Ngeri, 888 Juta Anak di Asia Mengalami Kekerasan dari Orangtuanya
https://www.naviri.org/2018/09/jutaan-anak-di-asia-mengalami-kekerasan.html
Naviri Magazine - Tindak kekerasan bukan hal yang baik, termasuk kekerasan yang dilakukan di rumah sendiri, yaitu dari orang tua kepada anaknya. Namun, berapa banyakkah yang menyadari kenyataan itu?
Masih ada banyak orang tua yang berpikir mereka punya hak untuk melakukan apa pun terhadap anak-anak mereka, dengan alasan bahwa mereka yang melahirkan dan membesarkan. Padahal, anak juga memiliki hak untuk hidup layak, salah satunya tidak mengalami kekerasan yang dilakukan orang tuanya sendiri.
Menurut dokumen Convention on the Rights of the Child (1989), kekerasan terhadap anak mencakup semua bentuk kekerasan fisik atau mental, cedera dan pelecehan, pengabaian atau perlakuan lalai, penganiayaan atau eksploitasi, termasuk pelecehan seksual. Kekerasan terhadap anak tak cuma mencakup kekerasan fisik dan seksual, tetapi juga kekerasan emosional, pengabaian, dan eksploitasi.
Berdasarkan penelitian Hillis, et.al (2016) berjudul "Global Prevalence of Past-Year Violence Against Children: A Systematic Review and Minimum Estimates," angka kekerasan terhadap anak tertinggi pada 2014 terjadi di Asia.
Ada lebih dari 714 juta, atau 64 persen dari populasi anak-anak di Asia, mengalami setidaknya satu bentuk kekerasan berat. Jika kekerasan yang dinilai lebih ringan seperti memukul pantat dan menampar wajah ikut dihitung, angkanya lebih besar lagi: 888 juta anak-anak atau setara 80 persen populasi anak di Asia.
Khusus wilayah Asia-Pasifik, kekerasan emosional dilaporkan oleh hampir satu dari tiga anak perempuan (32 persen) dan satu dari empat anak laki-laki (27 persen).
Angka ini terdapat dalam penelitian "The Burden of Child Maltreatment in the East Asia and Pacific Region, Child Abuse & Neglect" dari Fang. et al, (2015) yang diolah dalam studi D. Fry (2016) "Preventing Violence Against Children and How This Contributes to Building Stronger Economies."
Sementara itu, prevalensi pengabaian yang dialami anak laki-laki sebesar 26 persen dan 27 persen pada anak perempuan. Dalam hal kekerasan fisik, anak laki-laki cenderung mengalami lebih banyak dengan prevalensi sebesar 17 persen, sedangkan anak perempuan sebesar 12 persen.
Seperti di Asia Pasifik, kekerasan terhadap anak di Indonesia pun masih cukup tinggi. "Survei Kekerasan Terhadap Anak Indonesia 2013" dari Kementerian Sosial memperlihatkan bahwa kekerasan yang dialami anak laki-laki lebih besar dibandingkan anak perempuan.
Jumlahnya mencapai hampir separuh populasi anak laki-laki, tepatnya 7.061.946 anak atau 47,74 persen. Pada anak perempuan, prevalensinya mencapai 17,98 persen (2.603.770 anak).
Dilihat berdasarkan jenisnya, anak-anak Indonesia cenderung mengalami kekerasan emosional dibandingkan fisik. Sebanyak 70,98 persen anak laki-laki dan 88,24 persen anak perempuan pernah mengalami kekerasan fisik. Untuk kategori kekerasan emosional, sebanyak 86,65 persen anak laki-laki dan 96,22 persen anak perempuan menyatakan pernah mengalaminya.
Ironisnya, pelaku yang cukup besar melakukan kekerasan pada anak adalah orang terdekat, yaitu keluarga dan pengasuh. Selain dilakukan dan dialami secara rutin, kekerasan juga diterima secara sosial, dan akhirnya dianggap sebagai bagian normal dari pertumbuhan dan perkembangan anak.
Berdasarkan laporan "Global Report 2017: Ending Violence in Childhood", sebanyak 73,7 persen anak-anak Indonesia berumur 1-14 tahun mengalami pendisiplinan dengan kekerasan (violent discipline) atau agresi psikologis dan hukuman fisik di rumah.
Hal ini diperkuat data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang mencatat sebanyak 4.294 kasus kekerasan pada anak dilakukan oleh keluarga dan pengasuh (2011-2016). Kasus terbanyak terjadi pada 2013, yaitu 931 kasus kekerasan anak. Namun, jumlah ini terus menurun menjadi 921 kasus di 2014, 822 kasus di 2015, dan 571 kasus di 2016.
Kasus kekerasan yang terjadi di rumah dan tempat pengasuhan ini berada di urutan kedua teratas, setelah persoalan anak terlibat kasus hukum yang tercatat sebanyak 7.698 kasus. Bila dirincikan, di 2016 misalnya, sebanyak 186 anak menjadi korban perebutan Hak Kuasa Asuh.
Selain itu, 312 anak dilarang bertemu dengan orangtuanya, dan 124 anak menjadi korban penelantaran ekonomi. Di lingkungan yang seharusnya menjadi tempat paling aman, anak justru sangat rentan menjadi korban kekerasan.
Baca juga: Dampak Buruk yang Dialami Anak, Akibat Kekerasan Orangtua