Kisah Orang Indonesia: Makan Siang di Venezuela, Habis 1,7 Miliar
https://www.naviri.org/2018/09/kisah-orang-indonesia-makan-siang-di-venezuela.html
Naviri Magazine - Venezuela, sebagaimana negara-negara lain umumnya, memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia. Karenanya, ada orang-orang Indonesia yang ada di sana, khususnya di kantor kedutaan.
Karena saat ini Venezuela sedang mengalami krisis parah, orang-orang Indonesia yang ada di sana pun ikut mengalami krisis tersebut. Hal itu dikisahkan oleh Tri Astuti, orang Indonesia, yang sempat kaget karena harus membayar 1,7 miliar bolivar atau sekitar Rp7 juta saat makan di restoran.
Tri Astuti, pelaksana fungsi ekonomi kedutaan Indonesia di Caracas, mengatakan acara makan bersama sekitar 20 orang dengan "menu makan siang biasa" terpaksa dibayar melalui transfer bank tambahan, karena dana yang ada tidak cukup.
"Saat kami bayar, harganya 1,7 miliar (bolivar), dan di akun kami hanya ada satu miliar, jadi sama restorannya dikasih nomor rekening untuk ditransfer. Jadi asas kepercayaan saja, karena internet banking sibuk, banyak orang yang transfer," cerita Tri Astuti tentang acara yang diadakan pada tanggal 14 Agustus lalu.
Dia bercerita, acara makan siang dengan sajian kentang, kerang, ikan, dan ayam itu biasanya mencapai sekitar 500 juta pada awal tahun, dengan jumlah orang yang sama.
Pemerintah Venezuela mengeluarkan mata uang kertas baru, menyusul hiperinflasi. Ribuan toko tutup untuk penyesuaian mata uang baru itu. Dengan mata uang baru ini, harga secangkir kopi, misalnya, yang sebelumnya 2,5 juta bolivar di ibu kota Caracas bulan lalu, kini harganya 25 bolivar.
Jutaan warga meninggalkan Venezuela
Ambruknya perekonomian Venezuela ditandai antara lain dengan hiperinfilasi, padam listrik, kekurangan pasokan makanan dan obat-obatan. Situasi ini menyebabkan jutaan warga Venezuela keluar dari negara itu.
Menurut data dari PBB, 2,3 juta warga Venezuela meninggalkan negara itu sejak 2014, saat krisis ekonomi mulai menggigit. Banyak yang menyalahkan Presiden Nicolás Maduro dan pemerintahnya atas situasi suram negara itu.
Tri Astuti, dari KBRI Venezuela, mengatakan "hiperinflasi sangat terasa menjelang pertengahan 2018."
Di pasar tradisional sekalipun, transaksi juga melalui transfer, karena harga sayuran dan buah mencapai 40 juta bolivar, dan ikan sekitar 30 juta bolivar.
"Di pasar tradisional sampai bayar parkir juga pakai transfer dan kartu debit," cerita Tri. "Ikan sejenis gurame, misalnya, 30 juta. Sayur dan buah, 40 juta. Jadi harus debit dan transfer... ini pengalaman bulan Juni lalu."
"Belanja di supermarket untuk membeli keperluan mingguan, seperti minyak sabun, kalau tidak transfer harus digesek enam sampai delapan kali, karena satu kali gesek hanya bisa 40 juta (bolivar), akibatnya antre panjang karena orang belanja rata-rata 200 juta," tambahnya.
Tri sempat menyaksikan orang membawa uang di kantung-kantung pada 2017, karena kecilnya nominasi mata uang bolivar, 50 dan 100, sementara harga barang-barang mencapai jutaan.
Setelah pergantian mata uang baru, makan siang di gerai cepat saji yang biasanya sekitar 65 juta bolivar, menjadi 625 bolivar.
"Kue coklat, yang sebelum denominasi saya beli 4 juta, saya beli cuma 128 bolivar (Rp10.000)," kata Tri. "Uang di akun yang tadinya 400 juta, menjadi 4.000."
Baca juga: Keluarga Tercerai Berai Akibat Krisis Ekonomi di Venezuela