Asal Usul Air di Bumi yang Masih Misterius
https://www.naviri.org/2018/09/asal-usul-air-di-bumi.html
Naviri Magazine - Air meliputi 70 persen pemukaan Bumi yang kita tinggali, namun asal usul keberadaannya masih simpang siur. Sebagian kalangan berpendapat air datang dari luar Bumi. Sementara sebagian kalangan lain meyakini air terbentuk bersama—atau tidak lama setelah—terbentuknya Bumi.
Ketika planet Bumi terbentuk sekitar 4,5 milyar tahun lalu, menurut pendapat kalangan pertama, air tidak muncul bersamaan dengan terbentuknya Bumi. Para ilmuwan yang tergabung dalam kalangan ini menyatakan, air di Bumi datang dari objek luar angkasa yang mengantarkannya ke planet Bumi.
Pendapat itu didasari perkiraan bahwa kalau air datang bersamaan dengan terbentuknya planet Bumi pada 4,5 milyar tahun lalu, kemungkinan besar air itu sudah menguap karena panasnya Matahari yang waktu itu masih muda. Artinya, air kemungkinan datang dari tempat lain. Dari tempat lain mana? Itu masih jadi bahan pertanyaan yang hingga hari ini belum terjawab.
Ketika tata surya baru mulai terbentuk, planet-planet dalam—Merkurius, Venus, Mars—juga masih terlalu panas untuk menyimpan air. Karenanya, kemungkinan air di Bumi juga tidak datang dari sana. Namun, planet-planet dan benda-benda angkasa lain—seperti Bulan-Bulan milik Yupiter, komet, dan lain-lain—cukup jauh dari Matahari, hingga memungkinkan untuk punya es.
Berdasarkan pendapat para ahli, selama periode sekitar 4 miliar tahun lalu, yang disebut periode Late Heavy Bombardment, objek raksasa—kemungkinan datang dari luar tata surya—menghujani Bumi dan planet-planet dalam lainnya. Dalam hal itu, ada kemungkinan objek-objek tersebut dipenuhi air. Tabrakan Bumi dengan objek-objek itulah yang kemudian membuat planet kita dipenuhi air. Tapi objek apa yang mengantarkan air?
Jawaban untuk pertanyaan itu pun masih membingungkan. Selama beberapa waktu, para astronom memperkirakan bahwa komet—terbuat dari bongkahan es dan batu yang memiliki uapan es di ekornya yang panjang dan terus-menerus mengitari Matahari—diperkirakan sebagai pelakunya.
Namun, pengukuran jarak jauh terhadap air yang menguap dari beberapa komet besar yang ada saat ini—semisal komet Halley, Hyakutake, dan Hale-Bopp—mengungkapkan bahwa es yang ada di sana tidak sama dengan es yang ada di Bumi.
Es yang ada di sana terbuat dari tipe H2O yang berbeda, karena mengandung isotop hidrogen lebih berat dibanding es yang biasa ada di Bumi. Artinya, komet-komet itu bukan sumber air bagi Bumi.
Setelah komet-komet itu dihilangkan sebagai kemungkinan pembawa air bagi Bumi, para peneliti kembali mencari-cari kemungkinan apakah air yang ada di Bumi datang dari sabuk asteroid.
Kawasan yang terdiri dari ratusan ribu asteroid, yang mengorbit Matahari di antara planet dalam dan planet luar, sebelumnya diyakini terlalu dekat ke Matahari untuk menyimpan air. Namun dari bukti-bukti terbaru diketahui bahwa ada es di asteroid 24 Themis yang ada di sana.
Temuan itu, dan es di asteroid lain, mengindikasikan kemungkinan ada lebih banyak es di sabuk asteroid dibanding perkiraan sebelumnya, dan sumber air di Bumi kemungkinan datang dari sana. Meski begitu, hal itu baru perkiraan yang belum bisa dipastikan.
Pada pertengahan 2011, NASA mengirimkan satelit pemantau untuk mengeksplorasi asteroid, dengan harapan dapat mengetahui lebih banyak seputar asal usul air di Bumi yang sampai saat ini masih misterius. Karenanya, menggunakan pendapat kalangan pertama, asal usul air di Bumi masih misterius.
Kalangan kedua berpendapat asal usul air di Bumi sudah selesai, yakni air telah ada bersamaan dengan proses pembentukan Bumi. Ketika Bumi sedang terbentuk, menurut kalangan kedua, bakal planet ini mengalami pemanasan karena tumbukan dengan meteor, akibat radioaktivitas yang tinggi, dan akibat peningkatan tekanan ketika gravitasi memadatkan bahan pembentuk Bumi.
Bumi pun menjadi panas, sehingga semua air yang ada sejak pembentukannya menguap, bahkan terurai menjadi molekul pembentuknya, yaitu hidrogen dan oksigen.
Ketika radioaktivitas berkurang, suhu Bumi menurun. Seiring dengan itu, uap air dari dalam Bumi lepas ke permukaan, dan mengembun di atmosfer yang dingin. Ketika suhu Bumi semakin turun, hujan lebat pun berlangsung selama berabad-abad. Akhirnya selubung awan menipis, hujan berhenti, dan terbentuklah lautan purba, yang menjadi cikal bakal keberadaan air di planet ini.
Persediaan air di permukaan Bumi mencapai wilayah sekitar 1.360 juta kilometer kubik, tersebar di samudera, danau, padang es, dan sungai-sungai. Air mengalami daur yang tak pernah berhenti—menguap menjadi uap air, mengembun, dan menjadi air lagi, atau membeku menjadi es.
Dengan cara itulah air digunakan penduduk Bumi, dibuang, dimurnikan, digunakan lagi, dan begitu terus-menerus. Segelas air yang kita minum bisa jadi pernah digunakan membasuh muka Cleopatra, atau pernah digunakan Ken Dedes untuk mencuci betisnya.