Mengapa Orang Bisa Lupa Bahasa Daerahnya Sendiri?
https://www.naviri.org/2018/09/lupa-bahasa-daerah.html
Naviri Magazine - Bahasa daerah, yang juga biasa disebut bahasa ibu, adalah bahasa yang kita gunakan sehari-hari semenjak lahir. Orang yang lahir dan tumbuh besar di Jawa, misalnya, kemungkinan besar akan menggunakan bahasa Jawa dalam percakapan sehari-hari, karena mayoritas masyarakat di Jawa memang menggunakan bahasa itu. Karenanya, bagi orang Jawa, bahasa ibu mereka adalah bahasa Jawa.
Tetapi, apa yang sekiranya akan terjadi ketika seorang Jawa pindah ke Amerika, misalnya, karena bekerja di sana?
Bisa jadi, setelah bertahun-tahun di Amerika, dia tidak ingat lagi bahasa daerahnya sendiri (Jawa), karena memang tidak pernah menggunakannya lagi sampai bertahun-tahun. Yang menarik di sini, bagaimana sebenarnya proses yang terjadi, hingga orang bisa lupa bahasa daerah atau bahasa ibunya sendiri?
Kebanyakan migran yang sudah pergi lama tahu rasanya sulit berbicara dalam bahasa ibu. Prosesnya terlihat jelas: semakin lama Anda meninggalkan tempat asal, semakin banyak bahasa ibu yang Anda lupakan. Namun tidak sesederhana itu.
Yang ada, mengapa dan bagaimana secara ilmiah kita bisa melupakan bahasa ibu kita itu rumit dan di luar nalar. Ternyata seberapa lama Anda meninggalkan asal Anda tidak selalu berdampak.
Bersosialisasi dengan orang lain dengan bahasa ibu yang sama di luar negeri, justru dapat memperburuk bahasa ibu Anda. Dan faktor emosional seperti trauma dapat menjadi salah satu faktor terbesar.
Bukan hanya migran yang sudah lama yang terdampak, tapi sampat ke titik tertentu juga siapapun yang sedang belajar bahasa kedua.
"Begitu Anda belajar bahasa lain, kedua sistem mulai bersaing satu sama lain," kata Monika Schmid, seorang ahli bahasa di University of Essex.
Schmid adalah seorang peneliti terkemuka di bidang bahasa yang terkikis, sebuah bidang penelitian yang berkembang, yang meneliti apa yang membuat kita kehilangan bahasa ibu kita.
Pada anak-anak, fenomena ini lebih gampang dijelaskan karena otak mereka pada umumnya lebih fleksibel, dan lebih mudah beradaptasi. Hingga sekitar usia 12 tahun, kemampuan bahasa seseorang relatif lebih rentan untuk berubah.
Penelitian pada anak-anak yang diadopsi ke luar negeri menemukan bahwa seorang anak usia sembilan tahun dapat hampir sepenuhnya melupakan bahasa pertama mereka, saat dipindahkan dari negara kelahiran mereka.
Namun, pada orang dewasa, bahasa pertama tampak tak mungkin dilupakan sepenuhnya, kecuali di kondisi-kondisi ekstrim. Misalnya, Schmid menganalisa orang Jerman keturunan Yahudi yang mengungsi saat masa perang di Inggris dan AS.
Faktor utama yang mempengaruhi kemampuan berbahasa mereka bukanlah berapa lama mereka sudah berada di luar negeri atau usia mereka saat meninggalkan tanah asal. Namun berapa besar trauma yang mereka alami sebagai korban persekusi Nazi.
Orang-orang yang meninggalkan Jerman di awal-awal rezim, sebelum kekejaman terburuk dimulai, cenderung berbicara bahasa Jerman lebih baik - meskipun sudah mengungsi lebih lama.
Orang-orang yang mengungsi kemudian, setelah pogrom 1938 yang dikenal sebagai Reichskristallnacht, cenderung kesulitan berbicara bahasa Jerman atau tidak bisa sama sekali.
"Terlihat jelas ini dampak dari trauma," kata Schmid. Meskipun bahasa Jerman adalah bahasa yang digunakan ketika kecil, di rumah dan di keluarga, itu juga merupakan bahasa dengan memori yang menyakitkan.
Pengungsi yang sangat trauma telah menekannya. Seperti salah satu mereka mengatakan, "Saya merasa Jerman mengkhianati saya. Amerika adalah negara saya, dan Inggris adalah bahasa saya."
