Sejarah dan Awal Mula Perfilman di Indonesia (Bagian 2)
https://www.naviri.org/2018/10/sejarah-dan-awal-mula-perfilman-di.html
Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Sejarah dan Awal Mula Perfilman di Indonesia - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.
Wacana ini memusingkan pelaku industri film, terutama kalangan Cina, karena merekalah yang banyak membuat film ‘asal menghibur’, mengacu pada sukses Terang Boelan.
Ada respons politik dari kalangan orang film dalam menanggapi wacana tersebut, yakni lahirnya organisasi bernama SARI atau Sjarikat Artist Indonesia, pada 28 Juli 1940, di Prinsen Park atau Lokasari Jakarta, dihadiri 58 aktivis film. Pencetusnya adalah Saerun dan Moehammad Sin, wartawan pengasuh ruang film Majalah Pembangoenan.
Ketika pada 8 Maret 1942 Belanda menyerah pada Jepang, politik perfilman Indonesia mengalami perubahan besar-besaran. Pemerintahan militer Jepang menjadikan film sebagai media propaganda politik Asia Timur Raya.
Yang pertama dilakukan, menutup semua perusahaan film yang ada, termasuk JIF milik The Teng Chun, serta Tan’s Film milik Wong Bersaudara. Semua peralatan film disita. Studio film diduduki tentara (sekarang tempat itu menjadi PFN).
Kemudian, pemerintah militer Jepang mendirikan perusahaan film bernama Jawa Eigha Kosha, pada September 1942, yang lalu berubah menjadi Jepang Nippon Eiga Sha pada April 1943. Perusahaan ini gencar memproduksi film-film propaganda.
Orang-orang film berantakan. Wong Bersaudara beralih profesi menjadi penjual kecap dan limun. The Teng Chun memimpin sandiwara Djantoeng Hati. Para artis kembali ke media tonil atau sandiwara. Naskah dan tampilan harus disensor oleh Sindenbu atau Badan Propaganda. Badan ini juga membentuk organisasi pengedar film bernama Eiga Haikyusha, organisasi sandiwara bernama Jawa Engeki Kyokai, dan Pusat Kebudayaan bernama Keimin Bunka Shidoso.
Dari sedikit film yang lahir di masa ini adalah Berdjoeang dan Ke Seberang karya sutradara Rd Arifien, Di Desa dan Di Menara karya sutradara Rustam Sutan Palindih, film Hoedjan karya sutradara Inu Perbatasari. Para pembuat film ini adalah orang-orang pribumi yang duduk di kursi kekuasaan dalam pemerintahan militer Jepang.
Suasana politik seperti itu justru meningkatkan kesadaran kaum pribumi dalam melihat film bukan semata produk industri dan hiburan, melainkan juga sebagai media perjuangan. Tokoh pergerakan seperti Dr Adnan K Gani pun ikut main. Tapi karena produksi film makin surut, kegiatan para aktivis lebih banyak ke diskusi dan strategi politik.
Usmar Ismail, Djajus Siagian, dan D Djajakusuma, menghidupkan klub diskusi film, lalu merintis sekolah film di Yogya. Namun, baru beberapa bulan, ditutup pemerintah militer Jepang.
Di masa-masa itu, Usmar Ismail membuat sajak berjudul Tjitra, lalu Cornel Simanjuntak membuatkan lagunya. Sajak dan lagu Tjitra lolos untuk dimuat di majalah Djawa Baroe, pada Desember 1943. Tahun 1946, sajak dan lagu Tjitra difilmkan oleh Usmar Ismail.
Iklim politik berubah ketika Jepang mulai terdesak di sana-sini, sampai masa revolusi yang melahirkan negara bernama Republik Indonesia, pada 17 Agustus 1945. Hanya dalam hitungan hari, berbagai gerakan yang diprakarsai seniman bermunculan, bukan hanya di Jawa tapi juga di Sumatera. Kebanyakan lewat kelompok sandiwara.
