Mengapa Ada Orang-orang yang Tidak Percaya Pada Sains?
https://www.naviri.org/2018/10/orang-yang-tidak-percaya-sains.html
Naviri Magazine - Sebagian orang percaya bahwa bumi berbentuk bulat, karena ilmuwan menyatakan hal tersebut. Para ilmuwan bersepakat bahwa bumi bebrentuk bulat tentu setelah melakukan penelitian ilmiah. Namun, meski begitu, ada orang-orang yang tidak percaya pendapat ilmiah para ilmuwan, dan lebih percaya bahwa bumi berebentuk datar.
Padahal, ada setumpuk bukti bahwa bumi memang berbentuk bulat. Namun, orang-orang yang percaya bumi berbentuk datar tidak mau percaya bukti-bukti itu, dan malah menyodorkan bukti-bukti milik mereka sendiri, yang belum tentu ilmiah.
Mengapa ada orang-orang yang sepertinya sulit menerima atau tidak percaya pada sains?
Pilihan seseorang untuk mempercayai sains bisa dipengaruhi oleh latar sosial dan emosi. Khazanah neurosains modern menyebut kecenderungan itu sebagai penalaran termotivasi. Penalaran tak bisa dipisahkan dari pengaruh emosi, bahkan penilaian emosional kita tentang orang, benda, dan ide, muncul jauh lebih cepat ketimbang rasionalitas. Itu sudah tertanam dalam benak manusia sebagai salah satu kemampuan dasar bertahan hidup.
“Itu tidak mengherankan, evolusi menuntut kita bereaksi sangat cepat terhadap rangsangan di lingkungan kita. [...] Kita tak hanya didorong oleh emosi, tentu saja—secara sadar kita juga menalar. Tetapi penalaran muncul belakangan, dan bekerja lebih lambat, itu pun tak terjadi dalam kekosongan emosional,” tulis jurnalis sains Chris Mooney, dalam “The Science of Why We Don’t Believe Science” yang tayang di laman Mother Jones.
Penyangkalan seseorang atas konsensus ilmiah pun sebenarnya tak terlalu berkait dengan tingkat pendidikan atau literasi. Penulis sains, Joel Achenbach, menyitir riset Profesor Dan Kahan dari Yale Law School untuk menjelaskan soal ini.
Profesor Kahan bertanya kepada 1.540 orang Amerika soal penilaian mereka tentang ancaman perubahan iklim. Jawabannya lalu dikaitkan dengan kemelekan sains masing-masing dari mereka. Hasilnya: kemelekan sains yang tinggi berkelindan dengan pendapat yang lebih kuat, baik di kubu penolak maupun penerima perubahan iklim.
Jelasnya, baik mereka yang menolak kenyataan perubahan iklim maupun yang menerima sama-sama memanfaatkan sains untuk memperkuat keyakinannya. Karenanya, menangkis argumen dengan menyodorkan bukti-bukti saintifik tidak akan mempan. Alih-alih membuat seseorang berubah pikiran, upaya seperti itu justru malah memicu backfire effect.
Menurut Profesor Kahan, musabab seseorang bersikukuh pada keyakinannya adalah motivasi untuk mempertahankan lingkaran sosialnya. Hal ini berlaku sama bagi kubu penerima sains maupun penyangkalnya. Seseorang lebih takut kehilangan teman yang sepaham ketimbang mengoreksi keyakinannya.
“Kita meyakini gagasan ilmiah bukan karena telah benar-benar memeriksa semua bukti, tetapi karena adanya kedekatan dengan kalangan ilmuwan. [...] Percaya pada evolusi sebenarnya gambaran tentang diri Anda. Bukan cara pikir Anda,” tulis Kahan.
Baca juga: Skandal dan Asal Usul Munculnya Gerakan Anti-Vaksin