Sejarah dan Awal Mula Perfilman di Indonesia (Bagian 3)
https://www.naviri.org/2018/10/perfilman-indonesia-part-2.html
Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Sejarah dan Awal Mula Perfilman di Indonesia - Bagian 2). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.
Melalui organisasi-organisasi perfilman itu, dilakukan aksi melawan dominasi film impor dari Filipina, Malaysia, dan India. PPFI melakukan aksi tutup studio. Kalangan komunis menuding Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik salah bertindak. Karena, menurut kalangan komunis, penyebab merosotnya film Indonesia adalah produk-produk Hollywood.
Terjadi pertentangan tajam antara orang film yang dilatarbelakangi politik, antara komunis dan non-komunis. Hal inilah yang membuat FFI gagal terselenggara tahun 1957, 1958, dan 1959. Apalagi Djamaluddin Malik dikenai tahanan rumah dalam kasus politik.
Namun, begitu bebas pada tahun 1960, dia membuat FFI yang ke-2. Pemenangnya film Turang, berikut sutradaranya, Bachtiar Siagian, yang justru berhaluan komunis. Tapi di ajang Festival Asia Tokyo, film Turang gagal mendapat penghargaan, sementara artis Suzanna, yang membintangi film Asrama Dara karya Usmar Ismail, meraih penghargaan sebagai Aktris Cilik Terbaik.
1960 - 1970
Era 1960 sampai 1966 adalah masa ketika pergulatan politik ikut mewarnai gerakan kesenian dan kebudayaan, termasuk perfilman nasional.
Setelah ikut membuat film-film ‘asal laku’, di antaranya gaya India berjudul Tiga Dara, Perfini melahirkan film Pedjoeang yang mengantarkan Bambang Hermanto menjadi Aktor Terbaik Festival Moskow tahun 1961.
Tahun 1962, Djamaluddin Malik dan Usmar Ismail bekerja sama dengan produser Filipina, membuat Holiday in Bali, yang merupakan film berwarna pertama. Dilanjutkan kerja sama dengan Singapura, membuat film Bajangan di Waktoe Fadjar. Situasi politik yang panas tak banyak mendorong perkembangan perfilman nasional.
Secara politik, pemerintah merangkul perfilman, dengan dibentuknya Direktorat Film - Departemen Penerangan. Pejabatnya Drs Syuman Djaja, lulusan Akademi Sinematografi Moskow tahun 1965.
Selanjutnya, dibentuk Dewan Produksi Film Nasional atau DPFN, yang menghasilkan sejumlah film percontohan. Film tersebut antara lain Apa Jang Kau Tjari Paloepi karya Asrul Sani, yang pada tahun 1970 menjadi Film Terbaik Festival Film Asia. Itu pertama kalinya film Indonesia mendapat penghargaan di ajang festival internasional.
Tahun 1967, Syuman Djaya, sebagai pejabat pemerintah yang sekaligus pekerja film, mendorong terselenggaranya Pekan Apresiasi Film. Hal itu kemudian dianggap sebagai FFI ke-3. Tidak ada Film Terbaik. Sedangkan Sutradara Terbaik adalah Misbach Yusa Biran, lewat film Di Balik Cahaya Gemerlapan.
1970 - 1980
Tahun 1970, kalangan wartawan melalui PWI Jaya Seksi Film, dipelopori Rosihan Anwar, Harmoko, dan Zulharman, membuat festival bertajuk Pemilihan Best Actor, Actress.
Pada tahun ketiga penyelenggaraan, yakni 1973, bertubrukan dengan FFI yang digelar oleh Yayasan Film Indonesia atau YFI, dengan pelopornya Turino Djunaedi. Dua versi festival ini berlangsung sampai 1975.
Pemerintah akhirnya memaksa versi PWI Jaya Seksi Film diintegrasikan dengan FFI. PWI Seksi Film pun masuk dalam YFI sebagai penyelenggara FFI, yang didukung resmi pemerintah melalui Departemen Penerangan. Setelah itu, FFI berlangsung rutin, dengan ketua penyelenggara bergantian, berasal dari wakil-wakil organisasi perfilman.
