Negara-negara Dunia yang Paling Rentan Terkena Krisis
https://www.naviri.org/2018/09/negara-negara-dunia-yang-paling-rentan-krisis.html
Naviri Magazine - Krisis ekonomi sedang menjadi isu besar saat ini, khususnya setelah Venezuela mengalami krisis yang sangat parah. Di Indonesia, isu mengenai krisis ekonomi juga mengemuka, seiring dengan makin merosotnya nilai rupiah dibanding dolar. Bagaimana nasib negara-negara dunia ke depan, terkait krisis yang sekarang sedang terjadi?
Selama satu dekade ke belakang, pasar keuangan negara berkembang memperoleh aliran dana segar murah dari investor global. Namun, kondisi saat ini berbalik arah karena investor mulai menarik dananya.
Kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat (the Federal Reserve), dan eskalasi perang dagang Amerika-China, menjadi sentimen awal larinya aliran dana dari pasar uang di negara berkembang ke negara yang aman untuk berinvestasi.
Dilansir dari CNN, mata uang Turki (lira) dan Argentina (peso) mengalami depresiasi luar biasa, di saat bersamaan pasar saham China juga turun drastis. Persoalan utama yang memicu mudahnya lalu lintas arus dana ialah rendahnya tingkat suku bunga yang kini mulai merangkak naik.
"Sabuk mulai diperketat, dan beberapa negara akan atau sedang ditelanjangi (dengan keluarnya arus modal/capital outflow)," ungkap Kepala Startegi Pasar Negara berkembang dari Societe Generale, Jason Daw.
Dampak dari dua sentimen ini, negara ekonomi berkembang akan sulit bangkit dalam waktu dekat. Bank Sentral AS diproyeksikan akan tetap menaikkan suku bunga acuan. Naiknya suku bunga mengindikasikan keyakinan bahwa ekonomi AS telah membaik, yang kemudian membuat pasar saham Negeri Paman Sam ikutan menguat.
Sebaliknya, berakhirnya dekade aliran dana asing ke negara berkembang, dan di saat bersamaan terjadi perang dagang telah membuat pusing berbagai negara.
Naiknya suku bunga membuat dolar AS menguat, hal ini selanjutnya menambah beban bagi negara seperti Turki, yang utang luar negerinya berdenominasi dolar. Saat bersamaan, naiknya suku bunga membuat dana asing kembali ke AS.
Namun, tidak semua pasar di negara berkembang merasakan dampak larinya arus modal. Korea Selatan dan Thailand dipandang mampu bertahan dari badai keuangan ini. Kemampuan Thailand mengatasi gejolak mata uang, berbanding terbalik saat terpukul krisis keuangan di Asia pada periode 1997-1998.
Negara lain, Turki, mengalami gejolak mata uang. Bank Sentral Turki terpaksa harus menaikkan suku bunga acuan untuk menghentikan depresiasi lira. Pada waktu berdekatan, Bank Sentral Argentina juga menaikkan suku bunga hingga 60 persen.
Bank Sentral Rusia, yang terpukul akibat sanksi ekonomi AS, menaikkan suku bunga untuk pertama kalinya sejak 2014. Afrika Selatan juga melakukan hal serupa, yakni menyesuaikan suku bunganya.
Daw menerangkan indikator untuk negara yang rentan terkena badai krisis mata uang. Pertama, negara tersebut umumnya memiliki utang dalam valuta dolar dan akan segera jatuh tempo. Kedua, negara tersebut memiliki rasio utang yang tinggi dan rendahnya aliran modal masuk. Terakhir, negara terdampak saat ini menjalani defisit perdagangan dan anggaran.
Siapa negara yang masuk kategori rentan ini?
Daw menyebut Turki, Afrika Selatan, Malaysia, India, dan Indonesia, sebagai negara paling rentan terkena dampak kebijakan suku bunga AS dan perang dagang.
"Ketidakberesan aliran modal murah satu dekade terakhir saat ini mulai terkuak," ungkap Daw.
Baca juga: Berdasarkan Studi, Penduduk Bumi Benar-benar Tidak Bahagia