Sebelum Ada Instagram, Orang Kuno Pamer Kekayaan Lewat Lukisan
https://www.naviri.org/2018/09/sebelum-ada-instagram.html
Naviri Magazine - Instagram kerap dianggap sebagai media sosial yang identik dengan pamer kekayaan. Kenyataannya memang banyak orang yang hobi memamerkan harta benda mereka lewat foto-foto, yang diunggah di media sosial tersebut.
Bahkan, di Instagram ada fenomena yang disebut Rich Kids of Instagram, sebutan untuk anak-anak orang super kaya yang eksis dan terkenal di Instagram.
Jika anak-anak orang kaya di zaman sekarang suka pamer lewat Instagram, bagaimana dengan anak-anak orang kaya zaman dulu? Apakah mereka juga suka pamer?
Adam Stoneman pernah menyinggung fenonema tersebut di majalah Jacobin. Ia mengutip isi buku kritikus seni, John Berger, Ways of Seeing (1990), yang menunjukkan bahwa hobi mengabadikan gaya hidup glamor telah dilakukan anak-anak keluarga borjuis di Eropa di abad ke-17 dan ke-18.
Motifnya sama. Masih di seputaran rasa sombong serta dalam rangka penegasan status, gengsi, dan privilese. Mediumya saja yang berubah. Jika kini para pelaku memakai Instagram, dulu mereka memakai lukisan minyak.
Berger mencatat, anak-anak borjuis Eropa itu kecipratan harta yang didapat oleh orang tua mereka melalui ekspansi perdagangan hingga ke wilayah koloni. Mereka diberi modal untuk jalan-jalan keliling Eropa, terutama ke Perancis dan Italia.
Niatnya adalah pencarian akar kebudayaan Eropa dalam bentuk musik, makanan, lukisan, pahatan, dan lain sebagainya. Sesekali mereka berpesta pora, menikmati seks, sambil mabuk-mabukan secara liar. Durasinya bisa berlangsung selama bertahun-tahun, dan amat bergantung pada dana tak terbatas yang dikirim sang ayah.
Lukisan yang mereka pesan berlatar petualangan glamor tersebut, yang tentu saja tak bisa diakses orang-orang kelas bawah. Dengan demikian, Berger berupaya melihat sisi politis di balik lukisan-lukisan klasik. Ia sadar bahwa karya seni punya kisah tersendiri, yang berkaitan dengan latar belakang sosial dan ekonomi sang pemesan.
Spiritnya sama, mediumnya beda
Stoneman, melalui analisis yang disampaikan Berger di bukunya, kemudian membuat perbandingan dalam rangka membedah makna simbolis atas objek-objek yang ditampilkan para pelaku konsumsi mencolok, antara yang hidup di era sekarang, dengan yang hidup di Eropa abad ke-17 dan 18.
Contoh yang ia pakai adalah foto Instagram Anton Thunberg, anak seorang milyarder Swedia. Thunberg pernah menunjukkan diri sedang berada di bak mandi sambil memegang tiga botol sampanye, yang totalnya hampir tujuh liter. Ketiganya bermerek Veuve Clicquot, Moët, dan Dom Pérignon.
Thunberg tidak hanya pamer minuman. Ia juga menggigit ujung American Express Gold Card. Di tangannya melingkar jam Rolex. Semua bawaan Thunberg adalah barang-barang yang terlalu ganjil untuk diboyong orang ke sebuah bak mandi yang hampir terisi penuh oleh air.
“Tapi foto tersebut bukan soal selera atau kenikmatan. Ini soal tontonan tentang kesenangan. Tentang kepuasan. Kepuasan [Thunberg] tidak berasal dari minuman keras itu sendiri, tapi dari informasi yang disadari penglihatnya: bahwa ia [Thunberg] mampu memilikinya,” tulis Stoneman.
Sampanye prestisius, jam tangan mahal, dan kartu kredit edisi terbatas itu sendiri menunjukkan eksklusivitas, yang hanya bisa diakses oleh orang berduit seperti keluarga Thunberg.
Kondisi salah satu botol yang sudah terbuka tutupnya serta sebagian isinya tertumpah ke bak juga menjadi simbol konsumsi mencolok di level lain. Thunberg seakan berkata: “Minuman yang bagimu bernilai tinggi ini justru bagiku bernilai rendah. Saking rendahnya, lihatlah, aku sampai menumpah-numpahkannya!”
Stoneman membandingkan foto Thunberg dengan salah satu karya Bartolome Esteban Murillo, pelukis Barok Spanyol yang berkarya sepanjang tahun 1650-an. Judulnya “Young Man Drinking”.
Lukisan tersebut menunjukkan seorang anak muda yang berpose duduk santai. Tangan kiri yang disandarkannya pada meja terlihat memeluk botol anggur besar. Ia sedang menyisip, mencicipi anggur memakai tangan kanan, dengan sorot mata melirik tajam ke arah sang pelukis.
Seperti Tundberg, ukuran botol menunjukkan ia mampu mereguk minuman dambaan orang banyak dengan volume besar. Ia orang kaya yang menikmati anggur dengan bahagia. Penegasan simbolis lain terdapat karangan daun anggur yang dipasang di kepala, menunjukkan bahwa ia adalah pengikut Bacchus, sang Dewa Anggur dalam mitologi Romawi.
Stoneman membuat perbandingan lain terkait foto koleksi uang dolar AS, dan kartu kredit emas Tundberg serupa dengan lukisan barang-barang berharga karya pelukis Eropa abad ke-15. Keduanya mengandung pesan simbolis, yang lagi-lagi berkaitan dengan kekayaan pribadi.
Keduanya kembali menegaskan bahwa kelakuan borjuis era lampau dan sekarang spiritnya sama. Cuma mediumnya saja yang berbeda.
Baca juga: Internet dan Media Sosial Membuat Kita Tidak Bahagia