Beralih bahasa
Hilangnya kemampuan berbahasa seperti itu adalah sebuah pengecualian. Di kebanyakan migran, bahasa ibu lebih kurang hadir bersama bahasa baru di ingatan.
Seberapa baik bahasa ibu dipertahankan sangat berkaitan dengan talenta dalam diri seseorang: orang yang cenderung jago dalam bahasa cenderung lebih baik mempertahankan bahasa ibu mereka, tak peduli selama apa mereka jauh dari tempat asal.
Namun, kemahiran berbahasa ibu juga sangat kuat terkait dengan bagaimana kita mengatur perbedaan bahasa di otak kita.
"Perbedaan mendasar antara seorang yang memiliki kemampuan ekabahasa dan dwibahasa adalah ketika Anda dwibahasa, Anda harus menambah sejenis modul kendali yang mengizinkan Anda untuk beralih," kata Schmid.
Dia mencontohkan, ketika dia melihat objek di depannya, otaknya dapat memilih antara dua kata, meja dalam bahasa Inggris 'desk', atau dalam bahasa Jerman 'Schreibtisch' (Schmid adalah orang Jerman).
Dalam konteks Inggris, otaknya menekan 'Schreibtisch' dan memilih 'desk', dan kebalikannya. Jika mekanisme kontrol ini lemah, seseorang dapat kesulitan untuk mencari kata yang tepat atau tetap mengucapkan bahasa keduanya.
Bergaul dengan orang yang berbicara bahasa ibu yang sama dapat memperburuk keadaan, karena kurangnya insentif untuk tetap menggunakan satu bahasa yang Anda tahu akan diketahui keduanya. Hasilnya biasanya menimbulkan hibrida linguistik.
Di London, salah satu kota dengan penduduk berkemampuan multibahasa terbanyak, hibrida seperti ini sangat umum, sehingga hampir terasa seperti dialek kaum urban. Lebih dari 300 bahasa diucapkan disini, dan lebih dari 20% penduduk kota London berbicara sebuah bahasa utama di luar Inggris.
Berkata lantang
Laura Dominguez, seorang pakar bahasa di University of Southampton, menemukan dampak serupa saat dia membandingkan dua kelompok migran jangka panjang: orang Spanyol di Inggris dan orang Kuba di AS.
Orang Spanyol tinggal di berbagai tempat di Inggris, dan kebanyakan berbicara bahasa Inggris. Orang Kuba semuanya tinggal di Miami, sebuah kota dengan komunitas Amerika Latin yang besar, dan selalu berbicara dengan bahasa Spanyol.
"Jelas saja, semua orang yang berbahasa Spanyol di Inggris berkata, 'Oh, Saya lupa kata-katanya.' Ini yang biasanya mereka katakan ke Anda: 'Saya sulit mencari kata yang tepat, khususnya saat saya menggunakan kosa kata yang saya pelajari untuk pekerjaan saya'," kata Dominguez.
Sebagai seorang Spanyol yang bekerja kebanyakan di luar negeri, dia menyadari kesulitan itu dan mengatakan, "Jika saya harus berbincang mengenai ini dengan seorang Spanyol dalam bahasa Spanyol, sepertinya saya tidak bisa."
Betapa pun, ketika dia menganalisa penggunaan subjek bahasa yang diujinya lebih lanjut, dia menemukan perbedaan yang mencolok. Orang Spanyol yang tidak bergaul melestarikan dengan sempurna tata bahasa mereka. Namun, orang Kuba - yang terus menerus menggunakan bahasa ibu mereka - telah kehilangan ciri khas asli tertentu.
Faktor kuncinya bukan pengaruh bahasa Inggris, namun jenis bahasa Spanyol lain yang ada di Miami. Dengan kata lain, orang Kuba mulai berbicara seperti orang Kolombia atau Meksiko.
Nyatanya, ketika Dominguez kembali ke Spanyol setelah tinggal di AS, dengan banyak teman-teman Meksiko di sana, teman-temannya di negara asal mengatakan dia sekarang lebih terdengar seperti orang Meksiko.
Teorinya adalah semakin akrab bahasa atau dialek lain dengan kita, semakin mungkin itu mengubah bahasa ibu kita. Dia memandang kemampuan beradaptasi ini sebagai sesuatu yang perlu dirayakan - bukti daya temu kita sebagai manusia.
Baca juga: Bahasa-bahasa Daerah di Indonesia yang Telah Punah