Sudah Masuk Musim Hujan, Tapi Kenapa Cuaca Masih Panas?
https://www.naviri.org/2018/10/sudah-masuk-musim-hujan-tapi-masih-panas.html
Naviri Magazine - Indonesia adalah negara yang memiliki dua musim, yaitu musim hujan dan dan musim panas atau kemarau. Di masa lalu, dua musim ini saling berganti dengan jadwal yang teratur. Misalnya, saat memasuki bulan Oktober hingga awal tahun berikutnya akan diisi musim hujan. Memasuki pertengahan tahun, giliran musim kemaau yang datang.
Karena itu pula, bulan-bulan akhir yang diakhiri kata “ber” (semisal Oktober, November, dan Desember) umumnya menjadi saat-saat hujan turun begitu deras. Begitu pula saat memasuki Januari, hujan masih sering turun, hingga nama bulan Januari pernah diartikan “hujan sehari-hari”.
Namun, kini, meski sudah memasuki Oktober, yang mestinya sudah musim hujan, sejumlah wilayah di Indonesia malah dirundung suhu yang terasa panas. Kenapa?
Kepala Humas Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Hary Djatmiko, mengatakan bahwa hujan memang akan datang sedikit terlambat untuk beberapa wilayah di Indonesia, seperti Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.
Hary menyanggah bahwa Indonesia masih berada di musim kemarau, karena beberapa wilayah seperti di Aceh sudah turun hujan.
Kondisi berbeda ini, menurut dia, terbilang normal.
Pasalnya, sebagaimana dijelaskan situs resmi BMKG, ada banyak faktor yang memengaruhi keragaman cuaca dan iklim di Indonesia, di antaranya posisi geografis Indonesia yang strategis, kondisi topografi Indonesia yang unik, fenomena global seperti El Nino yang bersumber dari wilayah Ekuator Pasifik Tengah, dan fenomena regional seperti sirkulasi angin monsun Asia-Australia.
“Kami sudah prediksikan awal musim hujan itu antara Oktober, November, dan Desember,” tutur Hary.
Berdasarkan prakiraan BMKG, hujan akan segera datang walaupun lebih mundur sekitar 10-30 hari dari jadwal. Secara umum, awal musim hujan tahun 2018/2019 di sebagian wilayah Indonesia khususnya Pulau Jawa diperkirakan terjadi di awal November—atau paling cepat akhir Oktober.
Sementara yang terjadi sepanjang Oktober ini, jelas Hary, adalah masa pancaroba alias peralihan musim yang telah berlangsung sejak bulan September.
Dia menuturkan bahwa pada masa pancaroba ada beberapa fenomena cuaca alamiah yang bisa terjadi.
Pertama, ada pembentukan dan pertumbuhan awan hujan secara bertahap, tapi belum merata, sehingga hujan tak kunjung turun di beberapa wilayah.
Kedua, pengumpulan awan hujan memungkinkan terjadinya hujan disertai kilat dan petir walaupun masih belum sering.
Ketiga, sama halnya pada bulan-bulan puncak musim kemarau, fenomena cuaca panas dan terik juga akan terjadi lebih sering.
Berdasarkan pemantauan BMKG, suhu udara maksimum di sebagian besar wilayah Indonesia saat ini berkisar antara 34-37,5 derajat Celsius.
Suhu itu memang panas, tetapi untuk wilayah tropis seperti Indonesia, “Ini masih dalam kondisi normal, suhu maksimum yang pernah terjadi berdasarkan data klimatologis dalam 30 tahun terakhir (1981-2010) antara 34-37,5 derajat celcius,” kata Fatuhri Syabani, Kepala Data dan Informasi BMKG Gorontalo, pada 2017.
Menurut Hary, ada setidaknya dua faktor pemicu cuaca panas, yakni berkaitan dengan posisi matahari dan kelembapan udara yang rendah.
"Matahari saat ini berada di belahan bumi selatan, sekitar wilayah Indonesia. Jadi penyinaran yang kita dapat langsung," ujarnya.
Selain itu, "Kala kelembapannya rendah, proses pembentukan dan pertumbuhan awan hujannya lebih kecil. Bukan lambat, tapi kecil. Kalau lebih kecil, potensi hujannya jadi relatif lebih kecil. Suhunya jadi panas,” papar Hary.
Dia menerangkan, kelembapan yang rendah berkaitan dengan aliran massa udara dingin dan kering dari Australia menuju Indonesia bagian selatan khatulistiwa, terutama Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.
Kondisi ini ditandai dengan kelembapan udara yang lebih kecil atau kurang dari 60 persen, pada ketinggian 3-5 km dari permukaan laut.
Dia mengungkapkan bahwa cuaca dan musim pada tahun 2018 tergolong normal, meskipun tidak sebasah dua tahun belakangan.
Lalu, dia pun mengakui bahwa untuk pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara di tahun 2018, periode kemarau memang lebih kering dibanding tahun 2017 dan 2016. Namun, tidak separah tahun 2015 yang disebutnya sebagai tahun kering.
Pada 2015, El Nino memicu kemarau panjang hingga Desember. El-Nino merupakan kondisi suhu air laut memanas di Samudera Pasifik hingga di atas rata-rata suhu normal, mengakibatkan fenomena alam seperti kekeringan.
Sementara periode September-Oktober 2018 hingga Februari 2019, berdasarkan prediksi BMKG, El Nino masih dalam kategori normal dan lemah. Artinya, fenomena itu belum bisa memberi pengaruh yang signifikan dalam mengubah curah hujan di Indonesia.
Di beberapa wilayah seperti Jakarta dan Kabupaten Pemalang, prakiraan cuaca BMKG menyebutkan bahwa musim hujan akan dimulai dari wilayah selatan.
“Biasanya kalau mau masuk musim hujan itu wilayah selatan seperti Depok, dan wilayah Jakarta Selatan itu yang akan kena hujan duluan,” ujar Hary.
Sementara di Pemalang, kendati tidak disebutkan wilayahnya, Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Wismo, mengemukakan bahwa perkiraan curah tertinggi terjadi di daerah barat daya, meliputi Randudongkal, Warungpring, dan Pulosari.
Lalu, menurut Nurhuda, Kordinator BMKG Jawa Timur, hujan akan lebih dulu mengguyur daerah sekitar Gunung Bromo dan Semeru, Malang bagian tenggara, serta Lumajang bagian barat daya.
Baca juga: Kekeringan, Kelangkaan Air, dan Cara Mengatasinya