilmuwan sudah menyatakan bahwa bumi berbentuk bulat.
Mengapa ada orang-orang yang tampaknya sulit menerima atau bahkan tidak percaya pada temuan ilmiah?
Dalam esai “Trust Me, I’m a Scientist” yang tayang di laman Scientific American, Profesor Daniel T. Willingham menyebut suatu paradoks sedang terjadi dalam masyarakat Amerika Serikat.
Sebagian besar orang AS, katanya, mengaku percaya kepada ilmuwan. Bahkan, hasil survei National Science Foundation pada 2016 menyebut bahwa orang AS lebih percaya perkataan saintis daripada pejabat atau pebisnis.
Secara umum, ilmuwan dianggap lebih menguasai suatu bidang dan netral. Namun, meski begitu, ada juga orang-orang yang mengaku percaya sambil juga mengamini bahwa vaksinasi menyebabkan autisme. Artinya, mereka mempercayai para ilmuwan secara umum, tetapi tak bersepakat pada isu-isu sains tertentu.
Mengapa bisa demikian? Penelitian Andrew Shtulman dari Occidental College pada 2012 agaknya bisa sedikit membantu menjawabnya.
Shtulman, dalam artikel “Scientific Knowledge Suppresses but Does Not Supplant Earlier Intuitions”, yang terbit dalam jurnal Cognition, menyebut bahwa pikiran manusia bukanlah wadah kosong yang siap diisi informasi baru. Manusia telah memiliki apa yang disebutnya intuisi naif atas dunia sekitarnya. Intuisi naif ini tak akan luntur oleh informasi-informasi yang datang belakangan, meskipun itu lebih ilmiah.
Untuk menunjukkan kecenderungan ini, peneliti dari Occidental College yang bermarkas di Los Angeles menciptakan suatu tes sederhana. Sebanyak 150 mahasiswa perguruan tinggi yang telah mengambil beberapa kelas sains dan matematika diminta membaca 200 pernyataan tentang fenomena alam sehari-hari.
Dua ratus pernyataan itu digolongkan dalam dua kategori: pernyataan konsisten dan inkonsisten. Penyataan konsisten meliputi pernyataan yang benar dari sisi ilmu pengetahuan dan intuitif, atau salah satu dari sisi saintifik maupun intuitif. Sementara penyataan inkonsisten meliputi pernyataan yang benar dari sisi intuitif, tapi salah secara saintifik atau yang sebaliknya.
Contoh pernyataan itu misalnya "bulan mengelilingi bumi" yang secara intuitif maupun saintifik benar. Atau pernyataan “bumi mengelilingi matahari” yang secara ilmiah benar namun bertentangan dengan intuisi kita. Para mahasiswa dites untuk menilai kebenaran dari pernyataan-pernyataan semacam itu secepat mungkin.
Hasilnya, seperti diuraikan secara lebih awam oleh Jonah Lehrer dalam “Why We Don’t Believe in Science”, yang tayang di laman The New Yorker, mahasiswa-mahasiswa itu butuh waktu lebih lama untuk menilai pernyataan-pernyataan yang inkonsisten. Dalam setiap kategori ilmiah, para mahasiswa berhenti sejenak sebelum menyetujui pernyataan ilmiah seperti “bumi mengelilingi matahari”, “tekanan menghasilkan panas”, atau “udara tersusun dari materi”.
Tersendatnya para mahasiswa menilai pernyataan inkonsisten itu memperkuat dugaan bahwa mereka sebenarnya tahu bahwa pernyataan-pernyataan itu benar, tetapi itu bertentangan dengan intuisi pikiran bawah sadarnya.
Shtulman dalam kesimpulannya menulis, “Apa yang terjadi pada teori naif para mahasiswa itu, ketika mereka belajar teori saintifik? Temuan kami menunjukkan bahwa teori naif itu ditekan oleh teori ilmiah, tetapi tak lantas tergantikan.”
Intuisi membentuk keyakinan awal seseorang. Sebagian orang belajar untuk menerima fakta baru yang lebih ilmiah dan menekan intuisinya, namun sebagian lagi tetap teguh pada keyakinan lamanya. Sehingga, pada dasarnya, kepercayaan seseorang pada sains atau menyangkalnya adalah sebuah pilihan.
Keyakinan-keyakinan intuitif di pikiran bawah sadar, yang agaknya menjadi sebab sulitnya seseorang mempercayai suatu penjelasan atau informasi ilmiah. Bahkan meskipun informasi ilmiah itu datang dengan bukti-bukti faktual yang kuat.
Baca juga: Kota-kota yang Kita Kenal Saat Ini Akan Hilang di Masa Depan