Venezuela, Negara yang Hampir Mati Akibat Utang dan Inflasi
https://www.naviri.org/2018/09/venezuela-negara-yang-hampir-mati.html
Naviri Magazine - Kenyataannya, uang telah menjadi semacam nyawa bagi kehidupan banyak orang, termasuk bagi kehidupan sebuah negara. Ketika uang mengalami masalah, misalnya inflasi, kehidupan banyak orang akan terdampak. Semakin tinggi tingkat inflasi, semakin besar pula dampak yang ditimbulkan. Setidaknya, kita bisa menyaksikan kenyataan itu di Venezuela.
Sudah lebih dari setahun ekonomi Venezuela sekarat. Harga minyak mentah dunia jatuh, produksi minyak dalam negeri berkurang, serta kasus-kasus kesalahan pengelolaan ekonomi, membuat negara yang kaya minyak itu terbelit krisis.
Hiperinflasi mencekik. Harga-harga melejit. Mata uang bolivar berdaulat ("bolivar soberano") rontok dan tak berharga. Pada 22 Agustus lalu, BBC melaporkan 1 dolar AS kini bernilai 6,3 juta bolivar. Untuk mendapatkan barang-barang pokok tertentu, masyarakat harus membawa bergepok-gepok bolivar. Uang yang diperlukan untuk membeli barang jauh lebih berat ketimbang barang yang ingin dibeli.
Harga selembar popok bayi mencapai 8 juta bolivar; 1 kilogram keju dihargai 7,5 juta bolivar; sekilo tomat bisa ditebus dengan 5 juta bolivar; sebungkus pembalut wanita dibandrol 3,5 juta bolivar; 1 kilogram beras terbeli dengan 2,5 juta bolivar; 3 juta bolivar untuk 10 batang wortel; 9,5 juta bolivar untuk 1 kg daging merah; satu ekor daging ayam seberat 2,4 kilogram seharga 14,6 juta bolivar; 2,6 juta bolivar untuk segulung tisu toilet.
“Kami jutawan, tapi kami miskin,” ujar Maigualida Oronoz, perawat berusia 43 tahun, kepada Guardian. Ia mengaku upah minimumnya hampir tidak cukup untuk membeli satu kilogram daging. Padahal, anak-anaknya butuh makan.
"Jika krisis ini terus berlanjut dan pemerintah masih membayar uang pensiun dalam bentuk cash, maka di akhir tahun saya harus bawa gerobak untuk beli satu barang kebutuhan pokok," ujar Saul Aponte, pensiunan berusia 73 tahun, kepada Guardian.
Sejumlah toko dan supermarket di Caracas kehabisan barang. Rak-rak dibiarkan kosong. Para pegawai toko resah. Masa depan mereka tak jelas.
“Kami sedang menunggu pemilik toko untuk memberi tahu kami, apa yang akan dia lakukan terhadap kami, [karena saat ini] tidak ada seorang pun di sini yang mampu membayar karyawan,” ujar Mariette Guerrero, manajer salah satu toko yang berjualan di Caracas, kepada The New York Times.
Untuk menanggulangi krisis, pemerintah setempat mencetak mata uang baru, yakni bolivar berdaulat, dan meredenominasi nilai mata uang menjadi lebih kecil tanpa mengubah nilai tukarnya pada uang yang berlaku. Namun, sehari setelah kebijakan itu berlaku, masyarakat malah kebingungan menukar mata uang bolivar yang beredar ke bolivar berdaulat.
“Aku bahkan tidak bisa memahami angka-angka ini. Putriku memberikan aplikasi konversi uang. Dia memperagakan cara penggunaannya, tapi kami gagal paham ketika angka yang kami masukkan sangat besar,” kata Rosa Peña.
Langkah pemerintah Venezuela tersebut dikritik oleh Asdrubal Oliveros, Direktur Ecoanalitica, konsultan ekonomi yang berbasis di Caracas. Menurutnya, inflasi yang bergerak liar membuat langkah itu tidak akan mengubah apa-apa.
“Ini solusi kosmetik yang takkan mengubah apa-apa […] dalam beberapa bulan lagi kami akan balik lagi ke situasi yang sama akibat inflasi liar ini,” tuturnya.
Tahun lalu, hiperinflasi Venezuela beriringan dengan krisis politik yang sempat menggoyang pemerintahan Nicolas Maduro. Oposisi di kota-kota terus bergerak menuntut Maduro mundur. Setelah krisis diselesaikan dengan mekanisme referendum konstitusi, kini Venezuela harus berurusan dengan gelombang pengungsian penduduknya ke negara-negara tetangga.
Baca juga: Kisah Inflasi Parah yang Pernah Merusak Zimbabwe