Masalah Sosial dan Ketimpangan Kaya-Miskin di Indonesia
https://www.naviri.org/2018/08/masalah-sosial-di-indonesia.html
Naviri Magazine - Indonesia terus bertumbuh, itu yang dikatakan para menteri dan pemerintah Indonesia. Pertumbuhan yang terjadi tentu terkait pula dengan ekonomi. Artinya, bersama pertumbuhan yang terjadi, mestinya jumlah kemiskinan makin berkurang, kesejahteraan makin merata, dan kehidupan masyarakat semakin membaik.
Sayangnya, kenyataan tidak semudah yang diucapkan. Meski Indonesia dinyatakan terus bertumbuh, namun nyatanya kemiskinan masih ada di mana-mana, dan ketimpangan sosial tampaknya tak pernah selesai.
Kue pertumbuhan ekonomi seharusnya dapat dinikmati semua kalangan, membantu mengurangi kemiskinan, dan memunculkan kelompok kelas menengah. Namun, World Bank melaporkan pertumbuhan ekonomi dalam satu dekade terakhir hanya menguntungkan 20 persen orang paling kaya di Indonesia.
Artinya, kebanyakan orang Indonesia tak menikmati pertumbuhan ekonomi yang kerap dijadikan indikator keberhasilan pemerintah.
Bukan hanya itu. Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan rasio gini pada September 2017 berada di angka 0,391. Besaran koefisien ini berkurang dibandingkan bulan Maret 2017 yang mencapai 0,393. Darmin Nasution, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, menyatakan pertumbuhan ekonomi yang diproyeksikan naik setiap tahun belum bisa diikuti dengan pemerataan di sektor ekonomi.
Berujung ketimpangan lebih besar
World Bank, lewat laporan bertajuk Indonesia’s Rising Divide, menyebutkan empat hal yang mendorong ketimpangan di Indonesia, yang berpotensi mempengaruhi kehidupan warganya berikut generasi penerus masa depan.
Masalah pertama adalah ketimpangan kesempatan yang memperkecil peluang sukses anak-anak dari keluarga miskin. Dengan terbatasnya sumber daya, mereka berpotensi mengalami stunting atau kekurangan gizi.
Di Indonesia, sebanyak 37 persen bayi lahir dan tumbuh sampai umur dua tahun dalam keadaan kekurangan gizi. Hal ini berdampak pada pertumbuhan organ vital seperti otak, sehingga perkembangan kemampuan kognitif lambat.
Belum lagi akibatnya dalam pendidikan. Anak-anak dari keluarga miskin tidak mengenyam pendidikan sampai level tinggi. Umumnya, mereka bersekolah dari bangku SD sampai SMP. Kualitas pendidikan yang diperoleh pun berbeda-beda, tergantung wilayah.
Salah satu contohnya, Bank Dunia menyatakan anak kelas 3 SD di Jawa sanggup membaca 26 huruf lebih cepat tiap menit, daripada anak-anak yang tinggal di Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua.
Pada akhirnya, anak-anak dari keluarga miskin tak mampu mengakses hal-hal yang memungkinkannya punya kecakapan (skill) yang dibutuhkan pasar, dan kehilangan kesempatan mendapat pekerjaan bergaji bagus.
Persoalan kedua adalah ketimpangan upah dalam dunia kerja. Pasar kerja kini dipenuhi oleh tenaga kerja, baik terampil atau tidak. Mereka yang punya kecakapan tinggi akan digaji besar sekali. Sebaliknya, yang kurang cakap dan belum punya kesempatan untuk mengembangkan diri akan terjebak dalam pekerjaan informal, bergaji kecil, dan kurang produktif.
Ada kebutuhan untuk meningkatkan kemampuan pekerja. Namun, harapan itu susah diwujudkan, karena kebanyakan perusahaan di Indonesia bersifat kecil dan menengah, sehingga tidak mampu mengadakan pelatihan bagi karyawannya.
Persoalan ketiga adalah pemusatan kekayaan yang tinggi. Sebanyak 10 persen orang kaya memiliki 77 persen seluruh kekayaan negara. Pundi-pundi uang yang didapat dari aset finansial dan fisik mengalir hanya ke kantong para orang kaya, sehingga penghasilan yang didapat lebih besar. Korupsi menjadi salah satu alasan di balik munculnya fenomena pemusatan harta kekayaan ini.
Persoalan keempat adalah guncangan, misalnya PHK dan bencana alam. Apabila hal itu terjadi, orang kaya tidak akan kesulitan mengatasi masalah. Sebaliknya, rumah tangga yang tergolong miskin dan rentan miskin, akan rentan ambruk pula jika terjadi guncangan ekonomi, kesehatan, sosial, politik, dan bencana alam.
Masyarakat miskin juga tak punya asuransi, sehingga jaring pengaman sosialnya adalah teman dan keluarga besar.
Di Indonesia, ada 11,3 persen atau 28 juta orang miskin. Selain itu, ada pula 26,9 persen atau 68 juta orang rentan miskin, yang bisa jatuh miskin karena shock tersebut.
Baca juga: Nasib Indonesia di Antara Belitan Utang Luar Negeri