Punishment Island, Tempat Pembuangan Gadis Hamil di Luar Nikah
https://www.naviri.org/2018/08/punishment-island.html
Naviri Magazine - Hingga kini, banyak orang yang masih menganggap gadis hamil di luar nikah sebagai aib, khususnya aib untuk keluarganya. Bagaimana pun, setiap keluarga menginginkan anak gadis mereka baru hamil setelah menikah, agar jelas siapa ayah bayi yang dikandungnya. Karenanya, di masa sekarang, gadis yang kebetulan hamil sebelm menikah biasanya akan dinikahkan dengan pria yang menghamilinya. Tujuannya jelas, untuk “menutup aib”.
Di masa lalu, gadis yang hamil di luar nikah bahkan harus menghadapi hukuman yang kejam, yaitu dibuang ke tempat terasing. “Budaya” semacam itu terjadi di mana-mana. Ketika seorang gadis ketahuan hamil di luar nikah, keluarganya biasanya akan menyingkirkannya. Mereka malu dengan “aib” tersebut, dan membuang si gadis ke tempat jauh bisa dianggap sebagai hukuman yang layak bagi si gadis.
Hal serupa terjadi, salah satunya di Uganda. Di sana ada pulau khusus bernama Punishment Island, yang ditujukan sebagai tempat pembuangan wanita-wanita yang hamil di luar nikah. Selama berabad-abad, banyak wanita yang dibuang ke sana. Praktik itu terus berlangsung sampai abad ke-19. Dan wanita terakhir yang pernah dibuang ke sana adalah Mauda Kyitaragabirwe.
Mauda Kyitaragabirwe berumur 12 tahun saat keluarganya mengetahui bahwa dia sedang hamil. Yang menjadi masalah, Mauda hamil tanpa suami. Karenanya, keluarganya membawa dia menuju ke sebuah pulau untuk dihukum.
Menurut tradisi suku Bakiga, seorang gadis hanya boleh hamil setelah dia menikah. Karena dengan begitu, keluarganya bisa mendapat kekayaan yang melimpah.
Namun lain halnya jika seorang gadis hamil di luar pernikahan, dia dianggap sebagai aib yang mempermalukan, dan tidak berharga bagi keluarganya. Oleh karena itu, gadis tersebut harus disingkirkan.
Hal ini sengaja dilakukan agar bisa menjadi contoh bagi gadis-gadis lain untuk tidak melakukan hal yang sama.
Akampene atau Punishment Island berada di Uganda, dan dikelilingi Danau Bunyonyi. Pulau tersebut tidak seperti pulau kebanyakan. Tapi hanya sebidang tanah dengan rerumputan, tanpa pohon rindang atau gubuk untuk berteduh.
Kebanyakan orang pada saat itu tidak mempunyai kemampuan untuk berenang. Jadi, jika seorang gadis dibuang ke pulau itu, pilihannya hanya ada dua. Berenang hingga ke pulau utama, atau tetap di sana dalam keadaan kelaparan dan kedinginan. Dan tidak jarang berakhir dengan kematian.
Hukuman dengan cara itu masih berlangsung setidaknya sampai abad ke-19, bahkan ketika para misionaris dan kolonialis mulai memasuki Uganda.
Saat berada dipulau, Mauda kehilangan bayinya. Dan setelah empat malam, seorang nelayan datang untuk menjemput Mauda.
Awalnya Mauda ragu, karena bisa saja laki-laki itu datang untuk menenggelamkannya di danau. Tapi laki-laki bernama James Kigandaire itu mencoba meyakinkan bahwa dia datang untuk menyelamatkan Mauda dari hukuman yang dijalaninya.
James membawa Mauda ke sebuah desa di Kashungyera. Di sana mereka menikah, dan tinggal bersama, hingga James meninggal pada 2001.
Baca juga: Spinalonga, Neraka Para Penderita Lepra di Yunani