4 Hari Kerja per Minggu, Tuntutan Pekerja Abad 21
https://www.naviri.org/2018/09/4-hari-kerja-per-minggu.html
Naviri Magazine - Di masa lalu, para pekerja pabrik atau buruh di Inggris dan sejumlah Eropa Daratan tidak memiliki hak pilih dalam pemilu. Baru pada pertengahan kedua abad ke-19, setelah mereka melakukan protes dan tuntutan, para pekerja dan buruh diberi hak memilih dalam pemilu.
Di masa lalu, jam kerja para buruh dan pekerja kantoran lebih dari 8 jam, termasuk anak-anak. Tetapi serikat kerja kemudian menuntut agar kerja harian hanya 8 jam, dan praktik perburuhan anak dihapuskan. Sekali lagi, upaya itu terwujud.
Belakangan, serikat pekerja juga menuntut jadwal lima hari kerja, setelah sebelumnya harus bekerja enam hari dalam seminggu. Lagi-lagi, tuntutan itu terwujud. Lalu serikat pekerja menuntut hak cuti berbayar, hak cuti hamil, hak cuti haid, hingga hak jaminan kesehatan, yang semuanya juga terwujud. Kini, di abad 21, para pekerja punya tuntutan baru, yaitu jadwal kerja 4 hari dalam seminggu.
Mungkinkah para pekerja punya lebih banyak waktu untuk melakukan hal yang mereka suka, tanpa harus terkekang dalam roda kapital yang terus melaju 8 jam sehari dan 5 hari per minggu?
Serikat Pekerja Nasional (TUC) di Inggris menjawabnya dengan optimis. “Pada abad ke-19, serikat pekerja mengampanyekan kerja delapan jam sehari. Pada abad ke-20, kami memenangkan hak dua hari libur di akhir pekan dan cuti berbayar,” ujar Sekjen TUC Frances O’Grady sebagaimana dikutip Guardian.
Dalam pertemuan tahunan ke-150 TUC, O’Grady menyebutkan bahwa perkembangan teknologi dan komunikasi seharusnya dapat mengurangi jam kerja, alih-alih menambah beban pekerja. Idealnya, masyarakat cukup bekerja selama empat hari dalam seminggu.
Laporan TUC memaparkan bahwa lebih dari 1,4 juta orang di Britania Raya bekerja tujuh hari seminggu. Bahkan, 3,3 juta orang bekerja lebih dari 45 jam dalam seminggu. Dampaknya, pekerja rentan stres dan kesehatan menurun akibat tenaga mereka diperas habis-habisan.
“Jadi, mari kita naikkan ambisi kita untuk abad ke-21. Saya percaya bahwa di abad ini kita dapat memenangkan kerja empat hari per minggu dengan upah yang layak untuk semua orang. Saatnya berbagi kesejahteraan dengan memanfaatkan teknologi mutakhir. Jangan sampai hanya orang-orang di posisi atas saja yang mengambil manfaat dari keuntungan itu,” tegasnya.
Dimulai pelan-pelan
Joe Pinsker, dalam “America’s Fantasy of a Four-Day Workweek”, yang terbit di The Atlantic pada 23 Juni 2015, mengatakan impian empat hari kerja dalam seminggu adalah mimpi yang terbatas. Ia hanya berlaku bagi pekerja dengan latar pendidikan maupun gaji yang tinggi, bukan bagi pekerja secara keseluruhan.
Di Amerika Serikat, catat Pinsker, konsep empat hari kerja sulit diterapkan. Pasalnya, selain faktor sulitnya perusahaan untuk berkompromi, masyarakat Amerika selama ini terbiasa dengan sistem lima hari kerja—bahkan lebih—yang sudah berlangsung sekitar satu abad.
Statistik menyebutkan, 86% laki-laki dan 67% perempuan AS bekerja lebih dari 40 jam dalam satu minggu atas nama produktivitas, kebutuhan finansial, dan tak jarang: kebahagiaan.
Utah, negara bagian di barat AS yang terkenal kering dan panas, sempat menerapkan sistem empat hari kerja pada 2008. Namun, tiga tahun berselang, sistem itu dianulir karena banyaknya protes dari masyarakat, yang sulit mengakses layanan di hari Jum’at.
Meski terlihat sulit, bukan berarti tak ada kesempatan.
Perpetual Guardian, perusahaan finansial yang mengurus wasiat dan perumahan di Selandia Baru, meyakini bahwa empat hari kerja bukan mimpi siang bolong. Sebagaimana diwartakan The Guardian, Perpetual melakukan uji coba empat hari kerja selama seminggu, dalam rentang Maret sampai April 2018. Tiap hari, pegawai Perpetual cukup bekerja selama delapan jam. Bayaran mereka juga tak dipotong.
Direktur Perpetual Guardian, Andrew Barnes, mengatakan bahwa kebijakan empat hari kerja dibuat agar kehidupan karyawan di dalam dan luar kantor seimbang dan lebih baik. Ia berharap para pekerja lebih bisa berkomitmen dengan tanggung jawabnya, tanpa kehilangan waktu luang yang berkualitas.
Hasilnya menggembirakan. Sebanyak 78% karyawan Perpetual merasa terbantu mengelola keseimbangan kehidupan kerja mereka, dengan adanya sistem empat hari kerja itu.