Dekade 1970 aampai 1980 merupakan masa terbangunnya pondasi apresiasi yang penuh semangat dari masyarakat, menuju tertatanya infrastruktur perfilman nasional berikut regulasinya. Di masa-masa itu, perfilman Indonesia mencapai puncak kejayaannya, dengan produksi mencapai 100 sampai 120 judul per tahun.
Organisasi-organisasi perfilman bergiat aktif, dengan mendapat dukungan dan fasilitasi dari pemerintah. Ini merupakan hasil rintisan dari Menteri Penerangan Ali Murtopo, yang dilanjutkan oleh Menteri Penerangan Harmoko.
Sistem politik Orde Baru dari satu sisi memberikan peluang bagi film Indonesia untuk tumbuh dan berkembang baik, namun dari sisi lain menggiring perfilman berada dalam posisi berkooptasi dengan kekuasaan. Hal ini mengurangi bobot kemandirian perfilman. Sehingga, ketika politik bergejolak, perfilman Indonesia juga bergejolak, seperti mengulang era 1960-an.
1980 - 1990
Tahun 1981, dibentuk Dewan Film Nasional atau DFN. Setahun berikutnya, tahun 1982, FFI diambil penyelenggaraannya dari YFI oleh Dewan Film Nasional di bawah Departemen Penerangan.
Tahun 1985, FFI ricuh oleh isu korupsi. Tahun 1987, Dewan Film Nasional dan Departamen Penerangan membentuk Panitia Tetap FFI untuk masa kerja 5 tahun. Sampai tahun 1992, masa kerja Pantap FFI habis. FFI 1992 pun menjadi FFI terakhir, sampai 12 tahun kemudian.
Pada tahun berhentinya FFI itulah, lahir dan disahkan Undang-undang No 8 tahun 1992 tentang perfilman. Lahirnya undang-undang perfilman melibatkan berbagai unsur dalam masyarakat, serta melalui rintisan yang panjang, dengan semangat memberikan perlindungan pada perfilman nasional.
Melalui undang-undang perfilman, pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan sekaligus perlindungan pada film Indonesia, yang saat itu didominasi film-film impor.
Kebijakan open air policy melahirkan sejumlah televisi swasta yang memperlakukan film dengan kecenderungan mematikan produksi lokal. Undang-undang inilah yang kemudian mengubah Badan Sensor Film menjadi Lembaga Sensor Film, dan Dewan Film menjadi Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N).
Selain pembentukan institusi perfilman yang sepenuhnya berada di bawah pemerintah, selama satu dekade berikutnya, hingga tahun 2000, pelaksanaan Undang-Undang Perfilman terasa mandul. Dominasi sistem kapitalistik yang mewarnai perfilman dan televisi, memerosokkan film Indonesia ke fenomena film-film bertema seks dan mistik yang berkualitas rendah.
Setelah film-film jenis itu bertahan beberapa tahun, Indonesia akhirnya memasuki zaman yang disebut mati surinya perfilman nasional, ditandai dengan bangkrutnya bioskop-bioskop di berbagai daerah, serta surutnya secara drastis produksi film nasional.
Bantuan pemerintah berupa penggandaan copy film malah memperbanyak film-film bertema seks, dan tidak berpengaruh pada produksi film Indonesia maupun apresiasi masyarakat terhadap film Indonesia.
Upaya-upaya menggerakkan film nasional dilakukan lagi, dengan adanya fasilitas-fasilitas dari pemerintah untuk membuat film berkualitas. Muncul antara lain film Cemeng 2005, Bulan Tertusuk Ilalang, Fatahillah, hingga Daun Di Atas Bantal.
Baca lanjutannya: Sejarah dan Awal Mula Perfilman di Indonesia (Bagian 4)