Kisah Orang-orang yang Menjadikan Penyakit Sebagai Tipuan
https://www.naviri.org/2018/10/menjadikan-penyakit-sebagai-tipuan.html
Naviri Magazine - Ada orang-orang yang sebenarnya sehat, dalam arti tidak memiliki penyakit apa pun, tapi ke mana-mana bertingkah seperti orang yang punya penyakit serius. Tidak hanya itu, mereka juga kadang sampai mendatangi dokter dan rumah sakit, demi meyakinkan diri sendiri dan orang-orang lain bahwa mereka sakit atau mengidap penyakit tertentu.
Richard Asher, peneliti kesehatan mental di Inggris, pada 1951 menuliskan dalam jurnal The Lancet, tentang tiga pasiennya yang selalu datang dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain, menganggap diri mereka sakit.
Asher menyebut pasiennya terkena Manchausen Syndrome. Sindrom itu, oleh American Psychiatric Association’s Diagnostic dan Statistical Manual of Mental Disorders, sekarang dikategorikan dalam factitious disorder (gangguan buatan), yakni kondisi seseorang menipu orang lain dengan menunjukkan bahwa dia sakit, cacat, atau terluka dengan berpura-pura, sengaja sakit, atau melukai diri sendiri.
Sementara Live Science melaporkan, Dina Leone, perempuan asal Baltimore, AS, mengirim kabar mengejutkan pada 2008: dia mengaku mengidap kanker perut. Untuk menyampaikan perkembangan penanganan penyakitnya, Leone menyampaikan lewat tulisan di blog dan Facebook. Kisah perempuan itu pun menuai simpati. Leone dapat kiriman kartu ucapan cepat sembuh dan uang.
Namun, hasil penyelidikan kepolisian mengungkap tidak ada rumah sakit yang mencatatnya sebagai pasien. Pada akhirnya, Leone mengaku telah berpura-pura sakit selama lebih dari 3 tahun.
Lain lagi dengan cerita Teresa Milbrandt yang terungkap pada 2002. Menurut Guardian, Teresa berkata kepada keluarga dan rekannya bahwa anaknya, Hannah Milbrandt, terjangkit kanker.
Tapi itu hanya kabar palsu. Justru Teresa yang membuat anaknya seperti orang sakit. Teresa mencukur rambut Hannah agar mirip seperti orang yang terkena efek samping kemoterapi, menyuruhnya mengenakan masker seolah-olah sistem imunnya melemah, dan menenggakkan obat tidur kepadanya. Hannah juga terus diyakinkan bahwa dia akan segera meninggal dunia.
Yang dilakukan Teresa itu dapat dikategorikan sebagai Manchausen by Proxy Syndrome (MbPS). Kasus itu pertama kali dideskripsikan peneliti kesehatan Jiwa Roy Meadow pada 1977. Secara gejala, MbPS mirip dengan Sindrom Manchausen. Bedanya, seseorang yang mengidap MbPS tidak mengarang cerita tentang dirinya, melainkan anak atau orang terdekatnya.
Dalam "Monsters in the Closet: Munchausen Syndrome by Proxy" (2010), Laura Criddle menyebut MbPS sebagai bentuk kekerasan terhadap anak dengan cara berbeda. Orang tua pelaku kekerasan terhadap anak biasanya takut mengobati anaknya. Pada kasus MbPS, orang tua malah tidak mau si anak menghentikan pengobatan, atau membuat sakit si anak sakitnya seolah tidak sembuh-sembuh.
Semakin banyak pengguna media sosial, juga membuat kasus Sindrom Munchausen semakin beragam. Pada Juni 2016, Washington Post melansir cerita Emily Dirr, mahasiswa kedokteran yang tinggal di Ohio, AS. Selama 11 tahun, Dirr membuat akun dan unggahan Facebook palsu, serta penggalangan dana virtual untuk yayasan anak penderita kanker.
Kisahnya yang paling terkenal soal pasangan suami-istri John "J.S" Dirr dan Dana. Keduanya punya 10 anak, salah satunya bernama bernama Cliff Elias. Umurnya 5 tahun dan dia menderita kanker. Pada Hari Ibu 2012, mobil yang ditumpangi Dana kecelakaan. Sebelum meninggal, Dana sempat melahirkan anak ke-11, Evelyn Danika.
"Unggahan J.S. yang memilukan menggambarkan perjuangan istrinya untuk hidup, dan kematiannya akhirnya menjadi viral, dan curahan simpati dan dukacita dari ribuan orang asing, termasuk banyak orang tua anak-anak dengan kanker, datang membanjir," kisah Meeri Kim di Washington Post.
Namun, John "J.S" Dirr, Dana, dan 11 anaknya itu tidak ada. Emily Dirr mengarang semua cerita itu. Kasus ini masuk dalam Munchausen Syndrome by Internet.
“Sebenarnya, Munchausen Syndrome by Internet kini menjadi lebih umum daripada sindrom Munchausen kehidupan nyata karena sangat mudah dilakukan. Dulu, pasien Sindrom Munchausen yang harus pergi ke perpustakaan medis, meneliti penyakit yang akan mereka mainkan dan pergi ke klinik dokter untuk memeriksakan kembali gejala-gejalanya,” kata Marc Feldman.
Marc Feldman merupakan psikiater klinis yang berkantor di University of Alabama. Pada 2000, dia menciptakan istilah "Munchausen by Internet". Menurut Feldman, pengidap Sindrom Munchausen dapat bergerak secara online dan menipu ratusan atau ribuan orang.
Survei terhadap 109 doktor penulis makalah di jurnal Psychosomatics pada 2007 menyebutkan komposisi pasien penderita factitious disorder alias gangguan bantuan yang mereka tangani sebanyak 1,3 persen. Namun, prevalensi Munchausen Syndrom by Internet sulit diukur karena begitu luasnya dunia maya dan penggunaan anonimitas di dalamnya.