Sejarah dan Asal Usul Kepercayaan Qabala Kaum Yahudi
https://www.naviri.org/2018/09/asal-usul-kepercayaan-kabbalah.html
Naviri Magazine - Akibat mengalami penindasan yang panjang selama beribu tahun, kaum Yahudi memelihara kepercayaan nenek-moyang mereka, yang pada dasarnya menyimpang, bahkan bertentangan dengan aqidah yang diajarkan oleh Nabi Musa a.s. Kepercayaan kuno itu dipelihara dengan keyakinan untuk mempertahankan eksistensi mereka.
Di antara kepercayaan yang tertua dan paling dihormati adalah kepercayaan ‘Qabala’, atau kadangkala ditulis ‘Kabbala’. Nama Qabala diambil dari kata Ibrani, ‘qibil’, yang maknanya “menerima”. Qabala dalam hal ini berarti “menerima doktrin okultisme (ilmu sihir) rahasia”.
Sejak masa Nabi Ibrahim a.s. meninggalkan Sumeria (Iraq sekarang) sampai dengan penjajahan Romawi atas Palestina, Qabala tetap merupakan kepercayaan Yahudi yang sangat rahasia, yang ajarannya hanya diketahui oleh anggotanya, yang disampaikan dari mulut ke mulut, disampaikan oleh para pendeta tinggi kepada para novice.
Selama periode ini, para pendeta tinggi tinggal di Sumeria, kemudian menyebar ke Mesir Kuno, dan Palestina Kuno. Salah seorang pendeta tinggi Qabala ialah Samir, tokoh yang mengajak Bani Israel yang baru saja keluar dari tanah Mesir untuk menyembah sebuah patung anak sapi yang terbuat dari emas, tatkala mereka dilinggalkan oleh Nabi Musa a.s. berkhalwat di gunung Tursina di Sinai, untuk menerima wahyu ‘Firman yang Sepuluh’ dari Allah.
Beberapa waktu sesudah berakhirya penjajahan Romawi di Palestina, para pendeta tinggi Qabala memutuskan tradisi okultisme kuno untuk direkam secara tertulis ke atas papyrus, berupa gulungan (’scroll’), sebagai usaha agar ajaran itu dapat diwariskan kepada generasi Yahudi berikutnya.
Selama masa pendudukan Romawi, ajaran Qabala dihimpun dari berbagai tradisi lisan ke dalam beberapa gulungan, dan akhinya dijilid ke dalam sebuah kitab yang utuh.
Tugas menghimpun ajaran yang masih berupa lisan itu dibebankan kepada dua orang, yaitu ‘Rabbi’ (Guru) Akiva ben Josef, yang menjadi ketua Majelis Tinggi Pendeta Sanhedrin pada waktu itu, dan pembantunya, Rabbi Simon ben Joachai.
Pada waktu itulah Qabala tersistematisasi menjadi dua jilid: ‘Sefer Yetzerah’ (Kitab Genesis, tentang Penciptaan Alam Semesta), dan ‘Sefer Zohar’ (Kitab Keagungan).
Baca juga: Theodor Herzl, Tokoh di Balik Gerakan Zionisme Internasional