Komentar Kasar di Medsos Bisa Membuat Pelakunya Kena PHK
https://www.naviri.org/2018/10/komentar-kasar-di-medsos.html
Naviri Magazine - Kita hidup di era media sosial, ketika segala aktivitas dan yang ada di pikiran kita seolah tumpah semua ke media sosial. Orang sering memanfaatkan media sosial untuk menyampaikan pengalamannya, uneg-unegnya tentang sesuatu, sampai merespons banyak hal yang berseliweran di linimasa.
Dalam aktivitas bermedia sosial, penting untuk selalu ingat bahwa segala yang kita tulis di sana bisa menimbulkan masalah, jika kita tidak hati-hati. Di Belanda, misalnya, jejak komentar di media sosial yang kurang patut dapat berujung pada hilangnya pekerjaan.
Peringatan itu disampaikan Prof. Stefan Sagel, advokat dan Guru Besar Arbeidsrecht (Hukum Ketenagakerjaan) pada Universitas Leiden, dalam wawancara di Algemeen Dagblad.
“Kita hidup dalam realita baru, di mana segala sesuatu (jejak perbuatan) tidak hilang,” ujar Prof. Sagel.
Prof. Sagel menjelaskan bahwa dulu di dalam kedai seseorang bisa dengan leluasa melontarkan gurauan paling tidak layak sekalipun, namun kini segala sesuatu yang ditempatkan secara online tidak akan pernah lenyap selamanya.
Contohnya, seorang guru sejarah di Belanda dipecat gara-gara komentarnya yang bermuatan radikal kanan di internet beberapa tahun silam. Seorang kondektur trem dipecat karena komentarnya yang rasistis. Seorang karyawan jaringan ritel Blokker juga dipecat karena komentar yang mencoreng nama baik perusahaan.
Menurut Prof. Sagel, penggunaan media sosial saat ini memang hot item dalam Hukum Ketenagakerjaan. Pada satu sisi, karena masalah hukum selalu menarik perhatian media, pada sisi lain hal tersebut juga umum dikenali dalam kehidupan sehari-hari, dan menyentuh masyarakat yang semakin terpolarisasi, sering kali terkait apa yang patut dan tidak patut disampaikan.
“Saat ini telah sedemikian terkristalisasi bahwa mencemarkan nama baik, menghina atasan, kolega, atau membuka rahasia perusahaan, dapat menjadi alasan untuk pemutusan hubungan kerja,” jelas Prof. Sagel.
Karena berkaitan dengan hubungan otoritas, perusahaan berhak menuntut sikap perilaku tertentu, bahkan dapat melarang dan menagih sikap ‘ketenagakerjaan yang baik’. Meskipun demikian, komentar-komentar online yang tidak berkaitan dengan pekerjaan pun dapat berujung pada pemecatan juga.
Sekilas, hal itu seolah-olah terjadi tubrukan antara hak-hak asasi seperti kebebasan mengeluarkan pendapat, dan hak atas privasi. Memang berimpitan, itulah yang membuat isu ini juga menarik.
Dalam amar vonis hakim mengenai kasus seorang guru sejarah, tercantum dengan jelas, “Apa yang telah dilakukan, tak bisa dihapuskan.” Dalam hal ini, hakim dengan tegas menekankan bahayanya media sosial.
“Jangan taruh rahasia perusahaan, pencemaran nama baik di internet, apalagi dapat diakses oleh publik. Jika pun ingin menulis sesuatu secara online, endapkan semalam. Pikir dahulu sebelum berbuat, itu yang ingin saya tekankan,” demikian Prof. Sagel.
Baca juga: Suka Marah-marah di Twitter Berisiko Terkena Serangan Jantung