Usmar Ismail, Cornel Simanjuntak, Djajakusumah, Soerjosumanto, dan lain-lain, mendirikan perkumpulan Seniman Merdeka. Mereka menguasai Pusat Kebudayaan, berkeliling memberi penerangan pada rakyat, ikut di medan perang. Di Sumatera Barat, Sjamsoedin Syafei menggerakkan kelompok Ratu Asia.
Studio film Jepang Nippon Eigha Sha direbut dengan kekerasan oleh kelompok pribumi, di bawah pimpinan RM Soetarto. Lahir kemudian Berita Film Indonesia atau BFI.
Di Yogyakarta, pada tahun 1946, dirintis sekolah film Cine Drama Institute atau CDI, antara lain oleh Djamaluddin Malik dan Mr Soedjarwo. Lalu muncul sekolah film KDA, dirintis Huyung, Sri Murtono, Trisno Soemardjo, Kusbini, dan lain-lain.
Mereka juga mendirikan Stichting Hiburan Mataram, yang pada tahun 1950 melahirkan film Antara Bumi dan Langit. Waktu itu, Yogya adalah pusat pemerintahan darurat.
Saat kembali ke Jakarta, setelah mengungsi di Yogyakarta dari 1946, sebagai wartawan yang ikut meliput Perjanjian Renville, Usmar Ismail ditangkap pihak Belanda. Dia bebas tahun 1949.
1950 - 1960
Keluar dari tahanan, Usmar Ismail membentuk Perusahaan Film Nasional Indonesia atau PERFINI. Bersama Djamaluddin Malik, ia juga membentuk Perseroan Artis Film Indonesia atau PERSARI. Dari sinilah lahir film The Long March atau Darah dan Doa, yang syuting pertamanya pada 30 Maret 1950. Peristiwa ini dijadikan Hari Film Indonesia atau hari kelahiran film Indonesia.
Masa-masa berikutnya, perfilman nasional tumbuh dalam semangat idealistis. Film merangkum perjuangan jati diri bangsa, pencerdasan masyarakat, dan nasionalisme industri. Sistem dan infrastruktur mulai tersusun. Tapi di lapangan, film yang lahir justru film-film berkualitas rendah.
Para produser Cina, yang bangkit dari ketertindasan, ramai-ramai membuat film ‘asal menghibur dan laku’. Mereka juga mendatangkan film-film dari Filipina, Malaysia, dan India, yang kemudian menguasai bioskop.
Dr Huyung atau Enatsu Heitaro mulai meneriakkan perlunya Undang-undang Perfilman. Saat itu, organ pemerintah yang berkaitan dengan film hanya Badan Sensor Film. Masyarakat dan pers mulai jengkel karena dominannya film murahan, sementara film-film berkualitas tidak kebagian tempat.
Suasana itulah yang mendorong Djamaluddin Malik dan Usmar Ismail pada tahun 1954 membentuk organisasi Gabungan Producers Film Indonesia, yang kemudian menjadi Perserikatan Producers Film Indonesia, dan belakangan menjadi Persatuan Perusahaan Film Indonesia atau PPFI.
Tahun 1955, pertama kalinya ada Festival Film Indonesia. Hasilnya menuai kontroversi, karena Film Terbaik jatuh pada Lewat Djam Malam karya Usmar Ismail, tetapi Sutradara Terbaik adalah Lilik Soedjio lewat film Tarmina. Sedangkan Aktor dan Aktris Terbaik masing-masing dua orang dari kedua film itu. Mereka adalah An Alcaff dan Abd Hadi, serta Dhalia dan FifiYoung.
Tahun 1956, para wartawan film mendirikan Persatuan Pers Film Indonesia atau PERFEPI. Sementara itu, Soerjosoemanto merintis berdirinya Persatuan Artis Film Indonesia atau PARFI.
Baca lanjutannya: Sejarah dan Awal Mula Perfilman di Indonesia (Bagian 3)