Menurut Peneliti LIPI, Indonesia Perlu Memiliki Polisi Bahasa
https://www.naviri.org/2018/10/polisi-bahasa.html
Naviri Magazine - Dalam keseharian, kita tentu sudah sering menemui orang Indonesia yang berbahasa asing (khususnya Inggris), atau mencampur-campur bahasa dalam percakapan, misalnya memasukkan aneka istilah Inggris ke dalam percakapan bahasa Indonesia. Fenomena semacam itu tidak hanya terjadi di kalangan anak-anak muda, tapi juga ada di kalangan pemerintahan.
Karena latar belakang itu, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menilai perlu dibentuk "polisi bahasa" demi menimbulkan kebanggaan dalam penggunaan bahasa Indonesia, khususnya dalam konteks pelayanan publik. Dengan demikian, pelayanan publik kepada masyarakat akan lebih mengutamakan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Peneliti Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI, Obing Katubi, menjelaskan perlu dibentuk polisi bahasa yang bertugas menegur, memeringatkan, ataupun menghukum kementerian/lembaga yang melakukan pelanggaran bahasa. Sebab, Badan Bahasa pun saat ini tak punya kapasitas untuk melakukan hukuman.
Menurut dia, urgensi menghadirkan polisi bahasa ini sudah dibicarakan sejak 1970-an. Namun, hingga saat ini tidak ada pemecahannya. "Mendesak tidaknya sangat bergantung pada diri kita, apakah kita mengontruksi nasionalisme kita dengan bahasa atau tidak," kata dia di kantor Ombudsman, Jakarta.
Menurut Katubi, bahasa Indonesia merupakan puncak kebudayaan yang berhasil dikonstruksi oleh rakyat Indonesia. Sebab, bahasa Indonesia bisa diterima oleh seluruh rakyat sebagai bahasa persatuan.
Ia menerangkan, perlindungan bahasa Indonsia sudah memiliki payung hukum berupa Undang-Undang yang mengatur juga mengenai penggunaan bahasa daerah dan juga bahasa asing. Namun, UU itu belum diimplememtasikan dengan tegas dalam aturan yang memuat sanksi dan hukumannya.
“Kami selalu mendiskusikan, sebetulnya lembaga apa yang punya wewenang untuk memberikan teguran atau wewenang. Misalnya, Badan Bahasa sendiri tidak punya wewenang untuk itu," kata dia.
Ia mengakui, di beberapa daerah, wewenang itu dilimpahkan kepada kepala daerah. Kendati demikian, pelimpahan itu dengan catatan harus berdasarkan masukan dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).
Namun, ia mengingatkan, dalam peraturan daerah (perda) tidak menyebutkan dengan tegas SKPD yang memiliki wewenang untuk memberikan masukan kepada kepala daerah. Karena itu, pengutamaan bahasa untuk informasi publik dan penggunaan bahasa di ruang publik itu menjadi seperti mandul.
“Sebab, tidak ada lembaga apapun yang secara jelas menyebutkan bisa memberikan teguran atau hukuman terhadap pelanggaran itu," ujar dia.
Katubi mengungkapkan, UU Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, tak ada aturan yang dimaksudkan untuk memberikan sanksi terhadap pelanggaran bahasa. "Mungkin UU Bahasa itu adalah satu-satunya UU yang tidak memberikan hukuman atau sanksi pada pelanggaran penggunaan bahasa. Kalau yang lain kan selalu ada sanksi pelanggarannya," kata dia.