Mengungkap Perbudakan Seks di Zaman Penjajahan Jepang (1)
https://www.naviri.org/2018/08/perbudakan-seks-jepang-part-1.html
Naviri Magazine - Jauh-jauh hari sebelum Perang Dunia II meletus, perang sebenarnya telah terjadi, namun masih bersifat wilayah per wilayah. Pusat letusan Perang Dunia II ada di Eropa, dan perang itu berlangsung pada 1 September 1939-14 Agustus 1945. Namun, sebelum itu terjadi, Jepang telah melakukan penjajahan ke daratan Cina pada 1931.
Tanggal 1 Maret 1931, Jepang menunjuk Pu Yi menjadi raja di Manchukuo, negara boneka di Manchuria. Pada tahun 1937, perang telah dimulai saat Jepang mengambil paksa Cina.
Tahun 1936, militer Jepang yang telah menduduki kota Shanghai mulai melaju menuju kota Nanjing, yang berjarak sekitar 360 km dari Shanghai. Bala tentara Jepang yang berada di sana seluruhnya berjumlah sekitar 135.000 personil militer.
Karena terus menerus melakukan peperangan, prajurit Jepang mulai kehabisan persediaan makanan. Menyadari situasi ini, markas besar militer Jepang membuat strategi baru dengan cara mencari makanan dari musuh.
Itu artinya, prajurit Jepang harus mulai menjarahi rumah-rumah penduduk untuk memperoleh makanan, sebagai upaya bertahan hidup. Tindakan militer Jepang ini memicu kemarahan rakyat Cina. Dalam keadaan terjepit, rakyat Cina mulai melawan dengan memakai cara apa saja.
Tindakan orang Cina tentu saja menimbulkan masalah baru bagi militer Jepang, yang sedang melakukan upaya kolonialisasi. Akibatnya, militer Jepang mengeluarkan perintah, “Bunuh orang Cina yang terlihat di depanmu!”
Praktik dari perintah itu, prajurit Jepang mulai membunuhi orang-orang Cina tanpa membedakan kelompok dari sipil atau militer. Pembunuhan keji yang dilakukan tanpa strategi mengakibatkan banyak prajurit Jepang rusak mentalnya, dan menjadi gila. Para prajurit Jepang bukan hanya melakukan pembunuhan massal, mereka juga mulai melakukan perkosaan secara brutal pada perempuan Cina yang terlihat di jalan-jalan.
Akibatnya, sebagian besar personel militer Jepang mengalami penyakit kelamin karena melakukan perkosaan brutal terhadap perempuan-perempuan Cina. Hal ini mengakibatkan kekuatan militer Jepang di Cina melemah. Situasi ini membuat khawatir para petinggi militer di Tokyo, sehingga mengirim dokter bernama Aso Tetsuo untuk menyelidiki penyebab melemahnya kekuatan militer di Cina.
Tak lama setelah penyelidikan berlangsung, Aso Tetsuo mengeluarkan rekomendasi untuk markas militer Jepang agar segera membangun fasilitas prostitusi khusus personel militer, yang dikontrol langsung pihak militer. Peristiwa bersejarah ini tertuang dalam buku berjudul Karyubyo no Sekkyokuteki Yobaho (Positive Precautinary Measure of Sexual Disease) tahun 1939.
Aso Tetsuo mengungkapkan peristiwa tersebut dalam tulisannya, berjudul Shanghai kara Shanghai he (Shanghai to Shanghai).
Prototipe Ianjo Pertama di Dunia
Pembentukan Ianjo (rumah bordil militer Jepang) yang menyediakan jasa pelayanan seksual bagi tentara dan sipil Jepang dimulai sejak tahun 1932, setelah terjadi kekejaman luar biasa militer Jepang terhadap rakyat Cina di Shanghai. Itu hampir 1 dekade sebelum penggunaan istilah Jugun Ianfu meluas, dan menjadi gejala umum di semua daerah yang dikuasai Jepang di Asia Pasifik menjelang berakhirnya Perang Dunia ke II.
Penguasa Jepang terpaksa harus mempertimbangkan kedisiplinan dan moral militer. Pusat hiburan pertama kali diperkenalkan tahun 1932, di bawah pengawasan militer Jepang. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya tulisan tangan salah satu komandan kampanye Shanghai, Letnan Jenderal Okamura Yasuji, yang mengakui dalam buku hariannya bahwa ia menjadi pembuat usulan pertama kali Ianjo untuk militer
Dalam proses perekrutan tersebut, tidak hanya melibatkan militer tetapi juga Departemen Dalam Negeri yang membawahi para gubernur dan polisi, yang kemudian memainkan peran dalam kerjasama dengan pihak militer untuk merekrut.
Cabang khusus Shanghai menggunakan penghubung-penghubung di kalangan pedagang, untuk memperoleh perempuan sebanyak-banyaknya, untuk melayani kebutuhan seksual militer pada akhir 1937. Para perempuan itu dipaksa bekerja di Ianjo-Ianjo yang terletak di antara wilayah Shanghai dan Nanking, yang dikelola langsung oleh militer Jepang.
Ianjo ini menjadi model bagi Ianjo-Ianjo selanjutnya. Karena pembangunan Ianjo terus mengalami perkembangan, pengelolanya tidak selalu menjadi tanggung jawab militer. Sebagian pengelola adalah orang-orang sipil yang diberi pangkat paramiliter. Namun demikian, pihak militer tetap bertanggung jawab terhadap transportasi dan pengawasan umum Ianjo-Ianjo tersebut, termasuk aspek kesehatan.
Baca lanjutannya: Mengungkap Perbudakan Seks di Zaman Penjajahan Jepang (2)