Internet dan Media Sosial Membuat Kita Tidak Bahagia
https://www.naviri.org/2018/09/media-sosial-membuat-kita-tidak-bahagia.html
Naviri Magazine - Kehadiran internet telah memudahkan banyak urusan manusia. Dari mendapatkan berita, mencari informasi tertentu, dan lain-lain. Sementara keberadaan media sosial, yang ada di internet, difungsikan untuk mempertemukan orang-orang untuk berinteraksi dan berkomunikasi. Sekilas, internet dan media sosial memiliki manfaat atau dampak positif. Sayangnya, yang terjadi tidak pasti seperti itu.
Dalam berbagai studi, diketahui bahwa internet justru punya andil dalam proses keterasingan dan kesepian yang dialami manusia. Media sosial, mulai dari Facebook hingga Twitter, kata Stephen Marche, penulis dari The Atlantic, membuat kita mampu berjejaring dengan banyak orang. Tapi dengan segala kemudahan dan konektivitas yang ada ini, media sosial membuat kita lebih kesepian.
Segala kesepian inilah yang membuat manusia menjadi semakin mudah depresi dan mudah sakit. Sebuah gejala epidemik kesepian karena teknologi mulai muncul dan pelan-pelan memangsa masyarakat kita.
John Cacioppo, direktur Center for Cognitive and Social Neuroscience di University of Chicago, adalah pakar tentang kesepian. Dalam jurnal yang berjudul Loneliness (2008), ia menjelaskan tentang gangguan kejiwaan yang disebutnya epidemik kesepian.
Epidemik ini mengganggu kemampuan manusia untuk berfungsi secara sosial. Ia meneliti tingginya kandungan epinephrine dan hormon stres dalam air seni orang-orang yang kesepian.
Cacioppo secara khusus meneliti dan menelaah bagaimana relasi antara ketergantungan terhadap komunikasi dan internet dengan kesepian yang dialami oleh manusia.
“Ketika kami mengambil sampel darah dari pria dewasa dan menganalisanya, kami menemukan bahwa kesepian entah bagaimana menembus bagian paling dalam sel dan mengubah bagaimana gen terbentuk,” jelasnya. Kesepian dan kesunyian tidak hanya memengaruhi otak, tapi juga proses transkripsi DNA.
Internet bagi banyak orang adalah bentuk lain relasi dan keintiman. Cacioppo menjelaskan bahwa relasi di internet serupa dengan relasi yang dibentuk dengan hewan atau Tuhan dalam ritus agama. Semua dilakukan untuk mengisi kekosongan dan kesepian yang dimiliki manusia.
“Tapi pengganti tak akan pernah bisa menggantikan kehampaan akan sesuatu yang nyata,” kata Cacioppo. Menurutnya, relasi fisik antar manusia adalah bentuk komunikasi paling nyata.
Sementara Sydney Engelberg PhD, seorang profesor psikologi dan pengajar di Hebrew University Jerusalem, berpandangan relasi di media sosial merupakan cerminan bagaimana hidup seseorang. Dalam tiga artikel panjang tentang media sosial dan kesepian, Engelberg menjelaskan insting dasar manusia sebagai mahluk sosial.
Menurutnya, manusia berusaha untuk dapat diterima, menjadi bagian dari sesuatu, dan yang paling penting merasa dibutuhkan oleh orang lain. Sayangnya, media sosial lebih sering membuat manusia mengalami frustasi dan terasing dalam hidupnya.
Paradoks utama media sosial adalah ia menghubungkan banyak orang dalam waktu yang singkat, tapi kerap kali para pelakunya merasa kesepian. Mengapa dengan segala kemudahan berjejaring, berkomunikasi, dan berinteraksi, manusia masih mengalami rasa kesepian?
Ada sebuah anekdot menarik tentang media sosial yang barangkali pernah kita alami. Yaitu, mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Ketika kita bertemu muka dengan orang, kerap kali kita sibuk membuka ponsel ketimbang berinteraksi terhadap sesama. Menariknya, saat kita jauh, kita membutuhkan interaksi fisik dan berasa butuh teman ngobrol.
Rebecca Harris, dalam laporannya di Independent, juga menguatkan dengan data tentang epidemik kesepian. Riset yang dilakukan oleh Mental Health Foundation di Inggris menunjukan bahwa 1 dari sepuluh orang di negara itu merasakan kesepian setiap saat.
Sebanyak 48 persen di antaranya merasa makin kesepian dari hari ke hari. Tidak heran jika kemudian Inggris menjadi negara paling kesepian di Eropa. Tapi bukan itu yang berbahaya, kesepian dapat membunuh.
Dalam riset yang dilakukan oleh peneliti dari Brigham Young University, diketahui bahwa isolasi sosial dan kesepian dapat menyebabkan kematian seperti pada obesitas. Riset yang dipublikasikan di jurnal Association for Psychological Science itu dilakukan selama tujuh tahun dengan 70 metodologi berbeda, dengan 3,4 juta partisipan.
Hasilnya, orang yang kesepian akan memiliki kemungkinan cepat mati 26 persen daripada yang tidak, sementara orang yang mengalami isolasi sosial memiliki kemungkinan cepat mati 29 persen lebih daripada yang tidak.
Yang paling tinggi adalah orang yang tinggal sendiri, 32 persen lebih cepat mati daripada mereka yang tinggal bersama orang lain. Hasilnya konsisten antara laki-laki dan perempuan di daerah mana pun di dunia.
Profesor Julianne Holt-Lunstad, pemimpin riset itu, menyebutkan bahwa saat ini telah ada bukti yang substansial bahwa seseorang yang kurang memiliki interaksi sosial akan memiliki kemungkinan mati lebih cepat.
Sejauh ini, hasil penelitian mereka digunakan untuk menjelaskan gejala global mengapa banyak orang di dunia yang merasa kesepian. Padahal mereka tinggal di kota besar yang ramai, memiliki jaringan teknologi, dan memiliki keluarga yang dekat.
Dalam penelitiannya, Cacioppo menyebut banyak orang yang merasa akan mendapatkan teman dan sahabat di media sosial. Orang-orang merasa dapat membawa kembali teman lama mereka di Facebook untuk mengatasi rasa kesepian dan kesunyian yang mereka miliki.
“Mereka salah,” kata Caciopo. Ide bahwa internet akan memberikan dunia yang lebih terhubung dan ramah itu cuma omong kosong.
Cacioppo menjelaskan interaksi sosial antara manusia di luar media sosial semestinya yang menentukan kedalaman relasi manusia, bukan sebaliknya. Menggunakan media sosial tidak melahirkan jaringan sosial baru, ia hanya memindahkan satu bentuk interaksi ke medium yang lainnya. Dalam hal ini, Facebook tidak menciptakan relasi hubungan baru, tetapi juga tidak menghancurkan yang ada.
Baca juga: Mengapa Para Pemimpin Dunia Aktif di Media Sosial?