Kisah Kebangkitan Jepang Setelah Hancur oleh Gempa Bumi
https://www.naviri.org/2018/10/kisah-kebangkitan-jepang-setelah-hancur-karena-gempa.html
Naviri Magazine - Jepang adalah salah satu negara yang sangat rawan terkena bencana alam, khususnya gempa bumi dan tsunami. Bahkan istilah “tsunami” pun berasal dari Jepang. Karenanya, dari waktu ke waktu, pemerintah Jepang beserta masyarakatnya berupaya menghadapi gempa demi gempa yang bisa datang kapan saja.
Beberapa gempa kadang tak seberapa, namun ada pula gempa yang sangat besar, diikuti tsunami yang meluluhlantakkan Jepang.
Tujuh tahun silam, misalnya, gempa besar dan tsunami mengguncang Jepang. Waktu itu, gempa berkekuatan lebih dari 9,0 SR menghantam wilayah pantai timur laut. Gempa mengakibatkan dua bencana susulan sekaligus: tsunami dan hancurnya reaktor nuklir di Fukushima.
Berdasarkan laporan The National, jumlah korban tewas di 12 prefektur mencapai 15.895 orang. Sedangkan 2.539 orang masih belum ditemukan serta puluhan ribu orang tinggal di pemukiman sementara.
Bencana alam tersebut meninggalkan luka mendalam bagi warga Jepang. Duka dan tangis mengiringi hari-hari mereka, menyaksikan anggota keluarganya tersapu ombak maupun tempat tinggalnya remuk tanpa sisa.
Tapi, Jepang segera bangkit dari keterpurukan. Bagi mereka, bangkit merupakan salah satu cara agar harapan terus menyala.
Tak lama usai gempa dan tsunami dahsyat menghancurkan Jepang, pemerintah langsung ambil sikap dengan mengeluarkan kebijakan 10 tahun rekonstruksi pasca-gempa. Tujuannya, mengutip Japan Times, “membangun kembali infrastuktur yang rusak di timur Jepang.”
Selain itu, pemerintah juga ingin mempromosikan perencanaan tata kota yang tahan terhadap bencana alam. Total dana yang dikeluarkan hampir menyentuh 32 triliun yen.
Langkah pemerintah membuahkan hasil. Sebagaimana diwartakan The Kahoku Shimpo, per Desember 2017, sekitar 77% perumahan sudah dibangun di tiga prefektur yang paling parah terkena dampak tsunami: Fukushima, Miyagi, dan Iwate. Sebanyak 1.074 dari 1.100 (atau hampir 98%) sekolah di tiga prefektur tersebut juga telah dibuka kembali pada Desember 2016.
Perkembangan memuaskan bisa dilihat pula dari berfungsinya lagi pelabuhan perikanan di Iwate dan Miyagi. Di kawasan Miyagi, sebanyak 93% lahan pertanian yang mulanya remuk, sudah berhasil diperbaiki.
Dari segi pariwisata, kondisinya juga berangsur membaik. Di dua kawasan, Miyagi dan Iwate, tingkat kedatangan wisatawan mencapai 90%. Masyarakat pun merasa bahwa mereka mampu mendapatkan mata pencaharian kembali selepas bencana tsunami.
Laporan yang sama memperlihatkan bencana tsunami telah mendorong publik untuk lebih waspada. Dari jajak pendapat yang dilakukan, sekitar 83,1% penduduk setempat telah mengambil langkah-langkah antisipasi apabila gempa dan tsunami terjadi lagi di masa depan.
Berbeda dengan Miyagi dan Iwate, upaya rekonstruksi pasca-tsunami di prefektur Fukushima masih kerap terganjal—atau belum maksimal. Pasalnya, tak sekadar tsunami saja, wilayah ini juga terpapar radiasi nuklir cukup parah akibat rusaknya pembangkit di sana, imbas dari munculnya gempa.
Tentu, progres pembangunan yang dicapai Jepang usai disapu tsunami tak bisa dilepaskan dari sikap masyarakatnya yang sudah seperti menyatu dengan bencana ini. Tsunami, yang berarti “gelombang di pelabuhan” menghantam Jepang sejak abad 15. Kala itu, tsunami menyapu daerah Kamakura, kota di selatan Tokyo. Dua abad berikutnya, pada 1707, tsunami lagi-lagi menerjang pulau Shikoku yang menewaskan ribuan orang.
Sadar bahwa negaranya berpotensi kerap disambangi tsunami, langkah pencegahan sekaligus penanggulangan dilakukan masyarakat—dan pemerintah—sejak dini. Salah satunya adalah soal mitigasi.
Di Jepang, anak-anak sekolah diajari cara mengorganisir diri ketika sinyal peringatan tsunami menyala. Siswa yang lebih tua juga membantu yang lebih muda ketika menuju daerah yang lebih tinggi untuk menghindari gelombang.
Dilansir dari Japan Times, Toshitaka Katada, profesor teknik sipil di Gunma University yang mengawasi program pendidikan bencana di Kamakura, mengatakan bahwa latihan berulang-ulang saat tidak ada bencana telah sukses membuat siswa bertindak cepat dan tertib dalam keadaan darurat.
Tak lupa, anak-anak diajari agar tidak bergantung pada lokasi yang dipetakan semata, mengingat bencana bisa saja datang dari luar lokasi yang telah diprediksi.
Selain itu, beberapa wilayah pesisir Jepang dilengkapi tempat perlindungan tsunami, sementara beberapa lainnya membangun pintu air untuk mengontrol aliran air dari tsunami. Kemudian, sejak 1952, Badan Meteorologi Jepang (JMA) mengoperasikan Layanan Peringatan Tsunami, sebuah sistem yang akan mengirimkan peringatan tsunami dalam tiga menit pertama setelah gempa.
Berdasarkan situs resminya, JMA memiliki 200 seismograf dan 600 alat meter intensitas seismik, ditambah 3.600 alat meter intensitas seismik yang dikelola pemerintah lokal, bersama Institut Riset Nasional untuk Ilmu Bumi dan Pencegahan Bencana (NIED).
Data lalu dikumpulkan dari perangkat-perangkat tersebut, kemudian dikelola oleh Sistem Pengamatan Fenomena Gempa Bumi (EPOS) yang berpusat di Tokyo. Sistem tersebut juga terintegrasi dengan stasiun televisi nasional NHK. Data mengenai kekuatan gempa segera muncul di siaran televisi, lengkap beserta informasi potensi tsunami.
Baca juga: Gempa Valdivia, Gempa Bumi Terbesar Sepanjang Sejarah